Lihat ke Halaman Asli

Dasman Djamaluddin

TERVERIFIKASI

Saya Penulis Biografi, Sejarawan dan Wartawan

Harapan Seorang Sultan Untuk Pemimpin Bangsa

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13971355421218185884

Mungkin ketika kita membaca Kompas, Minggu, 6 April 2014 tentang "Harapan Indonesia," pendapat para pemimpin daerah seluruh Indonesia, kita terlewati membaca pendapat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X.

Pendapat beliau sebagai kepala daerah, singkat tetapi menurut saya sangat bermakna, karena mengandung harapan-harapan kepada Presiden yang akan datang agar mau melakukan beberapa hal. Pendapatnya itu tertanggal 7 Maret 2014 dan ditandatangani di Yogyakarta atas nama Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X.

Istilah Sultan yang melekat di depan namanya, sudah tentu menandakan bahwa beliau bukan hanya seorang kepala pemerintahan di Yogyakarta, sekaligus sebagai raja di Kraton Yogyakarta. Ada tiga hal yang diinginkan Sultan:

1. Harapan saya kepada Presiden yang akan datang, agar sistem pemerintahan Presidensial itu dapat dipegang teguh. Menurut saya pendapat Sultan ini benar, karena  selama 10 tahun belakangan ini,  sistem pemerintahan Presidensial tidak kelihatan. Tidak jelas apakah kita menganut sistem pemerintahan Presidensial atau Parlementer. Sejauh ini kita berada di sistem pemerintahan abu-abu, karena peranan Presiden dalam memutuskan sesuatu tidak  terlihat nyata. Sebetulnya UUD 1945 telah memberikan dan menyatakan dengan tegas bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 4 UUD 1945 asli maupun setelah perubahan).

2. Agar Presiden/Wakil Presiden dan pembantu-pembantunya, juga Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Walikota/Wakilnya harus keluar sebagai kader partai.  Saya juga setuju dengan pendapat ini. Memang apa yang diharapkan Sultan sudah saatnya dicermati dan dipahami dengan sungguh-sungguh agar para pemimpin pemerintahan berkonsentrasi penuh memikirkan bangsa atau rakyatnya dengan sungguh-sungguh. Jangan terjadi lagi pecahnya konsentrasi antara memikirkan kepentingan partai atau rakyatnya. Bukankah ada ungkapan yang mengatakan:" Kesetiaanku kepada partai berakhir, jika kesetiaanku kepada negara bermula," ? Di samping itu kita bisa melihat dari perilaku Parpol dalam memperjuangkan kepentingan politiknya. Dalam bekerja sama (berkoalisi), baik Parpol Islam maupun Parpol Nasionalis, tak melihat ideologi sebagai sebuah pembatas/kendala. Dalam banyak hal, tak ada pertimbangan warna ideologi dalam melakukan kerjasama, seperti dalam mencalonkan Presiden/Wakil Presiden dan Kepala/Wakil Kepala Daerah. Yang lebih tampak adalah pertimbangan politik pragmatis dan atau opurtunistis dalam arti besaran keuntungan politik dan ekonomi. Hal ini, juga terlihat dari Parpol Islam. Dalam banyak hal Parpol Islam justru lebih merasa nyaman berkoalisi dengan Parpol Nasionalis dan bukan sesama Parpol Islam.

3. Bagi pejabat-pejabat publik karena kesalahannya harus mengundurkan diri. Pelayanan dan kepentingan publik (rakyat) harus diutamakan. Masalah ini yang  menurut saya

[caption id="attachment_331138" align="alignnone" width="400" caption="Saya bersama Sultan Hamengku Buwono X di Kraton Yogyakarta, Mei, 2012"][/caption]

sering kita lihat di tengah masyarakat. Jangankan harus mengundurkan diri, mengakui kesalahannya pun tidak mampu. Malah hingga di tahan pun masih tetap menyandang sebutan seorang pejabat, sehingga kepentingan rakyat terbengkalai.

Tiga pokok pikiran Sultan Hamengku Buwono X ini jika dicermati secara mendalam, sungguh merupakan harapan mulia bagi pembangunan bangsa dan negara ke depan. Pada tahun 2012 ketika saya  bertemu dengan Sultan Hamengku Buwono X di Kraton Yogyakarta, Sultan menegaskan bahwa Indonesia sekarang ini membutuhkan pemimpin yang bisa menjadi teladan bagi rakyat yang dipimpin. "Seorang pemimpin wajib mengedepankan keteladanan dengan menjalankan leadership by example. Bukankah saripati kepemimpinan adalah memandu jalan dan membawa orang lain ke tujuan bersama," ujarnya.

Seorang pemimpin tidak dapat memandu manakala ia sendiri berjalan dalam kegelapan visi, melangkah dengan kelemahan karakter, dan bergerak maju tanpa kaca mata strategi yang tepat. Bagaimana membawa orang lain ke tujuan bersama, jika ia sendiri tidak mampu memberikan contoh dan keteladanan yang bisa ditiru? Daya keteledanan merupakan kriteria pokok menjadi pemimpin nasional atau bagian dari kepemimpinan nasional? Salah satu keteladanan yang penting itu adalah bersikap sebagai seorang negarawan. Ungkapan sering dikemukan tentang sikap kenegarawanan, ya, ungkapan di atas tadi:" kewajiban dan kesetiaan saya kepada partai berakhir, ketika kewajiban dan kesetiaan saya kepada negara mulai." (Foto: Saya dan Sultan di Kraton Yogyakarta tahun 2012)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline