Lihat ke Halaman Asli

Warna-Warni Pagi di Rangkaian Si Ular Besi

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aktivitas pagi telah dimulai. Matahari masih malu menampakkan diri. Tetapi, para manusia telah ramai memenuhi stasiun Depok Baru ini. Menunggu kedatangan kereta sesuai tujuannya. Beberapa calon pengguna kereta terburu-buru berlari ke peron begitu terdengar pengumuman bahwa kereta akan segera masuk jalur 1.

Pintu terahir, Gerbong KKW (Kereta Khusus Wanita), Bogor-Tanah Abang
Pintu belum membuka sempurna ketika kereta merapat di stasiun Depok Baru. Namun, para wanita sudah berebut, merangsek masuk. Teriakan terdengar dari mereka yang terkena dorongan. Sudah biasa terjadi keriuhan seperti ini, lalu sebentar kemudian kembali menjadi sepi. Meninggalkan stasiun Depok Baru, kereta oleng karena ada perlintasan rel. Kembali teriakan terdengar.
"Aduh, jangan dorong-dorong donk"
"Yee,..siapa juga yang dorong. kan memang lagi diperlintasan rel, agak miring pula tanahnya"
"Sudah. sudah. Memang begini kalau naik kereta"

Kereta melaju perlahan. Sepanjang kanan rel, pasar tradisional Kemiri Muka menampakkan geliatnya. Para pedagang sibuk melayani pembeli yang membeli dagangannya. Beberapa motor dengan muatan penuh sayuran memberi jalan pada lajunya si ular besi. Kereta hampir mencapai stasiun Pondok Cina.
"Ntar jangan dikasih masuk aja. Biar mereka ikut kereta berikutnya"
"Benar, gak usah dikasih masuk"
"Itu yang depan-depan nahan donk"
"Jangan begitu. Kasihan. Ini kan fasilitas publik"

Pintu kereta terbuka, langsung diserbu wanita-wanita perkasa, dengan sorot mata siaga dan menghiba mencari celah diantara kaki-kaki bersepatu yang tertata di lantai kereta.Para penumpang yang bersiaga di depan pintu terdorong masuk ke dalam. Teriakan, gerutuan, omelan tak dipedulikan. Yang penting bisa masuk, terangkut, itu sudah lebih dari cukup.
"Ibu, tasnya dong bu, kena wajah saya nih. Bisa enggak di taruh di atas saja" tangannya menunjuk ke rak di atas tempat duduk. Ternyata sudah penuh dengan tas dan aneka bawaan lainnya.
"Bu, bu. Tasnya isinya apaan sih, kok punggung saya yang kena, sakit semua"
"Oh, isinya botol kaca penampung ASI" yang ditanya menjawab dengan senyuman penuh bangga. Bangga karena bisa tetap memberikan ASI untuk buah hatinya meskipun dirinya bekerja, bukan bangga karena membuat sakit punggung tetangga.
"Mbak, bawa apaan sih? kok anget-anget panas"
"Oh, bawa bubur ayam mbak"

Stasiun Universitas Indonesia
Pintu terbuka. Serombongan wanita-wanita menatap penuh harap, ada ruang yang tersisa buat mereka.
"Mas, tolong dorongin saya" ucap calon penumpang pada petugas penjaga pintu masuk. Si mas mendekat.
"Satu dua tiga. Hup" didorongnya si mbak dengan sigap yang berakhir dengan teriakan beberapa penumpang dari dalam gerbong.
Pintu hampir ketutup, ketika tiba-tiba seorang makhuk asing, menyeruak memaksa masuk. Para penumpang dekat pintu saling berpandangan dalam diam. Saling bertanya meski tanpa berucap. Waduh, gimana nih? kereta mulai melaju. Si makhluk asing diam menatap pemandangan di luar pintu. Tak disadari tatapan aneh dari orang-orang di sekitarnya.
"Pak, ini gerbong khusus wa-ni-ta". kata wanita diucapkan dengan jelas.
"Iya mas. Mas salah masuk gerbong" sambut yang lain. Kalau ada yang mendahului, yang lain mengikuti.
Si Mas-mas terkaget-kaget. Mungkin jarang naik kereta, jadi tak tahu kalau gerbong paling depan dan paling belakang adalah gerbong khusus wanita.Wajahnya memerah, gugup dan salah tingkah. Ditepoknya jidatnya berulang kali. Matanya tak berani melihat ke para wanita di sekitarnya yang menatapnya dengan pandangan beragam.

Begitu masuk stasiun Universitas Pancasila, si Mas keluar dengan perasaan lega, terbebas dari pandangan curiga wanita. Berlari cepat menuju ke gerbong campur. Seumur-umur baru kali ini jadi pusat perhatian para makhluk manis dengan pandangan sinis. Stasiun UP terlalui tanpa hambatan. Di stasiun ini, di peron belakang jarang sekali dapat tambahan muatan. Yang diserbu selalu pintu depan kereta.

Menjelang stasiun Lenteng Agung, para penumpang mulai gelisah. Sedikit-demi sedikit bergeser memberi celah. Stasiun ini terkenal angker dan menyeramkan. Daripada terlempar, terdorong dengan kasar, lebih baik menyingkir. Pintu terbuka, sesaat setelah beberapa penumpang menyingkir ke kiri dan ke kanan. Ternyata celah yang ada tak mampu menampung banyaknya penumpang yang ingin masuk.
"Aduh, udah full. Jangan maksa. Ikut kereta belakangnya saja" teriak ibu-ibu di ujung pintu belakang
"Hm,...bisa jadi ikan asin nih tiap pagi begini"
"Ihh, naik kereta ongkosnya enam ribu sampai tujuh ribu. Buat pijit lima puluh ribu. Tekor deh gue"
"Ini yang naik dari Lenteng, sarapannya apa sih? kok kuat-kuat banget ya. Tenaganya luar biasa"
"Bukan sarapannya apa, sarapannya berapa piring kaliiii"

Kereta melesat ke Tanjung Barat. Jarak Lenteng-Tanjung barat lumayan jauh. Sepanjang kiri kereta, Jalur motor mobil macet luar biasa, tetapi hal biasa bagi penduduk ibukota. Seorang Mbak-mbak yang lagi asyik update status lewat BB nya dicolek penumpang di belakangnya.
"Mbak mau turun enggak? tukeran tempat donk"
Si Mbak bergeser dengan tangannya masih sibuk otak-atik BB. Pintu kebuka. Para penumpang turun.Seseorang menjerit.Mungkinkah kejepit?
"Aduh mbak, kenapa?" tanya orang-orang dengan panik.
"Turun aja dulu mbak. Minta petugas ngambilin sandalnya"
"Nggak apa-apa, sandal jepit ini. Saya buru-buru, takut kesiangan"
Si Mbak kembali memencet BBnya, update status,'sandal gue jatuh di stasiun Tanjung Barat. Tobat. Kereta penuh amat seh'

Kereta terus melaju ke Pasar Minggu
"Bu, mau turun enggak? tukeran tempat ya"
Si ibu yang ditanya tak menjawab.
"Maaf, bu. mau turun enggak?"
"Ih, cerewet amat. Sudah lewat belakang saya saja. Terserah donk saya turun dimana"
Si Ibu tetap tak mau menggeser posisinya. Si Mbak juga tetap merangsek menuju pintu. Bagaimanapun dia harus turun di Pasar Minggu.
"Aduh, sakit amat nih" si ibu tadi spontan melihat ke bawah
"Eh, mbak. Tolong ya, kalo naik kereta jangan pakai high heel. Sakit tau keinjak"
"Ya, terserah saya donk mau pake apa" Si Mbak merasa punya kesempatan untuk membalas
"Sudah-sudah. Jangan berantem, masih pagi. Buang-buang energi"

Di stasiun Pasar Minggu, banyak penumpang yang turun, tetapi yang naik juga banyak. Turun tiga naik lima. Seorang penumpang dengan perut besar hendak masuk. Orang-orang sudah berpandangan. Mau melarang bingung, membiarkan juga kasihan. Berdesakan dengan perut membuncit tentu sangat tak nyaman.
"Mbak-mbak yang duduk. Tolong gantian ya. Kasih tempat duduknya buat ibu hamil ini" ucap seorang ibu
Yang disapa hanya membuka mata sedikit dan kembali menutupnya. Tidur atau pura-pura tidur?
"Mbak,...kasihan ibu hamil ini. Gantian duduknya ya?" colek ibu yang lain
"Hm, sedang tak enak badan, Bu. Ke tempat duduk prioritas saja" jawabnya cuek.
Bagaimana mungkin hendak ke tempat duduk prioritas, bergerak saja terbatas.
"Memang bukan tempat duduk prioritas, tapi berbagi kebaikan kan lebih prioritas" ujar si Ibu.
Si Ibu hamil hanya bisa mengusap-usap perut buncitnya.
Penumpang yang lain mulai beraksi, mencolek orang di sebelah mbak yang menolak memberikan tempat duduknya.
"Mbak, meskipun ini bukan tempat duduk prioritas, tolong gantian duduknya dengan ibu hamil ini ya?"
Untungnya si mbak ini dengan rela memberikan tempat duduknya diiringi senyum sumringah si ibu hamil dan pandangan lega dari para penumpang lain.
"Semoga Allah membalas kebaikanmu, Mbak" ucap si ibu hamil penuh haru

"Ya Allah, hape saya tak ada. Kok resleting tas saya kebuka" teriak seorang ibu-ibu dengan panik
"Hati-hati bu. Ada copet berkeliaran" bisik-bisik penumpang di samping si ibu
"Hah. Ini kan gerbong khusus wanita. Masa iya" si Ibu masih berpikiran positif
"Zaman sekarang bu, profesi tak mengenal gender"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline