Lihat ke Halaman Asli

Dasman Djamaluddin

TERVERIFIKASI

Saya Penulis Biografi, Sejarawan dan Wartawan

Intelijen Buat Sebuah Negara Sangat Penting

Diperbarui: 20 Desember 2018   15:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi - Pasukan Keamanan Irak yang didukung sukarelawan Sunni dan Syiah bentrok dengan ISIS di Anbar, Irak. (AP)"][/caption]

Ketika saya di Jayapura dan kuliah di Universitas Cenderawasih, selama empat tahun dan menjadi Ketua Lembaga Hukum HMI Cabang Jayapura, saya sering dipanggil Panglima Kodam Cenderawasih, CI Santoso. Buat saya ini adalah wajar, karena sebuah negara tanpa intelijen yang baik, maka sudah tentu negara itu lemah.

Begitu pula ketika saya membaca informasi terakhir tentang Irak, kenapa Mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair meminta maaf atas serangan ke Irak karena terjadi kesalahan informasi dari intelijen mereka ? 

Saya juga bisa memakluminya. Karena bagaimanapun, pada tahun 1992 saya ke Irak, saya sendiri mengakui sulit memperoleh informasi resmi, kecuali  melalui waawancarai dengan Menteri Industri Perlogaman Irak, Amir Al-Saadi.

Begitu sulitnya memperoleh informasi di Irak, malah yang terjadi di lapangan, informasi yang banyak kita terima, yaitu dari sopir taksi. Informasi ini pun kadang-kadang harus kita teliti, karena apakah sopir taksi di sana, benar seorang sopir, atau seorang intelijen yang menyamar sebagai sopir taksi. 

Informasi itu sangat penting. Karena berbagai peristiwa di belahan dunia ini bisa kita ketahui dengan adanya informasi tersebut. Berbagai macam cara dilakukan untuk memperoleh informasi akurat. Kita pernah membaca terungkapnya sebuah kasus besar, setelah seorang pejabat penting Amerika Serikat (AS) tidur dengan perempuan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang adalah intelijen negara tersebut. 

Saya sebelum ke Irak tahun 1992,  juga diberi nasihat oleh pendiri kelompok Harian Merdeka, B.M.Diah, “Jika Anda ingin menguasai dunia, maka kuasailah informasi.” 

[caption caption="Saya bersama Menteri Industri dan Logam Irak (Foto:Dasman Djamaluddin)"]

[/caption]

Pada hari Minggu, 13 Desember 1992, pesawat Aeroflot yang membawa saya dari Moskow, Rusia (dulu Uni Soviet) mendarat mulus di Bandara Amman, ibu kota Jordania. Saya memang dari Jakarta tidak langsung ke Irak, tetapi melalui Moskow, Rusia. Pertanyaan selanjutnya, kenapa tidak langsung ke Baghdad, ibu kota Irak melainkan ke Amman, ibu kota Jordania? 

Masalahnya adalah ketika  ke Baghdad, Irak tahun 1992, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah menerapkan larangan terbang dari dan ke Irak. Zona Larangan Terbang tersebut adalah sepanjang garis Paralel 36 Utara Irak dan garis Paralel 32 Selatan Irak.

Pada waktu ini tidak ada jalur udara ke Irak. Semua tamu yang berasal dari negara mana saja, baik sebagai rakyat biasa atau seorang Presiden, harus melalui jalur ini. Sebaliknya, para pejabat rendah hingga tinggi Irak, jika ingin bepergian ke negara-negara lain, pun melalui jalan darat ini. Jadi Jordania merupakan satu-satunya negara tetangga yang membuka perbatasannya dengan Irak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline