Lihat ke Halaman Asli

Dasman Djamaluddin

TERVERIFIKASI

Saya Penulis Biografi, Sejarawan dan Wartawan

Memperjelas Posisi ISIS di Irak dan Suriah

Diperbarui: 8 Februari 2019   07:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Buku Pedang Sang "][/caption]

Hari ini, Jumat, 8 Februari 2019, saya dikirimi sebuah video tentang situasi di Irak yang masih ada sisa-sisa gerilyawan Negara Islam di Irak (ISI). Kemudian meluas ke Suriah menjadi ISIS.

Beberapa bulan yang lalu, saya membaca sebuah buku berjudul Pedang Sang Kalifah, ISIS dan Ancaman Radikalisasi dalam Perang Saudara di Suriah dan Irak , ditulis oleh Nino Oktorino dan  diterbitkan oleh PT.Elex Media Komputindo tahun  2015. Buku ini menarik untuk disimak. Buku ini ingin memperjelas posisi apa yang disebut ISIS (Islamic State  of Iraq  and  al-Sham) di Timur Tengah.

Sebagaimana informasi yang saya baca ketika berkunjung  ke  Irak, September 2014 lalu,  ISIS ini muncul setelah Presiden Irak Saddam Hussein jatuh dan seluruh Irak diduduki oleh Amerika Serikat. Pendudukan Irak dan penyerangan ke Irak oleh Amerika Serikat dan sekutunya Inggris  menyebabkan Perdana Menteri Inggris waktu  itu, Tony Blair meminta maaf, karena intelijen telah melakukan  kesalahan besar, ujar  Blair dalam wawancara dengan pembawa acara GPS di CNN  Fareed  Zakaria, Minggu, 25 Oktober 2015.

Pertanyaan selanjutnya bagaimana sikap George Herbert Walker Bush (sang ayah, yang baru saja meninggal dunia) dan George Walker Bush (sang anak), yang  dianggap bertanggung-jawab atas penyerangan itu ?  Kelihatannya tidak ada komentar apa pun dan tidak akan mungkin Amerika Serikat meminta maaf. Mudah-mudahan kesimpulan saya ini keliru, mana tahu seminggu ke depan atau sebulan atau juga setahun ke depan, George Walker  Bush meminta maaf. Atau oleh warga Amerika Serikat sendiri. Yang jelas,  inilah perbedaan yang dapat kita ambil antara Inggris dan Amerika Serikat.

 Amerika Serikat terkenal  dengan  sikap double standard,nya. Dahulu Irak ini termasuk sekutu  negara Paman Sam  itu. Tetapi setelah Irak masuk ke Kuwait, Amerika Serikat marah. Dewan  Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB)  lalu memberikan sanksi  kepada Irak tanggal 6 Agustus 1990  yang menghendaki agar seluruh negara  menghentikan impor dan ekspor barang-barang hasil produksi ke dan dari Irak. Kecuali yang berkaitan dengan kemanusiaan. Rusia (saat itu masih disebut Uni Soviet), yang memiliki hubungan dekat dengan Irak, sehari sebelumnya masih ragu untuk menyetujui keputusan DK-PBB tersebut. Akhirnya Rusia ikut setuju. Hanya Yaman dan Kuba yang  abstain waktu itu.

Selain memberikan sanksi ekonomi, wilayah udara Irak pun dipersempit. Pemberlakuan Zona Larangan Terbang sepanjang  garis paralel 36 di Utara dan 32 di Selatan Irak membuat Irak semakin terisolir. Hanya Yordania yang bersedia membuka perbatasannya dengan Irak. Inilah satu-satunya jalan darat (karena  melalui udara tidak diizikan lagi)  ke Irak. Berbagai sanksi ini berlanjut  dengan serangan  udara  pasukan  Amerika Serikat, Inggris dan Perancis ke kota Baghdad  pada tanggal 17 Januari 1992. Bayangkan, serangan itu dilakukan sebanyak 750 kali.

Saya berkunjung ke Irak pada Desember 1992 atas undangan Pemerintah Irak yang waktu itu sebagai jurnalis harian "Merdeka" pimpinan B.M.Diah (Pemimpin Kelompok Grup Merdeka). Dalam wawancara dengan Menteri  Industri dan Perlogaman Irak, Amir al-Saadi diperoleh informasi bahwa serangan tersebut telah memporak porandakan instalasi listrik  sehingga  lumpuh total. Korban yang berjatuhan dari pihak Irak banyak sekali. Menurut informasi dari mantan Penuntut Umum Amerika Serikat, Ramsey Clark, yang melakukan kunjungan selama pemboman berlangsung, sekitar 125.000 sampai 300.000  penduduk Irak tewas. Apalagi ketika  serangan terakhir Amerika Serikat dan sekutunya, yang berhasil menangkap serta menggantung Presiden Irak Saddam Hussein, jumlah yang tewas  pun lebih banyak lagi.

Sulit untuk memahami  double standar  Amerika Serikat. Di sisi yang satu negara itu mengecam tindakan tidak manusiawi  Presiden Irak Saddam Hussein waktu itu, tetapi di pihak lain, Amerika Serikatlah  membiarkan  Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan sanksi  ekonomi, sehingga banyak warga Irak yang menderita bahkan meninggal dunia. Amerika Serikat tidak hanya menerapkan double standard kepada Irak, juga kepada Palestina. Seluruh sikap politik ini ditujukan demi kepentingan Israel. Demi mendukung kepentingan Israel secara diam-diam  sehingga sistem double standard  Amerika Serikat di berbagai kebijakan hubungan dengan negara-negara lain sangat  menguntungkan bagi dirinya (Amerika Serikat).

Kembali membahas  buku Nino Oktorino ini, pada awal buku tersebut yang dimuat dalam Pendahuluan halaman 7 sangat jelas  tergambar bagaimana hanya dengan 1.500 orang ISIS pada akhir Juni 2014 bisa mengalahkan  35.000 prajurit dan polisi Irak. Mereka ini dilatih oleh Amerika Serikat di mana para pelatihnya  juga berada di Irak. Di sini mulai terasa kejanggalan-kejanggalan  yang terjadi di Irak, sehingga ISIS  sangat mudah menguasai wilayah  Mosul, ibukota  provinsi  Ninewah, Irak. Para pengamat mulai mempertanyakan  hal ini, apakah keberadaan ISIS didukung oleh sebuah kekuatan?

Sekalipun  memiliki ideologi, retorika dan tujuan jangka panjang yang serupa dengan al-Qaeda, bahkan pernah bersekutu, tetapi ISIS yang menyebut dirinya sebagai Daulah Islamiah, berbeda dari kelompok bentukan Osama bin  Laden (halaman 8). Sangat jelas  dikatakan bahwa  ISIS tidak seperti kelompok-kelompok militan lainnya (halaman 9).  Jadi buku ini memberi penjelasan bahwa ISIS tidak terlalu suka pada hal kejahatan, dan kekejaman. Pihak ISIS sendiri melarang penggunaan kata itu terhadap dirinya dan menjatuhkan hukuman  berat terhadap orang yang berani melanggarnya di wilayah kekuasaan kelompok tersebut..

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline