Lihat ke Halaman Asli

Dasman Djamaluddin

TERVERIFIKASI

Saya Penulis Biografi, Sejarawan dan Wartawan

Di Irak Tidak Ada Lagi Saddam Hussein

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berjalan-jalan di Kota Baghdad sekarang jauh berbeda ketika saya ke sana bulan Desember 1992. Bangunan-bangunan tertata rapi, suasana Baghdad yang nyaman selalu ada di pelosok-pelosok kota. Berjalan sendiri seperti di Indonesia ke mana-mana. Sekarang tidak lagi.

Yang jelas saya ke Baghdad kali ini berada dalam suasana darurat. Pihak keamanan mendirikan pos posnya hampir di setiap persimpangan jalan. Mobil yang disopiri pihak Kedutaaan Besar Indonesia selalu berhenti saat mobil itu melintasi jejeran tentara dan polisi yang berjaga di sana. Tak kecuali mobil kedutaan atau sopir kedutaan yang sudah memperlihatkan berbagai dokumen.

Irak sudah berubah. Hal itu terasa sekali. Banyaknya sisa-sisa puing pemboman Amerika Serikat dan sekutunya ketika menghancurkan kekuatan Saddam Hussein, masih terlihat di sudut-sudut kota. Pun sekarang tidak ada lagi gambar-gambar Saddam di berbagai persimpangan jalan. Saddam hilang dari sejarah Irak.

Menurut saya, hal ini bisa saja berlangsung beberapa dekade, sama halnya di Indonesia ketika Presiden Soekarno jatuh tahun 1966. Foto-fotonya diturunkan. Irak pun sama. Bedanya, foto Saddam ditutunkan oleh rakyanya sendiri didukung tentara Amerika Serikat yang di sana. Di Indonesia, murni oleh rakyatnya sendiri, karena fakta sejarahnya belum ada unsur-unsur asing. Pandangan ini bisa saja berubah, jika ada data yang akurat. Otentik. Tetapi yang harus diingat, yang juga adalah kutipan pidato Presiden Soekarno, "Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah" (Jas Merah). Hal itu memang benar, jika kita membaca sejarah, tokoh-tokoh dunia, baik militer atau sipil, baik melaksanakan kekuasaan dengan kejam atau tidak, tetap saja nama-nama mereka terukir dalam sejarah. Sejarah tidak mungkin didustai, ia akan tetap menjadi bagian dari perjalanan hidup manusia.

Inilah perbedaan seorang sejarawan dengan politikus melihat situasi dan kondisi yang terjadi di sebuah negara, termasuk Irak.Apalagi kalau sejarah itu sudah dimanipulasi demi kepentingan sesuatu. Seperti di Irak, kepentingan minyak misalnya. Muncul sebuah laporan bahwa tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepada Saddam Hussein, di mana di masa pemerintahannya  memiliki senjata pemusnah massal tidak terbukti. Apakah ini yang disebut konflik Irak-AS semasa Saddam Hussein ?  Bukankah konflik minyak  menjadi unsur utama,  atau Amerika ingin melenyapkan Saddam  karena betul-betul sudah melawan Amerika Serikat, sehingga kepentingannya di Irak bisa terganggu?

Ada tulisan di Harian Kompas yang sedikit banyak memberikan pecerahan kepada kita. Saya tertaril dengan tulisan berita tanggal 1 September 2010 halaman 10 itu dengan judul: "Amerika Serikat Abaikan Faktor Saddam." Di sana dijelaskan bagaimana ketika Amerika Serikat menjatuhkan almarhum Saddam Hussein pada April 2003, tidak dianggap para pengikutnya akan menjadi ancaman. "Mereka telah menjadi sejarah," demikian Jenderal Richard Myers, saat itu Ketua para Kepala Staf yang bertugas di Irak.

Dilucutilah antek-antek Saddam. Amerika yakin semua anasir Saddam telah habis. "Ini terbukti tidak benar," demikian Kantor Berita Associates Press, mengabarkannya Selasa, 31 Agustus 2010.

Masih banyak yang harus dijajaki untuk menjelaskan mengapa Irak terus kacau. Namun, untuk sementara amat mudah untuk menjelaskan bahwa Amerika memasuki Irak tanpa banyak pengetahuan. Amerika tak paham betapa Irak terpecah belah dan betapa rezim represif Saddam telah mengacaukan pranata sosial politik di Irak.

Loyalis Saddam selalu mudah menemukan tempat di hati sebagian orang di Irak, yang kemudian diajak melakukan serangan "pukul dan lari". Boleh jadi apa yang terjadi di Irak sekarang ini merupakan pembenaran analisa Jenderal Richard Myers. Munculnya kelompok perlawanan baru setelah Saddam digantung.

Tak bisa dilakukan apa apa di Irak sekarang ini. Yang jelas masuknya Amerika Serikat ke Irak, di samping masalah minyak atau faktor lainnya, banyak yang mengatakan, Amerika Serikat keliru masuk ke sana. Tatapi nasi telah menjadi bubur. Masalah Irak tetap dijadikan pelajaran berharga untuk bangsa-bangsa lain.

Itulah hasil kunjungan saya ke Irak. Tidak banyak bicara politik sebagaimana kunjungan saya pertama kali ke sana. Bagaimana pun agak sulit  mencari informasi saat situasi lagi bergejolak. Kunjungan saya ke Irak hanya ke tempat makam nabi dan sahabatnya.Duta Besar Indonesia di Irak berseloroh kepada saya,"Untung Pak Dasman pulang hari ini, karena kalau berangkat beberapa hari lagi tidak tahu kapan pulang ke tanah air. Besok jalur udara banyak dipakai pesawat-pesawat tempur untuk menyerang ISIS." Terimakasih Yang Mulia Duta Besar Indonesia, meski hanya kali ini 10 hari di Baghdad, tetapi bisa sebagai studi perbandingan karena saya pernah ke Irak sebelumnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline