[caption id="" align="aligncenter" width="630" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]
Jelang pelaksanaan Pilpres 2014, konstelasi politik kian memanas. Seluruh isu yang cenderung menjadi black campaign digelontorkan untuk menjatuhkan para calon. Tetapi ada yang membantah, itu bukan black campaign tetapi negative campaign. Black Campaign tidak memunculkan fakta, tetapi mengarah ke fitnah, sedangkan Negative Campaigne berupa fakta.
Jika disetujui nantinya istilah Negative Campaigne di tengah masyarakat, menjadi istilah populer sebagaimana populernya di negara-negara lain, maka bisa saja suatu ketika Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar) yang sudah lama hilang yang berupa fakta-fakta ditemukan dan diungkap di tengah masyarakat.
Surat Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang berisi rekomendasi pemberhentian Prabowo Subianto dari dinas kemiliteran yang muncul ke permukaan sempat menghebohkan. Pro-kontra pun bermunculan. Kubu Prabowo tak terima surat yang menurut mereka bersifat rahasia negara itu disebarkan kepada publik melalui media sosial. Kubu Prabowo menduga ada pihak yang sengaja membocorkan surat DKP itu.
Ada yang perlu digarisbawahi ketika kita berbicara mengenai dokumen negara. Ada batas waktu di mana dokumen itu perlu diketahui oleh rakyat atau belum bisa diketahui mengingat berbagai pertimbangan, terutama mengenai kestabilan dan keamanan negara. Batas waktu itu berbeda-beda di setiap negara, tetapi pada akhirnya perlu juga diketahui oleh masyarakat. Pertimbangannya, karena kerahasiaan negara itu tidak lagi berdampak langsung terhadap perjalanan bangsa dan negara. Agen Rahasia Amerika serikat (CIA) juga banyak mengungkap dokumen-dokumen rahasianya agar diketahui rakyat. Begitu pula Belanda dan negara-negara lain. Pengungkapan dokumen-dokumen rahasia sangat diperlukan, terutama untuk para ilmuwan sebagai sumber penelitian.
Sebenarnya rakyat Indonesia memiliki hak juga untuk mengetahui dokumen negara itu. Hal tersebut diatur dalam UU Arsip Nasional, kapan dokumen negara bisa diketahui. Tetapi di Indonesia ada istilah rahasia dan sangat rahasia. Istilah sangat rahasia inilah yang membuat dokumen-dokumen negara di negara kita tidak selalu bisa dibaca oleh rakyatnya, meski sebenarnya penafsiran sangat rahasia itu tidak lagi tepat.
Saya tidak lagi berbicara mengenai Dokumen Surat Dewan Kehormatan Perwira yang telah dibaca rakyat melalui media sosial. Apakah sudah patut dibaca rakyat atau tidak. Hanya permasalahannya, surat tersebut keluar atas keingintahuan rakyat akan peristiwa yang tidak pernah tuntas diselesaikan. Terutama para korban penghilangan paksa yang hingga hari ini belum juga ditemukan. Ada yang menuntut agar peristiwa itu diungkap.
Memang istilah "Melawan Lupa," sudah lama diperdengarkan, agar korban yang diculik tahu di mana berada. Apakah sudah meninggal atau belum. Bagaimana nasibnya. Kalau sudah meninggal di mana makamnya. Selama ini rakyat bingung siapa yang bertanggung jawab. Jika tahu siapa yang bertanggung jawab, harapan keluarga korban sudah tentu permasalahan selesai dan pelakunya sudah tentu diadili sesuai dengan hukum yang berlaku. Karena yang menjadi korban adalah anak-anak muda, juga adalah bangsa Indonesia sendiri. Minimal kalau mereka melakukan aksi protes sudah tentu berkaitan dengan masa depan bangsa ini agar lebih baik.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) memang memiliki ciri khusus di masa Orde Baru. Tetapi lama kelamaan setelah reformasi, sikap dan tindak-tanduk TNI sudah mengalami perubahan. Namun demikian, rakyat masih menghendaki, terutama dari para keluarga korban, bisa mengetahui di mana anak atau saudaranya dimakamkan. Sudah tentu pelakunya segera dihukum, sesuai dengan tujuan negara ini didirikan sebagai negara hukum dan bukan sebagai negara kekuasaan. Hanya mungkin masalah batas waktu diizinkannya pengungkapan dokumen ini yang dipertanyakan.
Terlepas dari bocornya Surat Dewan Kehormatan Perwira ini, ada satu lagi dokumen negara yang perlu rakyat ketahui. Tidak pernah tuntas penyelesaiannya. Yaitu surat perintah sebelas Maret 1966 yang asli. Dokumen ini sebetulnya tidak berpengaruh lagi terhadap masalah keamanan karena para pelakunya sudah meninggal dunia dan tidak berpengaruh pula terhadap pemerintahan, karena bagaimanapun pemerintahan sekarang tetap berjalan. Tetapi tidak pernah terungkap, meski berbagai petinggi negara pernah berjanji akan mencarikan surat asli tersebut. Kenapa harus disembunyikan dan malah yang beredar Supersemar Palsu. Apakah hal ini bisa dikatakan pembohongan publik?
[caption id="attachment_341958" align="aligncenter" width="200" caption="Buku Tulisan Saya.Jenderal Basoeki Rachmat dan Supersemar. Penerbit PT.Grasindo, 1998. Supersemar asli belum juga ditemukan dalam buku ini."]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H