Lihat ke Halaman Asli

Daryani El Tersanaei

Pencinta Ilmu dan Kebijaksanaan

Merevolusi Mental SDM Aparatur Birokrasi dalam Bingkai Nawacita

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang bukan hal mudah mengubah mental aparatur birokrasi dalam waktu singkat. Namun, bukan berartitak mungkin. Justeru, di situlah tantangannya. Presiden Jokowi, singkatan populer dari nama Joko Widodo, telah memberi dua kata kunci (key words) penting, yaitu revolusi mental dan nawacita.

Revolusi mental ia artikan sebagai perubahan paradigma, mind-set, atau budaya politik dalam rangka pembangunan bangsa (nation building) sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur (Kompas, 10 Mei 2014). Sementara nawacita adalah sebutan yang menunjuk pada 9 program prioritas pemerintahan, yang salah satunya (poin kedua) adalah “membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya”.

Ungkapan poin nawacita tersebut di atas menegaskan bahwa pemerintahan Jokowi tidak hanya berkomitmen membangun good government, tetapi juga good governance. Itu berarti, melalui good governance, pemerintahan tersebut akan dikelola melalui proses yang mengedepankan hubungan sinergis-konstruktif di antara pemerintah atau negara, masyarakat dan pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya berdasarkan prinsip-prinsip: profesionalitas, akutanbilitas, transparansi, responsifitas, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektifitas, dan supremasi hukum.

Salah satu tantangan terbesar untuk membangun good government dan good governance adalah terletak pada SDM (Sumber Daya Manusia) aparatur birokrasi. Good government dan good governance membutuhkan SDM aparatur birokrasi yang bersih dan profesional melayani publik. Dalam konteks birokrasi, kata “bersih” merujuk pada pengertian bebas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Bebas KKN semenjak direkrut sampai berproses dalam jabatan dan tugasnya sebagai aparatur birokrasi. Adapun profesional, berpengertian bahwa aparatur birokrasi itu memiliki kompetensi atau keahlian di bidangnya, inovatif, akuntabel, dan menjunjung tinggi etika dan integritas profesinya. Oleh karena profesional, aparatur birokrasi itu bekerja responsif-solutif, efektif, dan efisien dalam memberikan pelayanan publik.

Untuk mewujudkan SDM aparatur yang dapat berperan sebagai ujung tombak realisasi nawacita dalam tata kelola pemerintahan membutuhkan revolusi mental. Lalu, bagaimana membumikan atau mengoperasionalisasi konsep revolusi mental terhadap SDM aparatur Birokrasi untuk realisasi nawacita?

CARA MEMBUMIKAN REVOLUSI MENTAL

Cara untuk membumikan revolusi mental SDM aparatur bisa dilakukan dengan langkah-langkah berikut. Pertama, mendefinisikan perubahan yang diharapkan. Perubahan yang diharapkan pada SDM aparatur adalah sesuai dengan perubahan yang diharapkan dari kinerja institusi birokrasi. Dalam konteks ini, secara sederhana, perubahan kinerja yang diharapkan dapat dirumuskan sebagai perubahan 3 performance yaitu:

(1)Tertutup menjadi terbuka;

(2) Lamban/lama menjadi cepat;

(3) Mahal menjadi murah atau gratis.

Kedua, mentradisikan paradigma, mind-set (pola pikir) dan culture-set (pola budaya) baru yang positif pada aparatur birokrasi. Secara garis besar, tradisi baru itu merupakan muara dari perubahan aparatur birokrasi sebagai penguasa menjadi pelayan dan pemberdaya masyarakat.

Tradisi baru itu harus merupakan sesuatu yang strategis, dalam arti vital dan menentukan terwujudnya nawacita di bidang tata kelola pemerintahan. Dalam hal ini, penulis merekomendasikan 4 (empat) hal yang perlu ditradisikan.

Pertama, keteladanan pimpinan dalam hal perilaku bersih dan sederhana. Para pimpinan di unit dan/atau jenjang jabatan birokrasi harus menunjukkan contoh terbuka kepada bawahannya mengenai perilaku hati-hati untuk menghindari KKN. Misalkan, mengembalikan gratifikasi yang ia terima kepada negara melalui KPK. Perilaku sederhana juga harus ia tunjukkan dalam penampilan dan tidak menggelar pesta mewah yang membuat ia berjarak dengan rakyat kebanyakan. Dengan maksud memberi teladan dan ditiru bawahannya, hendaknya contoh-contoh tersebut di atas ditradisikan disampaikan kepada jajaran aparatur yang berada dibawah kepemimpinannya.

Kedua, mewajibkan seluruh aparatur untuk membuat catatan harian elektronik dengan gaya bahasa bebas mengenai tiga hal saja yaitu: (1) kegiatan pelayanan publik yang ia lakukan; (2) masalah yang ditemukan—bila ada—dalam memberikan pelayanan publik; dan (3) solusi atau gagasan inovatif yang terbetik di pikirannya dalam memberikan pelayanan publik. Catatanitu harus ia laporkan tiap bulan kepada pimpinannya secara berjenjang via e-mail. Tradisi ini penting untuk mengasah kemampuan aparatur dalam memahami masalah dan menemukan solusinya secara praktis, memperkuat koordinasi antar pimpinan di tiap jenjang, dan sangat berguna untuk memperkuat kesiapan dalam menjalankan konsep e-government.

Ketiga, mewajibkan kepada seluruh aparatur untuk memiliki akun media sosial, seperti facebook, dan bergabung ke dalam group aparatur birokrasi yang dikelola secara profesional di tiap unit atau jenjang. Segala informasi mengenai pelayanan publik dan pelaksanaan tugas aparatur lainnya yang dilakukan atau diketahui tiap aparatur dapat disampaikan lewat group media sosial itu. Group itu juga bisa jadi sarana diskusi dan/atau sharing informasi antar-aparatur secara egaliter tanpa melihat jabatannya. Selain itu, bermanfaat untuk mendorong kebiasaan transparansi sebagai way of public services.

Keempat, hemat dalam rapat dan perjalanan dinas. Hal ini sebenarnya sudah menjadi komitmen Menteri PAN RB (Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) yang baru, Yuddy Chrisnandi. Itu ia tunjukkan, misalnya, dengan mengeluarkan surat edaran yang melarang rapat-rapat pemerintahan di hotel. Namun demikian, komitmen Menteri PAN RB itu perlu lebih diintensifkan aplikasinya di lapangan. Di samping itu, juga perlu lebih selektif lagi dalam mengadakan perjalanan dinas. Misalkan, kunjungan kerja atau studi banding yang sekiranya bisa digantikan dengan memanfaatkan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi, tidak perlu diadakan lagi.

4 (empat) hal contoh yang perlu ditradisikan tersebut di atas, bila sudah menjadi habitus, dapat mendorong terjadinya perubahan mental aparatur birokrasi secara mendasar. Dan, pada gilirannya upaya “membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya”, sebagaimana nawacita poin 2, lebih mudah terwujud.

Semoga bermanfaat. Amien.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline