[caption id="attachment_412832" align="aligncenter" width="410" caption="Ahmad Husein (Foto:Dokumentasi)"][/caption]
Ketika Prof Dr Mochtar Naim, Sosiolog, berbincang-bincang mengenai rencana pembentukan Daerah Istimewa Minangkabau (DIM), saya spontan mengatakan, oke, ikut mendukung. Mengapa tidak? Bagaimana pun itu adalah tanah leluhur kedua orang tua saya, meski saya hanya waktu di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang saja agak sedikit lama menetap.
Daerah Minangkabau memiliki ciri yang khas. Di sini berlaku sistem Matrilineal, di mana garis keturunan berdasarkan garis keturunan ibu. Hal ini sudah tentu berbeda dengan sistem Patrilineal, berdasarkan keturunan ayah. Oleh karena kekhasannya di berbagai bidang kehidupan, sangatlah wajar, saya ikut mendukung gagasan membentuk Daerah Istimewa Minangkabau.
Tidak ada permasalahan lain yang mengganjal. Jika di dalam politik, sekiranya terganjal masalah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), yang dipimpin Letnan Kolonel Ahmad Husein, maka di dalam tulisan inilah saya ingin membuktikannya, bahwa PRRI itu bukan pemberontak. Berdasarkan Data Primer dan Data Sekunder, lebih memperkuat pernyataan saya itu.
Data Primernya ketika saya berkunjung ke rumah Pak Ahmad Husein (dua kali) - rumahnya waktu itu di Ciganjur, Jakarta Selatan - saya langsung menanyakan, apakah Bapak pemberontak ? Beliau waktu itu sedang duduk di kursi roda, sakit, dan menyatakan "tidak" sambil menggelengkan kepala. Hal ini dipertegas oleh isterinya yang duduk di samping, bahwa suaminya itu bukanlah seorang pemberontak.
[caption id="attachment_412852" align="aligncenter" width="302" caption="Soemitro Djojohadikusoemo (Foto: Arsip)"]
[/caption]
Kalau kita berbicara fakta, memang membuktikan, bahwa Pak Ahmad Husein dan beberapa rekannya tidak bisa dikatakan pemberontak. Bahkan atas permintaannya sendiri (berdasarkan sumber dari suami adik isteri Pak Ahmad Husein,Yusron Lamisi, hari ini Minggu, 26 April 2015) , ketika Pak Ahmad Husein minta dimakamkan di Makam Pahlawan Kuranji, Padang, pemerintah mengabulkannya (Beliau wafat pada 28 November 1998). Hal ini berlaku pula terhadap Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo (ayah Prabowo) yang waktu itu Menteri Perhubungan dan Pelayaran PRR., Di masa Pemerintahan Soeharto diangkat sebagai menteri. Oleh karena itu tidak ada masalah dengan masa lalu PRRI.
[caption id="attachment_412853" align="aligncenter" width="300" caption="Kolonel Maludin Simbolon (Sumber:Majalah Tempo)"]
[/caption]
Berikutnya adalah Data Sekunder, di mana Kolonel Maludin Simbolon, di masa Soeharto tidak lagi di karantina. Ia dibebaskan. Kalaulah kita harus membalik sejarah ke belakang, saat Kolonel Maludin Simbolon jadi Menteri Luar Negeri PRRI, ia yang menolak keras ide agen rahasia Amerika Serikat CIA (Central Intelligence Agency) agar PRRI mau meledakkan minyak Caltex di Riau. Jika diledakkan ada alasan CIA masuk ke Indonesia, karena kepentingannya di Indonesia diganggu.
Tentang minyak Caltex ini diungkap jelas dalam buku: Payung Bangun:" Kolonel Maludin Simbolon Liku-Liku Perjuangan dalam Pembangunan Bangsa."(Jakarta:Pustaka Sinar Harapan,1996) hal.256-257 :
"Informasi jawaban mengenai misi CIA diperolehnya dari seorang anggota CIA yang datang ke Padang. Orang itu mengatakan, bahwa pemberian bantuan persenjataan dalam rangka menjamin adanya daerah 'de facto' PRRI. Amerika memerlukan untuk dapat dijadikan alasan pengakuan sebagai suatu pemerintahan dan dengan demikian mempunyai dasar keabsahan yang kuat bagi jalinan hubungan, sekaligus dapat pula menjadi basis operasi militernya bila diperlukan dalam rangka membendung perluasan kekuatan komunis ke kawasan itu. Orang tersebut pernah menyarankan agar Kolonel Maludin Simbolon memerintahkan meledakkan instalasi tambang minyak Caltex di Riau, agar ada alasan Armada VII Amerika Serikat mendaratkan pasukan marinirnya. Saran tersebut ditolaknya dengan mengatakan, bahwa dia tidak menghendaki Indonesia mengalami seperti yang terjadi antara Korea Utara dan Korea Selatan atau 'balkanisasi' negara dan bangsanya."