Kami bukan pembangun candi,
Kami hanya pengangkut batu,
Dari angkatan yang segera punah,
Dengan harapan di atas pusara kami akan lahir generasi yang lebih sempurna.
Beberapa kertas yang berisi rintihan Veteran tua dan disampaikan seorang pujangga Belanda itu masih tergeletak di atas meja saya, meski sudah agak lama. Buat saya kertas itu memiliki arti tersendiri dalam kehidupan . Mengapa tidak? Karena beberapa lembar kertas itu diberikan seorang pelaku sejarah Letnan Jenderal TNI (Purn) Rais Abin yang sekarang masih jadi Ketua Umum Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kamis, 26 Juli 2012.
Kertas itu pun diberikan kepada saya seusai bertemu dengan Pemimpin Umum Harian Kompas, Jacob Oetama di Lantai VI Harian Kompas. Buat saya peristiwa-peristiwa ini merupakan kenangan tersendiri, karena lama juga saya bergabung dengan Kelompok Harian Kompas (Persda) tetapi baru pertamakali itu saya bertatap muka dengan Jacob Oetama secara langsung. Itu dikarenakan Rais Abin dalam rangka persiapan penerbitan buku "Rais Abin, Panglima Pasukan PBB di Timur Tengah 1976-1979," di mana Jacob Oetama bersedia menulis sekapur sirihnya. Pun beberapa lembar kertas itu juga ada di tangan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), karena lembaran kertas tersebut merupakan laporan LVRI kepada Presiden. Saya hanya tertarik dengan rintihan Veteran tua tersebut.
Rintihan dan harapan Veteran tua itu berkaitan erat dengan pertemuan 84 Jenderal Purnawirawan pada Kamis, 28 November 2013 di Hotel Sultan, Jakarta. Di antara mereka yang hadir, Letjen TNI (Purn) Rais Abin (Senior AD), Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno (Senior AD sekaligus mantan Wakil Presiden RI), Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso (Senior AD), Jenderal TNI (Purn) H.A.M Hendro Priyono, Jenderal TNI (Purn) H.Agum Gumelar, Mayjen TNI Syamsu Djalal, Jenderal TNI (Purn) Soerjadi Soedirja, Letnan Jenderal TNI (Purn) Sutiyoso, Jenderal Pol (Purn) Prof.Dr.Awaloedin Djamin MPA (Senior Polisi) dan lain-lain Jenderal (Purn).
Kaitan dengan agar "Dengan harapan di atas pusara kami akan lahir generasi yang lebih sempurna," maka mereka sepakat Kaji Ulang Perubahan UUD 1945. "Perubahan-perubahan telah melenceng dari cita-cita para pendiri bangsa." Banyak pasal-pasal multi tafsir karena UUD hasil amandemen tidak ada penjelasannya. Sebetulnya penjelasan UUD 1945 satu paket dengan syarat sebuah perubahan. Hidupkan lagi MPR sebagai perwujudan dari suara rakyat. "Perubahan UUD terlalu liberal sehingga bisa menciptakan konflik."
Peristiwa ini mengingatkan kita kembali setelah 11 Maret 1966 (Supersemar) , para Jenderal aktif menduduki posisi penting pemerintahan di Indonesia. Mereka ingin melakukan perubahan. Sekarang munculnya suara-suara para Jenderal Purnawirawan sudah tentu menginginkan pula perbaikan-perbaikan bangsa dan negara ini ke depan. Siapa pun Presiden terpilih harus memperhatikan dan melaksanakan suara-suara mereka, karena mereka memahami betul perjalanan sejarah bangsa ini, karena ikut langsung mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.
[caption id="attachment_325472" align="aligncenter" width="296" caption="Para Jenderal Purnawirawan ini selalu berharap agar nasib bangsa dan negara ini lebih baik ke depan (Foto:Tempo.co)"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H