Sumber: Rumah Adat Kasepuhan Cisitu.
Gambar 1. Tata Ruang Kasepuhan Cisitu Banten Kidul.
Negeri ini rapuh sekali, hujan kebanjiran, panas kekeringan. Bencana alam terjadi dimana-mana. Kecuali gunung meletus dan gempa, bencana banjir dan tanah longsor adalah mutlak karena keserakahan manusia dalam menjalani hidup di bumi.
Tidak hanya di Pulau Jawa, pulau-pulau besar di Jamrud Khatulistiwa ini mengalami bencana ekologis yang sangat parah sekali. Tersebar merata dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Ada alih fungsi hutan menjadi perkebunan homogen, pertambangan dan pembangunan hutan beton di kota. Gaya hidup hedon dan kapitalis telah merusak hubungan manusia dengan alam. Padahal, nenek moyang kita dulu, telah banyak mengajarkan kearifan lokal dalam hubungannya dengan alam.
Tengoklah sebuah kawasan yang masih dekat dengan Ibu Kota Indonesia. Kira-kira 6-8 jam arah selatan Jakarta, biasa disebut Wewengkon Adat Kasepuhan Banten Kidul. Sebuah kawasan yang terkenal dengan upacara 'seren taun' sebagai rasa syukur atas nikmat panen padi yang hanya setahun sekali.
Bermukim dalam tradisi masyarakat Adat di Banten Kidul tidaklah hanya sebagai tempat tinggal, karena di sinilah masyarakat melakukan ritual kehidupan. Ketika alam menyediakan sumber kehidupan, maka di situlah terjadi bentuk komunikasi antar individu, antar keluarga, antar ikatan, antar sesama makhluk hidup dengan alamnya dan antar manusia dengan Penciptanya.
Tradisi tersebut tertuang dalam falsafah hidup “Leuweung Hejo Rakyat Ngejo“, Hutannya Hijau, Rakyatnya Makmur. Mereka punya kawasan yang disebut Hutan (tanah) Tutupan, Hutan (tanah) Titipan dan Tanah Olahan (Gambar 1). Hutan Tutupan merupakan hutan tertutup yang boleh dimanfaatkan oleh masyarakat adat tapi non kayu. Luasnya kurang lebih 51,2 % dari luas kawasan dan merupakan tempat sumber air berada. Hutan Titipan adalah hutan leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan untuk generasi yang akan datang, berupa hutan yang memiliki luas kurang lebih 37,7 % yang berfungsi sebagai penjaga keseimbangan alam. Hutan Titipan ini tidak boleh dimanfaatkan baik itu kayu maupun non kayunya. Bahkan yang boleh memasukinya hanya Ketua Adat, itupun setahun sekali. Sisanya kurang lebih 11,1 % dari luas kawasan merupakan Tanah Olahan yang dimanfaatkan untuk perkampungan, persawahan dan lainnya.
Dari sisi Ketahanan Pangan, awal Desember 2012 ini, Kasepuhan Cisitu Banten Kidul baru saja meraih dan terpilih sebagai penerima penghargaan ‘Adhikarya Pangan Nusantara’ peringkat kesatu Nasional. Lahan persawahan yang hanya sekitar 10,4% dari luas wilayahnya mampu memenuhi lumbung padi (leuit) yang jumlahnya ribuan. Bahkan, ada padi yang usianya puluhan sampai ratusan tahun yang masih layak untuk dimakan dan dikeluarkan pada saat perayaan syukuran panen padi yang biasa disebut upacara Seren Taun. Ini sebagai bukti bahwa hasil padi disana sangat melimpah dan tidak habis untuk dimakan sendiri walaupun musim tanam padi disana hanya sekali dalam satu tahun. Oleh karena itu, sekitar tahun 80an, masyarakat Banten Kidul turut menyumbang beras untuk bencana kelaparan yang terjadi di Benua Afrika.
Secara hitungan matematis, dengan luas persawahan hanya 10.4%, panen padi hanya setahun sekali dan jumlah penduduk yang mencapai 4000 lebih, maka sangat mustahil lahan persawahan itu mencukupi kebutuhan pangan masyarakatnya. Namun dengan pola penataan ruangnya yang terdiri dari Hutan Tutupan, Hutan Titipan dan Tanah Olahan ternyata memberikan dampak yang luar biasa bagi lahan persawahannya. Waktu tanam yang hanya setahun sekali berarti memberikan waktu istirahat yang sangat cukup untuk mengembalikan unsur hara yang dibutuhkan padi. Kebutuhan air pun tersedia melimpah meskipun musim kemarau karena hutan tempat mata air berada seluas 51.2% masih terjaga dengan sangat baik. inilah yang membuat hasil tanamnya melimpah ruah memenuhi leuit-leuitnya meskipun teknologi pengolahannya masih sangat sederhana.
Ditinjau dari sisi ketahanan lingkungan binaannya, belum pernah terdengar kejadian bencana alam yang terjadi di Baduy dan Kasepuhan Banten Kidul yang diakibatkan oleh ulah tangan manusia. Tanah longsor, banjir bandang yang diakibatkan oleh penebangan liar tidak pernah terjadi di sana. Tanah Tutupan dengan luas sekitar 51.2% berupa hutan yang hanya dimanfaatkan non kayunya memberikan mata air dan cadangan air yang melimpah sebagai sumber kehidupan utama. Keseimbangan alamnya pun tetap terjaga dengan adanya Tanah Titipan seluas 37.7% berupa hutan yang tidak boleh dimanfaatkan baik kayu maupun non kayunya.
Di sisi ketahanan papan, penggunaan material lokal menjadikan masyarakat adat Banten Kidul dan Baduy tidak akan kekurangan material untuk membangun tempat tinggalnya. Kayu, Bambu, Ijuk, Tepus, Batu Kali, Pasir, Tanah Liat banyak tersedia disana. Pola permukimannya pun tertata dengan baik yang mengutamakan keserasian antara Adat, Agama dan Negara seperti yang ada di Kasepuhan Cisitu Banten Kidul. Bangunan Adat diwakili oleh Rumah Adat, bangunan Agama diwakili oleh Masjid dan bangunan Negara diwakili oleh Pendopo. Ketiga bangunan tersebut dikelilingi oleh bangunan yang berfungsi sebagai rumah singgah yang berjumlah 5 unit dan melambangkan dasar adat ‘Tilu Sapamulu Dua Sakarupa Nu Hiji Eta-Eta Keneh‘, rukun Islam dan Dasar Negara Pancasila.
Khusus untuk masalah kebutuhan kayu untuk tempat tinggal, Abah atau Ketua Adat di sana, memiliki kebijakan yang sangat arif, yaitu selain rumah adat, maka warga boleh menggunakan material non kayu untuk membangun rumahnya. Abah berpikir jika masih menggunakan kayu, maka hutan tutupan dan titipan yang masih ada tidak akan cukup memenuhi kebutuhan masyarakatnya yang selalu bertambah setiap tahunnya. Makanya jangan heran bila rumah-rumah di sana bukan rumah panggung dari kayu dan bambu lagi, tetapi sudah rumah permanen.
Tak kalah pentingnya adalah Ketahanan Energi. Tanah, Air, Udara dan Matahari adalah sumber energi terbarukan yang sangat melimpah. Aliran air sungai bisa untuk memenuhi kebutuhan energi listrik dengan turbin air, mikrohidro, pikohidro dan nanohidro. Begitupun dengan udara yang bisa menggerakkan kincir angin. Teriknya sinar matahari dan tanah yang bercampur dengan kotoran manusia, hewan dan tanaman bisa menghasilkan bio energi yang tak terhitung jumlahnya untuk memenuhi kebutuhan energi di sana.
Dengan komposisi penataan ruang 51:38:11 yang masih terjaga saat ini, masyarakat adat Baduy dan Kasepuhan Banten Kidul memiliki kualitas hidup yang jauh lebih baik dibandingkan dengan masyarakat perkotaan di JABODETABEKPUNJUR. Pola penataan ruang kawasannya pun memiliki peran yang sangat besar dalam upaya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, penanggulangan banjir dan pengembangan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat.
CONCEPTUAL PLANJABODETABEKPUNJUR Gambar 2. Peta pembagian Zona wilayah Jabodetabek. Menggunakan pola penataan ruang seperti yang telah dilakukan oleh masyarakat adat Banten Kidul memang sudah tidak memungkinkan lagi. Oleh karena itu yang bisa dilakukan adalah menyelamatkan yang tersisa dan mengoptimalkan lahan-lahan kosong yang ada di bantaran atau sempadan serta ruang-ruang kosong yang ada di perkotaan. Kawasan yang dianalogikan sebagai Tanah Tutupan adalah lahan yang ada di bantaran sungai, danau, situ, waduk, jalan, dan Ruang Terbuka Hijau di perkotaan. Guna mempercepat konservasi air dan lingkungan, maka kawasan yang dijadikan sebagai Tanah Tutupan tersebut ditanami dengan tanaman bambu yang nantinya diikuti dengan tanaman keras dan tanaman produksi seperti buah, sayuran dan lainnya. Untuk kawasan yang dianalogikan sebagai Tanah Titipan adalah kawasan yang memiliki Gunung dan Bukit yang berada di sekitar Bogor, Puncak dan Cianjur. Kawasan ini harus betul-betul dijaga dengan hukum yang sangat ketat karena merupakan kawasan yang menyeimbangkan antara manusia dengan alam. sedangkan kawasan yang dijadikan sebagai Tanah Olahan adalah kawasan yang berada di perkampungan (kampung pedalaman maupun kampung perkotaan) menggunakan konsepEco Villagedan di perkotaan menggunakan konsepThe Flying City. Bambu untuk Hidup yang Berkelanjutan Berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, disebutkan bahwa penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur memiliki peran sebagai acuan bagi penyelenggaraan pembangunan yang berkaitan dengan upaya konservasi air dan tanah, upaya menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, penanggulangan banjir, dan pengembangan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat. Adapun kebijakan penataan ruang Kawasan Jabodetabpunjur adalah untuk mewujudkan keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang kawasan dalam rangka keseimbangan antara pengembangan ekonomi dan pelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu peran bambu sangat penting karena memiliki beberapa keunggulan yaitu : kecepatan tumbuhnya 12”-36” per hari, lebih fleksibel dibanding kayu, dapat dipergunakan dalam umur tumbuh 3-5 tahun, multiguna, bisa menghindari dan menahan erosi, memperbaiki kandungan air tanah,renewable-sustainable, budi daya yang mudah serta bisa menciptakan lapangan kerja yang banyak. Di sisi lain, produksi biomassa bambu juga lebih baik dibanding kayu, yaitu 7x lebih banyak dari pada pohon lainnya, bertambah 10-3-% per tahun dibanding 2-5% pertahun untuk pohon lainnya, memproduksi antara 50-100 ton per Ha dan terbagi atas 60-70% batang, 10-15% ranting,, 15-20% daun-daunan. (Liese, 1985). Gambar 3. Pohon bambu untuk konservasi air dan lingkungan di bantaran sungai, danau/waduk/setu, pinggir jalan dan ruang terbuka hijau. Dalam kaitannya dengan konservasi, sebuah penelitian di China, hutan bambu mampu meningkatkan penyerapan air ke dalam tanah hingga 240% dibandingkan hutan pinus. Penghijauan dengan bambu pada bekas tambang batu bara di India mampu meningkatkan muka air tanah 6,3 meter hanya dalam 4 tahun. Berdasarkan laporan penelitian tentang hutan di China, dedaunan bambu yang berguguran di hutan bambu terbuka paling efisien di dalam menjaga kelembaban tanah dan memiliki indeks erosi paling rendah dibanding 14 jenis hutan yang lain. Penelitian Prof. Koichi Ueda dari Kyoto University menyatakan bahwa sistem perakaran bambu monopodial sangat efektif di dalam mencegah bahaya tanah longsor. Hutan bambu dapat menyerap CO2 62 ton/Ha/Thn sementara hutan tanaman lain yang masih baru hanya menyerap 15 ton/Ha/Thn. Bambu juga melepaskan oksigen sebagai hasil foto sintesis 355 lebih banyak dari pohon yang lain. Pemanfaatan biomassa bambu ini sangat beragam sekali, yaitu sebagai bahan bangunan hunian, jembatan, bambu laminasi, parket, perancah, perabotan, peralatan dapur, kerajinan, alat musik, kemasan, rebung, makananan ternak, obat, kertas, tekstil, bahan bakar, pupuk, kompos dan pompa air . (David Farelly –Book of Bamboomenyebutkan 1000 manfaat bambu dari A (acupuncture needles,airplane skins) sampai Z (zithers). Dalam hal konsumsi energi, perbandingan energi yang diperlukan untuk memproduksi bahan bangunan (N/m2) adalah beton 240, baja 1500, kayu 80 dan bambu 30. (J.A. Janssen,Bamboo Researchat the Eindhoven University of Technology). Di daerah tropis dengan lahan 20×20 m2 kita dapat menanam bambu dalam 5 tahun untuk membangun 2 rumah @8×8 m2, dengan kebun bambu 60 Ha, setiap tahun dapat dibangun 1000 rumah dari bambu (costarica). Potensi bambu di Indonesia sangat luar biasa sekali karena dari 1200-1300 jenis bambu di dunia, 160 jenis tumbuh di Indonesia (sekitar 12%). Kecuali Pulau Kalimantan, seluruh pulau di Indonesia mempunyai sumber bambu yang berlimpah. Diperkirakan terdapat 5 juta Ha hutan bambu di Indonesia (Kartodihardjo, 1999), di Jawa Barat sendiri (E. Widjaja, 2005) terdiri dari 4650 Ha di Tasikmalaya, 2950 Ha di Purwakarta dan 3400 Ha di Sukabumi. Semangat Membangun Kampung dengan KonsepEco VillagedenganPilot ProjectKampung Pamatang Kalong Desa Batu Hideung Pandeglang. Gambar 4. KonsepEco Villageuntuk kampung pedalaman dan kampung perkotaan. Kampung merupakan wilayah paling kecil dari suatu sistem pemerintahan yang ada di Indonesia. Kampung-kampung tersebut hidup berkelompok sehingga mempunyai wilayah administratif yang disebut dengan Desa. Jumlahnya sekitar 70.000 an desa yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Kampung dalam persepsi masyarakat Indonesia selalu dimaknai sebagai simbol kemiskinan, tidak mengenal teknologi dan berkonotasi buruk. Oleh karena itu jika ada orang yang miskin atau gagap teknologi atau berperilaku tidak baik selalu disebut ‘kampungan’. Paradigma seperti ini sudah lama sekali mengakar di masyarakat Indonesia, jadilah kampung-kampung tersebut ditinggalkan tidak hanya oleh pemerintah, bahkan oleh warganya yang produktif. Merubah Indonesia harus dimulai dari kampung. Karena di sanalah peradaban itu lahir. Karena di sanalah sumber kehidupan itu ada. Indonesia dengan jumlah kampungnya, berpotensi menjadi negara yang bisa mensejahterakan dan memakmurkan masyarakatnya. Ini yang luput dari pemerintahan sekarang. Mereka terlalu sibuk dengan urusan kader-kadernya yang tersangkut kasus korupsi. Terlalu sibuk dengan pencitraan partainya. Mereka hanya melihat kampung sebagai objek untuk program yang bisa menaikkan citra partainya. Mereka lupa bahwa akar persoalan Negara sebenarnya adalah ketidakhadiran Negara itu di kampung, walaupun instrumennya sampai di kampung-kampung. Sehingga kampung itu bukan tertinggal, tapi ditinggalkan oleh pemerintah. Ketidakhadiran Negara itu bisa dilihat dari infrastruktur yang sangat mengkhawatirkan di kampung. Anak-anak dan orang tua harus menyeberang sungai tanpa jembatan untuk sekolah dan bertani. Ruang pendidikan hanya berdinding bilik dengan lantai dari tanah. Hasil bumi dibeli dengan sangat murah sekali. Kekayaan alamnya dieksploitasi sehingga kawasannya mengalami degradasi lingkungan. Mata pencahariannya baik itu sebagai nelayan, petani dan buruh sangat tergantung dengan kondisi alam dan cuaca yang bersahabat. Pemerintah sekarang memang memiliki konsep pemberdayaan masyarakat dengan nama Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang dimulai dicanangkan tahun 2006 (sumber:http://www.pnpm-mandiri.org) baik itu di kawasan perkotaan maupun di pedesaan. Namun, hasil dari program tersebut belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Dengan biaya sekitar puluhan Trilyun dari pinjamanWorld Bank(WB) dan Asian Development Bank (tahun 2010 pinjaman dari WB untuk PNPM Mandiri Perdesaan USD 785 juta, PNPM Mandiri Perkotaan USD 149,98 juta – sumber :http://www.dmo.or.id) yang sudah digelontorkan, belum mampu membuat masyarakat jadi berdaya dan mandiri, sedangkan laporan dari WB mengenai PNPM Mandiri tidak mencatat berapa kontribusi PNPM Mandiri bagi penurunan kemiskinan. Laporan kesuksesan PNPM Mandiri lebih banyak mengenai infrastruktur yang dibangun, tingkat pengembalian simpan pinjam perempuan (SPP), dan tingkat partisipasi masyarakat. Laporan Bank Dunia tidak sedikitpun menyebut angka juga daerah yang berhasil keluar dari kemiskinan karena melaksanakan PNPM Mandiri (sumber :http://www.infid.org). Hutang bertambah banyak, kekayaan alam dikeruk dan masyarakatnya semakin terpuruk. Merubah Indonesia dari Kampung bukan berarti membawa budaya baru yang aneh dan asing bagi masyarakatnya. Bukan juga memberikan bantuan ataupun ‘charity‘ yang mengakibatkan masyarakatnya mengalami ketergantungan. Bukan juga meminjam dana dari Negara pendonor. Bukan pabrik ataupun infrastruktur jalan yang dibangun. Karena jika itu yang dibangun, maka sifat konsumtif masyarakatnya akan tinggi yang akan berdampak kepada rusaknya moral dan perilaku masyarakat. Salah satu yang membuat tidak tercapainya target PNPM Mandiri adalah sistem birokrasi yang berbelit-belit dan panjang yang harus disesuaikan dengan kriteria yang diinginkan oleh Negara pendonor. Selain itu, paradigma para pemimpin dan wakil rakyatnya yang lebih mengutamakan pembentukan badan, lembaga atau komisi dibanding terjun langsung ke lapangan. Mereka lebih senang pelesiran ke luar negeri yang dikemas dengan nama studi banding. Hal tersebut akan menambah panjang sistem birokrasi dan sudah barang tentu akan membebani keuangan Negara. Oleh karena itu, merubah Indonesia dari kampung dilakukan dengan cara memutus jalur birokrasi yang kompleks, mendatangkan tenaga-tenaga ahli yang berpengalaman dan telah sukses dibidang perekonomian untuk terjun langsung memberdayakan masyarakat kampung, melibatkan partisipasi komunitas independen yang peduli terhadap kampung dan tidak meminjam dana dari negara pendonor. Dan yang dilakukan real di kampung adalah pembangunan sarana dan prasarana yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan pemberdayaan masyarakat dalam mengoptimalkan potensi lokalnya serta membuat even-even kegiatan yang rutin dan bisa menggerakkan roda perekonomian di kampung. Kampung ini namanya Pamatang Kalong. Satu dari 15 kampung yang berada di wilayah Desa Batu Hideung Kecamatan Cimanggu Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Pertama kali mengenal wilayah ini pada saat membantu mendesain dan mempublikasikan keadaan kampung yang sudah puluhan tahun (seumur hidup) masyarakatnya harus melintasi sungai tanpa jembatan maupun perahu untuk sekolah dan bertani/berkebun. Sekarang antara kampung Pamatang Kalong dan Dukuh Handap sudah terhubung dengan jembatan gantung hasil bantuan yang dikumpulkan oleh para relawan kampung sehingga jembatan gantung tersebut boleh dikatakan sebagai jembatan gantung multi nasional. Namun ada hal yang menjadi kegelisahan mengenai kawasan di kampung tersebut yakni masyarakatnya akan selalu tergantung pada bantuan-bantuan dari luar. Ini menjadi masalah yang harus dicarikan solusinya karena kampung-kampung seperti ini sangat banyak terdapat di Indonesia. Sehingga Bangsa kita akan sulit maju bila masyarakat kampungnya tidak diberdayakan. Jadi, membangun Indonesia itu harus dimulai dari kampung, dengan cara merubah pola pikir dari memberikan bantuan menjadi memberdayakan masyarakatnya. Dengan pemberdayaan, diharapkan masyarakat kampung tersebut bisa mengakses lima modal yang menjadi sumber penghidupan, yakni modal sumber daya manusia, modal sumber daya alam, modal sumber daya fisik, modal sosial dan modal sumber daya keuangan (PNPM Mandiri Perkotaan, 2012). Sumber daya manusia kampung-kampung di kawasan ini sangat menyedihkan. Sekitar 95% warga produktifnya meninggalkan kampung menuju kota untuk mencari kehidupan. Jadilah kampung tersebut dihuni anak-anak dan orang tua sehingga kampungnya menjadi terbengkalai. Sarana pendidikannya pun sangat mengkhawatirkan, hanya sampai tingkat smp dengan fasilitas yang sangat minim,bahkan sangat tidak layak, seperti untuk kelas tingkat diniyah, dindingnya terbuat dari bilik yang sudah robek. Berbicara tentang sumber daya alam, maka kawasan ini merupakan surga dunia yang tersembunyi dan surga yang ditinggalkan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakatnya. Pantai selatan dengan pasir cokelat hitam membentang panjang yang selalu dihampiri debur ombak samudera Indonesia. Hamparan sawah dan perkebunan dengan tarian pohon kelapa berjejer menghadang dan menyapa angin samudera. Sungai Cipatujah dan Citeluk meliak-liuk membelah gunung dan bukit mengalirkan air sebagai sumber kehidupan. Kawasan ini juga merupakanbuffer zonenya Taman Nasional Ujung Kulon sehingga dapat dipastikan selain alamnya yang masih perawan, juga kandungan mineral dan tambangnya melimpah, terbukti PT Antam sudah mengeksplorasi kawasan ini melalui anak perusahaannya PT. Cibaliung Sumber Daya (CSD) sejak tahun 1996 (humaspdg.wordpress.com). Tentang sumber daya fisik, kawasan ini sangat mengkhawatirkan. Kedekatannya dengan Ibu Kota Provinsi, Ibu Kota Negara dan Perusahaan Pertambangan Nasional serta Taman Nasional Ujung Kulon, tidak membuat kawasan ini sejahtera. Justru sebaliknya, kawasan ini telah mengalami degradasi lingkungan yang sangat parah sehingga mengancam peradaban masyarakat kampung yang sudah ada. Ini telah terjadi dengan banyaknya lahan-lahan yang dijual dan beralih fungsi menjadi perkebunan sawit, jenjeng dan jabon. Bahkan di pesisir pantainya sudah mulai ditambang pasir besinya. Sarana dan prasarana jalannya pun sangat tidak layak, sehingga hasil bumi dan sumber daya alam yang ada di kawasan tersebut tidak bisa optimal. Sumber penghidupan yang keempat, yaitu modal sosial, itu hanya dilakukan sampai tingkat kota kecamatan saja. Dengan kondisi jalan yang masih belum layak, luas kawasan yang sangat besar dan topografi lahan yang berbukit serta jaringan telekomunikasi yang terbatas, menjadikan kawasan ini terisolasi dari perkembangan peradaban dan teknologi di luar. Yang terakhir adalah modal sumber daya keuangan. Perekonomian yang berjalan di kawasan tersebut hanya terbatas untuk menyambung hidup masyarakatnya. Di sana tidak mengenal gaya hidup menabung meskipun di kota kecamatan terdekat sudah ada bank-bank yang membuka cabangnya. Meskipun sumber daya alamnya sangat melimpah, namun dengan kondisi sarana dan prasarana yang tidak layak ditambah gaya hidup masyarakatnya yang masih polos dan lugu, maka akan sulit sekali mengakses program-program keuangan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Kampung Pamatang Kalong ini akan jadi titik sentral pemberdayaan masyarakat di kawasan Desa Batu Hideung dengan konsepEco VillageyaituEnergy – Economics – Environment – Education(4E).Energynya menggunakan energi terbarukan yang ada di kawasan itu yakni air, angin, gelombang dan arus laut. Energi air yang diperoleh dari aliran Cipatujah ini digunakan untuk menggerakkan pompa air yang akan mengalirkan air ke atas bukit dengan ketinggian 120 m. Pekerjaan ini dilakukan pertama kali dikarenakan di musim panas ini sebagian besar kampung yang ada di wilayah Batu Hideung mengalami krisis air bersih. Sangat ironi memang, banyaknya sungai yang ada di kawasan ini ditambah masih terjaganya hutan di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon tidak membuat kampungnya cukup air bersih. Hal ini disebabkan sumber-sumber air bersih baik itu dari mata air maupun dari sungai tidak ada pipa pendistribusiannya, sehingga masyarakat yang butuh air bersih harus jalan ratusan meter bahkan harus turun ke lembah dengan kemiringan 70-80 derajat. Sedangkan energi angin, gelombang dan arus laut digunakan sebagai sumber listrik utama untuk memenuhi kebutuhan listrik kawasan yang nantinya menjadi kampung wisata ramah lingkungan dan mandiri. Memang sebenarnya sebagian besar kampung-kampung yang ada di Desa Batu Hideung ini telah dialiri listrik hasil program pemerintah melalui kegiatan listrik masuk desa. Hanya saja masih sangat terbatas dan seringbyar pret! yang penting kuantitasnya mencukupi sedangkan kualitas itu belakangan. E yang kedua adalahEconomics, dikembangkan dengan model ekonomi lokal pedesaan yang mengoptimalkan tanaman budi daya yang ada di kawasan tersebut seperti pohon kelapa, melinjo, padi, buah-buahan, sayur-sayuran dan bambu. Adalah suatu keanehan melihat potensi alamnya yang luar biasa tapi masyarakatnya biasa saja bahkan cenderung miskin. Hal ini disebabkan salah satunya adalah karena model perekonomian yang dilakukan oleh masyakat itu dilakukan dengan cara menjual bahan bakunya saja dengan sangat murah sekali tanpa diolah terlebih dahulu. Sebagai contoh buah kelapa mereka jual Rp. 250 per butir, ongkos mengambilnya Rp. 250 per butir, transport dan lain-lain Rp. 500 per butir. Setelah diolah di pabrik menjadi minyak sayur dan turunannya kemudian di jual lagi ke desa dengan harga yang jauh lebih mahal bisa mencapai 20 kali lipat harga sebutir kelapa setelah ada di kota. Inilah yang mengakibatkan masyarakat kampung itu tidak sejahtera karena tidak memiliki jam kerja yang banyak untuk mengolah bahan bakunya menjadi bahan jadi. Oleh karena itu, selain membangun sarana dan prasarana infrastruktur, juga dilakukan pemberdayaan masyarakat guna menggerakkan perekonomian lokal. Kelapa yang dulunya dijual butirannya dengan harga yang sangat murah, nantinya akan diolah menjadi minyak kelapa. Melinjo yang sekarang hanya dijual buahnya saja nantinya akan dijadikan emping yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Bambu, yang sekarang dibiarkan tumbuh begitu saja seumur hidup masyarakat kampung, sekarang mulai diberdayakan menjadi material pengganti kayu, ketahanan energi, pangan dan konservasi lingkungan. Selain yang disebutkan di atas, masih banyak pemberdayaan yang akan dilakukan sehingga nantinya bukan masyarakat kampung yang mengantar bahan baku ke kota tapi orang kotalah yang akan datang ke kampung untuk membeli bahan jadi hasil olahan masyarakat kampung. E yang ketiga adalahEnvironment. Kawasan Desa Batu Hideung sudah mulai mengalami degradasi lingkungan yang nantinya akan merusak keseimbangan ekosistem yang ada di kawasan tersebut. Setiap hari selalu terdengar raungan mesin pemotong kayu dan hilir mudik mobil-mobil sejenis elf yang mengangkut kayu dan pasir pantai. Masyarakatnya pun lebih tertarik menanam pohon jenis jenjeng, jabon dan jati emas dibanding pohon-pohon untuk konservasi. Bahkan sudah banyak masyarakat yang menyewakan dan menjual lahannya ke perusahaan untuk dijadikan perkebunan sawit. Saat musim kemarau seperti ini, masalah klasik di seluruh Indonesia selalu terjadi, yaitu kekurangan air, juga untuk kebutuhan air bersih dan irigasi sawahnya, karena sawah-sawah yang terhampar luas di sisi pantai selatan semuanya jenis sawah tadah hujan. Untuk mengatasi permasalahan lingkungan tersebut, akan diberdayakan pohon bambu yang memang sangat banyak sekali tumbuh dan betul-betul masih perawan di kawasan itu. Bambu bisa digunakan untuk konservasi lingkungan dan mengganti kebutuhan kayu untuk konstruksi bangunan. Dengan pemberdayaan bambu tersebut, diharapkan nantinya tidak akan terdengar lagi suara mesin pemotong kayu. Masyarakatnya mulai budi daya bambu sehingga kejadian kayu yang dulunya melimpah namun sekarang langka tidak terulang lagi. Berani menebang harus berani menanam, Itulah semangat yang akan diberdayakan kepada masyarakat supaya keseimbangan dengan alam tetap terjaga. Kita tahu bahwa selama ini selalu diajarkan tentanghablumminAllahdanhablumminannas, tapi lupa denganhabblumminalardhi. Sehingga yang selalu kita perbuat ke alam itu hanya mengambil haknya yaitu mengeksplorasi alam sedang kewajiban untuk menjaga alam dengan cara menanamnya dilupakan. Terakhir adalah E yang keempat yaituEducation. Model yang akan diterapkan adalah model tabungan emas hijau. Model tabungan emas hijau ini mulai diaplikasikan kepada anak-anak umur 10 tahun atau kelas 4 SD yang ada di kampung Dukuh Handap – Pamatang Kalong – Cicadas. Mereka akan diberikan sepuluh bibit bambu yang kemudian harus ditanam dan dirawat. Di usianya yang ketiga, saat anak tersebut kelas 1 SMP, bambu tersebut sudah mempunyai nilai ekonomis karena sudah bisa dipanen rebungnya. Tiap rumpun bambu dari satu bibit perbulannya bisa menghasilkan rebung sebanyak 30 kg, jadi jika 10 rumpun menjadi 300 kg. Saat ini harga pasar rebung sekitar Rp. 5000/kg. Jadi anak kelas 1 SMP itu sudah menghasilkan Rp. 1.500.000,- /bulan. Ketika usia nya 15 tahun saat anak tersebut sudah kelas 3 SMP, rumpun bambu tersebut sudah bisa menghasilkan batang bambu yang dapat digunakan sebagai material non konstruksi. Tiap rumpun bambu akan dihasilkan sekitar 20 batang bambu yang bisa digunakan untuk konstruksi bangunan. Jika harga di pasar Rp. 15.000/batang maka yang bisa dihasilkan oleh anak kelas 3 SMP itu adalah Rp. 3.000.000/bulan pada saat musim tebang. Ditambah dengan rebung bambunya menjadi Rp. 4.500.000,-. Kemudian, saat bambu memasuki usia tujuh tahun dimana anak tersebut kelas 2 SMA (17 tahun), nilai ekonomis rumpun bambu tersebut semakin tinggi yaitu bisa mencapai Rp. 25.000/batang. Jadi anak usia 17 tahun sudah punya penghasilan minimal Rp. 6.500.000/bulan pada masa tebang. Dan yang paling penting, rumpun bambu tersebut jika tidak ditebang habis maka akan selamanya tumbuh seumur hidup manusia. Itulah model pemberdayaan masyarakat yang akan diaplikasikan di Desa Batu Hideung. Desa tersebut akan jadi suatu kawasan yang sangat strategis dalam percontohan modelEco Village. Di satu sisi berbatasan dengan Taman Nasional Ujung Kulon, di sisi lain terdapat kawasan penambangan emas. Sehingga jika tidak diberdayakan dengan benar maka masyarakatnya akan menjadi masyarakat perusak taman nasional yang telah teracuni oleh eksplorasi sumber daya alam. Inilah pentingnya merubah pola pikir masyarakat kampung yang terserak diseluruh penjuru Nusantara. Mari kita bangun dan rubah Indonesia dimulai dari kampung. Di kampung kita jaya! The Flying City: Kota Masa Depan Jabodetabekpunjur
Sumber: Dokumentasi PBL Banten. Gambar 5. KonsepThe Flying City. Kota Melayang atau bahasa kerennyaThe Flying City adalah konsep sebuah kota yang merespon dampak perubahan iklim dan antisipasi terhadap pembangunan kota yang begitu pesat di Indonesia, terutama di Jabodetabekpunjur. Konsep melayang pada sebuah kota dilatarbelakangi oleh semakin sempitnya lahan-lahan produktif yang digunakan untuk pertanian, perkebunan dan peternakan. Semuanya berubah begitu cepat menjadi perkerasan dan suatu saat akan menghilang dan menjadi bencana yang bisa melenyapkan peradaban.The Flying Cityadalah Kota yang manusiawi yang mengutamakan kenyamanan manusia dalam beraktivitas. Transportasi massal dan Ruang Terbuka Hijau adalah salah satu fasilitas utama untuk kebutuhan aksesibilitas dan aktivitas masyarakatnya. Konsep bangunan dan pemukimannya dibuat dengan konsepGreen BuildingdanEco Village. Untuk pembangunan baru di wilayah pertanian/perkebunan (baca: lahan produktif), bangunannya seminimal mungkin menapak di tanah dengan cara membuat tiang-tiang pilotis atau sistem panggung dan menghilangkan lantai dasar atau basement sehingga fungsi lahan di bawahnya masih tetap terjaga. Di atasnya dibuat roofgarden, taman vertikal dan taman dak yang terhubung dengan bangunan lainnya. Infrastruktur jalannya dibuat dengan sistem melayang yang ditopang oleh kolom-kolom dan menggunakan lahan jalan eksisting, sehingga tidak membutuhkan lagi pembebasan lahan yang selalu menimbulkan konflik dengan pemilik lahan. Jalan-jalan eksisting dijadikan untuk pedestrian, jalur sepeda, jalur hijau, transportasi massal dan tempat menyeberang sehingga orang tidak perlu susah-susah naik jembatan penyeberangan orang (JPO) yang tidak manusiawi. Semua utilitas dan drainase dibuat di dalam tanah. Sedangkan jalan layang dengan sistem berbayar digunakan untuk kendaraan pribadi dan akses memutar (U-Turn) serta sebagai aksesdrop offke bangunan yang dimulai di lantai satu.The Flying Cityadalah sebuah tawaran baru untuk penataan kota yang mendukung pembangunan tapi tidak merusak keseimbangan alam, juga merupakan cara terbaik untuk mengurangi degradasi lingkungan dan hilangnya lahan-lahan produktif yang berfungsi untuk meningkatkan ketahanan pangan. PENUTUP Conceptual PlanJabodetabekpunjur yang menggunakan pola tata ruang hutan (tanah) tutupan, hutan (tanah) titipan dan tanah olahan seperti yang telah diterapkan oleh masyarakat adat di Banten Kidul yang ditunjang dengan penataan kampung pedalaman dan perkotaan dengan konsepEco Villagedan penataan perkotaan dengan konsepThe Flying Citydiharapkan mampu :
- Mendorong terselenggaranya pengembangan kawasan yang berdasar atas keterpaduan antar daerah sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan.
- Mendorong terselenggaranya pembangunan kawasan yang dapat menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta menanggulangi banjir dengan mempertimbangkan daya dukung linkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan.
- Mendorong pengembangan perekonomian wilayah yang produktif, efektif, dan efisien berdasarkan karakteristik wilayah bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat dan pembangunan yang berkelanjutan.
- Mencegah bencana ekologis yang diakibatkan oleh keserakahan manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H