Engkau pergi dua bulan lalu, dengan terburu-buru. Engkau pergi dengan amarah yang memenuhi rongga dadamu. Ibumu yang kau pamiti di hari kepergianmu begitu terkejut. Tak ada cerita, tak ada cita-cita, tiba-tiba saja kau memutuskan untuk pergi. Hanya karena sebuah SMS dari kakak kandungmu, kau menjadi begitu marah dan tak lagi menaruh hormat pada ayah ibumu. SMS yang menanyakan kapan kamu menikah. Seorang kakak yang melihat adik kandung satu-satunya sudah dewasa, tak lagi sekolah, sudah bekerja dan yang terpenting sudah bertunangan, sedangkan tunanganmu ada di kota yang sama denganmu. Setiap hari bertemu, beberapa hari sekali bertandang ke rumahmu.
Sebagai kakak, tentu dia risih ditanya oleh banyak orang, tetangga dan saudara yang setiap hari melihat kebersamaanmu dan tunanganmu. Salahkah jika kakakmu bertanya kapan menikah padamu? Tentunya itu adalah wujud kepedulian dan perhatian kakakmu. Tiga tahun bertunangan adalah waktu yang lama. Tunanganmu makin tahu sifat burukmu yang ketika punya masalah gampang marah dan gampang meledak. Bagaimana jika dia kabur (memutuskan pertunangan) setelah semakin tahu sifat burukmu? Pacaran terlalu lama tidak baik. Semakin tahu kekurangan masing-masing, sedangkan untuk mencari pacar yang lebih baik, kesempatan terbuka lebar. Tunangan juga bukan jaminan hubungan sampai ke pernikahan. Berbeda dengan pernikahan. Meski pun awalnya tak saling mengenal, ketika sudah terikat dalam pernikahan, kedua belah pihak harus saling mempertahankan, karena pernikahan adalah janji suci dihadapan Tuhan.
Hanya karena SMS itu, engkau tega mendiamkan orang tuamu berhari-hari. Tak mau bertegur sapa dengan orang tuamu. Meskipun orang tuamu bersikap biasa padamu dan selalu menyapamu, engkau tak peduli. Engkau merasa orang tuamu lebih membela kakakmu, dan menyalahkanmu. Padahal, orang tuamu hanya berkata, tidak salah kakakmu bertanya begitu, karena engkau sudah lama bertunangan, dan kalian ada di kota yang sama. Kalau tunanganmu merantau, setidaknya tidak di kotamu, mungkin orang-orang tidak banyak yang bertanya kapan kamu menikah. Hidup di desa, kabar apa saja gampang menyebar lebih cepat dari hembusan angin.
Engkau pergi meninggalkan pekerjaanmu yang sudah bagus. Padahal engkau adalah pegawai terbaik bagian penjualan. Kau nekad ke Jakarta, kota yang belum pernah kau kenal. Kau pikir mudah hidup sendirian di rantau tak ada saudara. Kau yang biasanya makan tinggal makan, tak mau tahu makanan itu dari mana, bagaimana prosesnya sampai makanan itu terhidang di meja makan, kini makan kau harus beli. Setiap hari harus berpikir makan apa hari ini, di kota besar yang serba mahal. Kau yang ketika di rumah biasa dibangunkan ketika pagi oleh ayah atau ibumu, kini kau harus mandiri. Bangun pagi sendiri. Berangkat kerja. Telat datang kena semprot atasan risiko tanggung sendiri. Kini, saat malam dan kau rebahkan badan di ruangan tanpa televisi yang menyajikan gosip selebriti, baru kau sadari. Betapa orang tua, saudaramu, sayang dan peduli padamu. Ketika masih di kotamu, ibumu telaten menyiapkan makanmu setiap hari. Ketika kau susah makan, atau tak cocok dengan masakan yang ada, ibumu rela membuatkanmu masakan baru yang kau sukai. Ibumu juga tak pernah menunjukkan keluh kepadamu, meskipun beliau setiap hari capek mengurus rumah, mengurus kamu, dan mengurus hal lain. Engkau tak pernah mau membantu pekerjaan ibumu, meskipun hanya menyapu ruangan atau mencuci piring. Dulu, engkau tuan putri di rumahmu. Kini, engkau adalah dirimu sendiri.
Dalam hatimu, engkau pun menyesal. Menyesal meninggalkan pekerjaanmu dulu. Ternyata bekerja di Jakarta ini, kau sungguh capek. Tak ada ibu yang setia melayani. Apa-apa kini kau kerjakan sendiri. Kini engkau juga harus pintar membagi uang untuk makan, transport, juga tempat tinggal. Dulu, semuanya gratis. Ternyata, dalam kesendirian ini, ada rindu yang kau rasakan. Rindu pada sosok sederhana orang tuamu. Sesal itu datang lagi. Tapi nasi telah jadi bubur. Pekerjaan bagusmu telah kau lepas kau tukar dengan menjadi operator mesin di pabrik. Bekerja shift-shiftan, seminggu mulai bekerja ketika matahari belum terbit, seminggu kemudian mulai bekerja ketika matahari sedang panas-panasnya, seminggu kemudian bekerja ketika malam mulai sepi. Itulah jalan yang telah kau pilih, jangan sesali. Semoga saja jalan ini mengubahmu menjadi pribadi yang mandiri dan lebih baik. Semoga engkau makin mampu berpikir dengan kepala dingin, tak hanya menuruti emosi diri. Percayalah, orang tuamu, juga saudaramu selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Mereka dengan tangan terbuka menunggu kepulanganmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H