Hal paling kontroversial dari materi RUU Pilkada adalah model pemilihannya. Apakah dipilih langsung oleh rakyat atau oleh DPRD. Mengenai ini, suara fraksi di DPR terbelah. Tercatat 5 fraksi yang akan memilih Pilkada oleh DPRD, yakni Fraksi Gerindra, Fraksi PKS, Fraksi PAN, Fraksi Partai Golkar, dan Fraksi PPP. Sementara yang tetap dengan pilihan Pilkada langsung ada 4 fraksi, yakni fraksi PDI P, Fraksi Partai Hanura, Fraksi PKB, dan Fraksi Partai Demokrat yang baru beralih pilihannya dengan sejumlah catatan perbaikan Pilkada langsung. Itulah dua kelompok pilihan di DPR RI saat ini. Keduanya sama-sama mengklaim pilihannya itu demokratis, sesuai dan tidak betentangan dengan UUD 1945.
Klaim tersebut tidak salah. Dalam UUD 1945 tidak ada keharusan menyelenggarakan Pilkada langsung sebagaimana Pilpres. Pasal 18 ayat (4) menyatakan: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”
Pangkal Perbedaan
Setidaknya ada 3 pangkal utama perbedaan pilihan. Pertama, tafsir “dipilih secara demokratis”. Penafsiran kedua kelompok pilihan itu mengacu pada pemaknaan asas kedaulatan rakyat yang mereka pahami. Bagi kelompok pilihan Pilkada langsung, kedaulatan rakyat itu tercermin dari rakyat yang memilih pemimpinnya (Gubernur, Bupati, dan Walikota) secara langsung. Sementara bagi kelompok lainnya, makna kedaulatan rakyat itu tidak selalu harus diekspresikan secara langsung oleh individu (rakyat). Akan tetapi, bisa juga melalui mandat elektoral (electoral mandate) oleh DPRD yang telah dipilih langsung oleh rakyat. Kedua tafsir tersebut benar, sepanjang tidak mutlak menegasikan satu sama lain.
Secara teoretis, kedaulatan rakyat bermakna rakyat adalah pemilik kekuasaan tertinggi untuk mengatur negara, termasuk kepentingan dan dirinya sendiri. Dalam praktik, tidak semua hal diatur dan ditentukan langsung oleh rakyat. Pembuatan legislasi—misalnya—dilakukan oleh Parlemen. Bahkan, dalam negara berpemerintahan parlementer dengan sistem pemilu proporsional tertutup, asas dan prinsip kedaulatan rakyat itu dilaksanakan oleh lembaga perwakilan atau parlemen. Rakyat cukup memilih partai politik saja.
Kedua, pengakuan atas derajat kelemahan dan ekses negatif dari masing-masing pilihan. Praktik Pilkada oleh DPRD banyak kelemahan dan ekses negatifnya. Politik transaksional antara kandidat dengan anggota DPRD dan money politics dalam proses pemilihan lumrah terjadi. Sebagai konsekuensi dari politik transaksional, Gubernur, Bupati, dan Walikota terpilih kerap tersandera kepentingan anggota DPRD. Mereka cenderung lebih memperhatikan kepentingan anggota DPRD ketimbang kepentingan rakyat. Inilah di antara contohnya, yang turut melatarbelakangi dan mendorong diadopsinya kebijakan Pilkada langsung.
Kemudian, Pilkada langsung dilaksanakan kali pertama pada 1 Juni 2005, terus hingga kini (2014). Hasilnya, ternyata juga tak luput dari kelemahan dan ekses negatif. Bahkan, lebih parah dan berdampak (negatif) meluas ke rakyat dan lingkungan PNS. “Mahal”, “money politics”, “korupsi”, dan “konflik horizontal”, adalah kata-kata kunci untuk menjelaskan ekses negatif Pilkada langsung.
Pilkada langsung itu berbiaya mahal; dari sisi penyelenggaraannya dan ongkos yang ditanggung kandidat. Penyelenggaraannya selama lima tahun menghabiskan dana (anggaran negara) sekitar 9 triliun rupiah. Dana yang dihabiskan tiap kandidat juga sangat besar. Jumlah nominalnya bervariasi. Untuk kandidat (calon Gubernur) rata-rata Rp 100 miliar. Bahkan pernah ada yang sampai menghabiskan sekitar Rp 1 triliun. Calon Bupati rata-rata Rp 15 - 20 miliar. Calon Walikota rata-rata Rp 10 miliar. Besaran biaya tersebut tidak sebanding dengan gaji dan pendapatan (resmi) lain yang akan diterima Gubernur, Bupati, dan Walikota selama lima tahun.
Besarnya biaya kandidat itu salah satunya disebabkan praktik money politics yang demikian masif. Inisiator praktik itu dari kandidat, juga bisa dari pemilih.
Fenomena besarnya biaya kandidat seperti itulah yang melatarbelakangi dan menjadi penyebab banyaknya kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) tersangkut kasus korupsi. Tercatat, sudah 332 kepala daerah yang tersangkut.
Pilkada langsung juga berbuah konflik horizontal. Data Kemendagri menunjukkan 75 orang meninggal dan 252 luka-luka akibat konflik itu. Selain itu, lingkungan PNS juga terbelah dan berdampak negatif bagi kinerja birokrasi.
Mengenai semua fakta negatif Pilkada seperti di atas, masing-masing kelompok pilihan mengklaim pilihannya memiliki derajat kelemahan dan ekses negatif yang lebih rendah. Dalam arti, manfaatnya masih lebih besar ketimbang mudharatnya.
Ketiga, tafsir atas kesesuaiannya dengan nilai-nilai Pancasila, terutama sila ke-4.Masing-masing kelompok menafsirkan sesuai dengan pilihannya. Perbedaan tafsir itu akan semakin rumit bila ditarik ke ranah yang lebih filosofis.
Jalan Tengah
Seyogyanya, kontroversi terkait perbedaan pilihan model Pilkada itu dikelola dengan hati-hati, dan dicarikan jalan keluar terbaiknya. Dua hal perlu dipertimbangkan. Pertama, lebih baik pengesahan RUU Pilkada diserahkan ke DPR RI yang akan dilantik pada 1 Oktober 2014. Ini bermanfaat untuk menghilangkan kecurigaan publik atas tendensi pengesahan oleh anggota DPR RI yang jabatannya akan segera berakhir.
Kedua, varian pilihan baru, yakni Gubernur dipilih DPRD serta seluruh Bupati dan Walikota di Provinsi bersangkutan, sementara Bupati dan Walikota tetap dipilih langsung. Dalam varian ini, Pemilihan Gubernur diubah mengingat biaya yang dibutuhkan calon Gubernur dalam Pilkada langsung jauh lebih besar ketimbang Calon Bupati atau Calon Walikota. Kalau pun diterapkan formula untuk mengurangi besaran biaya, seperti larangan kampanye terbuka dan larangan pemberian mahar ke partai, biayanya masih sangat besar. Gaji dan pendapat (resmi) lain Gubernur tetap tidak sebanding dengan biaya yang dihabiskannya dalam Pilkada. Akibatnya, tetap berpotensi besar jatuh dalam kubangan korupsi.
Di samping itu, dengan dipilih juga oleh Bupati dan Walikota, bobot legitimasi Gubernur lebih kuat ketimbang hanya dipilih DPRD. Dalam hal ini, Bupati dan Walikota yang dipilih langsung rakyat berperan sebagai pemegang mandat elektoral untuk memilih Gubernur. Juga bisa berfungsi untuk menetralisir kekhawatiran Gubernur tersandera kepentingan anggota DPRD, sebagaimana praktik Pilkada di DPRD di masa lalu.
Terakhir, varian pilihan di atas berguna untuk menguji dua model pilihan Pilkada dalam konteks waktu yang bersamaan. Dengan itu, model Pilkada terbaik untuk Indonesia dapat ditentukan dengan pertimbangan yang lebih matang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H