[caption caption="Seminar di UI (Foto:Hardani Triyoga)"][/caption]
Rabu, 27 Januari 2016, di Gedung IASTH Pascasarjana UI, Salemba, Jakarta Pusar, para cerdik pandai, masyarakat ilmiah lainnya kembali disuguhkan sebuah seminar tentang Amandemen UUD 1945 yang diselenggarakan oleh Institut Peradaban (IP).
Saya hadir di acara itu dan terlihat wajah-wajah seperti , Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) GKR Hemas, mantan pimpinan MPR/DPR Mayor Jenderal (TNI) Syaiful Sulun, anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar Agun Gunanjar Sudarsa.
Di antara undangan yang memenuhi ruangan, di samping para alumnus Universitas Indonesia yang di antaranya berpakaian jaket kuning, tampak bula para guru besar UI, dan masyarakat cerdik pandai lainnya. Kesimpulan diskusi tersebut ingin kembali menegaskan bahwa memang jika UUD 1945 kembali di amandemen, berarti sudah akan ke-5 kalinya, maka seluruhnya sepakat, hal itu tidak menjadi masalah.
Syaiful Sulun dalam acara itu menjadi bintang. Hal ini dikarenakan berkali-kali dalam seminar, wajahnya selalu muncul dan selalu tegas mengatakan UUD yang sudah empat kali mengalami perubahan itu, bukan lagi UUD 1945 asli , karena rohnya telah tercabut dari akar-akarnya.
Syaiful Sulun adalah seorang tokoh militer Indonesia. Semasa aktif dalam kemiliteran, Syaiful Sulun pernah memangku jabatan sebagai Pangdam Brawijaya pada tahun 1985-1987, menggantikan Pangdam sebelumnya, Mayjen TNI Soelarso yang menjabat pada tahun 1983-1985. Syaiful Sulun kemudian digantikan oleh Mayjen TNI Sugeng Subroto yang menjabat Pangdam untuk periode 1987-1990.
Putera Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat ini juga pernah ditugaskan sebagai Kasospol ABRI dan Wakil Ketua MPR RI. Setelah masuk masa purnawira Syaiful Sulun aktif sebagai Sekretaris Jenderal dan kemudian Ketua Forum Komunikasi Purnawirawan TNI/Polri.
Pendapat Syaiful Sulun di atas benar. Ia yang terlibat langsung dalam Forum Bersama, berhasil merumuskan solusi terbaik bagi Bangsa dan Negara Indonesia, yaitu “Kaji Ulang Perubahan UUD 1945,” yang telah disahkan pada 28 November 2013. “Saya berpendapat, UUD 2013 ini, bukan UUD 1945,” tegas Syaiful Sulun. Manurutnya, sekarang hanya Veteran yang konsisten menuntut agar UUD 2013 di amandemen kembali.
Bagaimana pun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dihapus mengakibatkan Indonesia tidak memiliki visi dan misi ke depan yang jelas. Pemerintah tidak memiliki strategi jangka panjang. Syaiful Sulun menegaskan hal tersebut berkali-kali di dalam setiap pertemuan. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) hanya berisikan konsep atau pemikiran dari Presiden terpilih, yang tidak selengkap dan sedalam GBHN. Ganti pemerintah/Presiden, ganti RPJP. RPJP juga tidak memiliki kekuatan hukum seperti GBHN yang disahkan dengan Ketetapan MPR.
Apa yang dikatakan oleh Syaiful Sulun tersebut sesuai dengan kenyataan yang dihadapi oleh bangsa dan negara saat ini. Selain bermasalah di GBHN, bangsa ini juga sedang menghadapi masalah di dalam hal otonomi daerah. Sekarang tidak terkendali. Otonomi daerah yang rancu. Kewenangan Pusat banyak yang teramputasi, sehingga melemahkan kontrol pusat terhadap daerah. Ketidakpatuhan Pemerintah Daerah kepada Pusat membuat peluang terjadinya pengabaian terhadap prinsip-prinsip pengelolaan Negara Kesatuan. Hal tersebut rawan terhadap infiltrasi dan konspirasi kepentingan asing dan pada gilirannya dapat mengancam kepada NKRI.
[caption caption="Syaiful Sulun (Foto:Tempo)"]
[/caption]