Lihat ke Halaman Asli

Dasilva ari

Sebab kita sering lupa, maka menulis adalah kunci

Eksploitasi Kemarahan dalam Media Sosial Masa Kini

Diperbarui: 17 Januari 2020   04:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Terus terang, belakangan aku semakin tertarik dengan perkembangan media sosial yang semakin merasuk pada diri manusia di setiap lapisan masyarakat. hal-hal yang viral pun semakin beraneka ragam.

Contohnya begini, dulu kita menganggap pesan pribadi melalui WhatsApp adalah sesuatu yang sifatnya privat. Namun hari ini dengan mudah pesan dalam Whatsapp menjadi viral dengan dibumbui sesuatu yang sifatnya lucu dan sebagainya.

Dulu kita sering sekali kita tertawa melihat orang lain yang jatuh, entah kepleset atau mungkin jatuh karena disleding. Namun itu hanya bersifat lokal.

Sekarang, ketawa kita menjadi lebih luas, karena kita dapat melihat orang-orang seperti itu di berbagai belahan dunia. Mulai keplesetnya orang Amerika, Afrika, bahkan kita bisa lihat keplesetnya Steven Gerrard di Liga Inggris (mohon maaf fans Liverpool, cuma konten).

Berarti enak jadi orang jaman dulu ya? Bahkan setelah jatuh kepleset-pun tahan malunya cuma sesaat.  Atau minimal yang tau Cuma orang sekitar. Beda dengan sekarang, bahkan malunya bisa seumur hidup, bahkan "dianggap bodohnya" pun meluas. Aku sendiri tidak bisa membayangkan betapa malunya mereka yang ada dalam video viral tersebut.tapi kayanya enak, sih. Bisa jadi artis sesaat.

Bukan hanya perihal jatuh kepleset atau tindakan bodoh yang membuat mereka viral. Dewasa ini kita sering sekali dipertontonkan terkait eksploitasi kemarahan yang di  disuguhkan oleh beberapa selebgram dan youtuber macam @keanuagl dan kolonoinya.

Bahkan jauh dari itu, saat era TV  lebih segalanya dari youtube (kalau sekarang kan youtube lebih dari TV). Kita kenal dengan reality show Termehek -- mehek, rumah uya, katakan putus, dan lainnya yang terkenal dengan eksploitasi kemarahan yang di tampilkan di televisi pada waktu itu.

Memang hari ini masyarakat seolah -- olah dimanjakan dengan drama yang mengeksploitasi kemarahan. Makian dan umpatan hari ini sudah tidak membuat masyarakat takut, bahkan hari ini mereka sepertinya senang apabila mendengar umpatan di youtube atau instagram. Padahal kata itu 20 tahun yang lalu adalah kalimat yang tabu dan cringe untuk didengar.

Entah menjadi strategi pasar atau bagaimana, nyatanya drama eksploitasi kemarahan di era 2000 an menjadi daya tarik tersendiri. Apabila di siarkan di TV, maka TV tersebut akan mendapat rating yang bagus dan laris manis di pasaran. Apabila di youtube atau instagram, maka akan mendapat view beratus -- ratus ribu.

Padahal KPI (komisi penyiaran Indonesia) melalui beberapa surat edaran telah mencekal acara -- acara yang mengandung unsur drama settingan yang berbumbu kemarahan,. Namun, seperti tidak  ada jeranya, Tetap saja eksploitasi ini dilanjutkan, acara satu ditutup, pindah di acara lain dengan merubah kemasan, platform TV sudah menjadi mainstream, maka pindah ke platform mediasosial.

Entah apa yang merasuki konten kreator dan tim kreatif dari beberapa media ini? Mungkin mereka sudah kehabisan konten sehingga jalan pintas ini yang mereka gunakan sebagai senjata mencari viewer. Atau mungkin, niat tulus mereka mencari teori dan analisis sosial mengenai kesukaan masyarakat, dan mereka temukan masyarakat kebanyakan memang menyukai drama yang meng-eksploitasi kemarahan.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline