Minggu 11 Maret 2018, masyarakat Jepang kembali memperingati bencana tragis yakni gempa berskala 9,0 skala richter mengguncang Negeri Matahari Terbit yang diikuti tsunami 7 tahun lalu, tepatnya 11 Maret 2011. Musibah itu menjadi semakin tragis mengingat pada kejadian itu disertai pula bocornya reaktor nuklir Fukushima. masyarakat Jepang bahkan masyarakat International tentu tidak dapat melupakan musibah tragis tersebut.
Bencana gempa bumi, tsunami dan kebocoran reaktor nuklir Fukushima menyebabkan lebih dari 18 ribu orang, khususnya yang menetap di wilayah pesisir timur laut Jepang tewas dalam bencana itu. Tsunami juga mengakibatkan kebocoran nuklir yang cukup dahsyat hingga membuat sebagian daerah memiliki kota hantu. Musibah itu juga telah membuat kerusakan parah di banyak area di Jepang. Dalam sebuah upacara peringatan resmi tujuh tahun bencana ini, Perdana Menteri Shinzo Abe mengatakan rekonstruksi telah dilakukan dengan cepat dan banyak kemajuan. Namun, setidaknya 70 ribu orang hingga kini tercatat masih menjadi pengungsi dan tak dapat kembali ke rumah mereka
Tragedi gempa Bumi, Tsunami dan Kebocorang reaktor nuklir yang terjadi di jepang 7 tahun lalu bagi kita bangsa Indonesia, sungguh menjadi pembelajaran yang berharga mengingat Indonesia saat ini sedang menunggu terjadinya "gempa 8,6 SR" yang berpotensi mengguncang selatan Jawa sebagaimana penulis ungkapkan melalui tulisan di kompasian edisi 29 Januari 2018 sebagai berikut " warning yang disampaikan oleh seorang peneliti Pusat Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung (ITB) Nuraini Rahma Hanifah bahwa gempa bermagnitude 8,7 Skala Richter (SR) berpotensi mengguncang Pulau Jawa. Walaupun tidak bisa diketahui kapan perulangan tahunnya akan terjadi sangat perlu diantisipasi"
Dengan potensi gempa 8,7 SR, di selatan Jawa, getaran dan guncangannya tentu akan sampai ke lokasi dimana terdapat reaktor nuklir kita. Seperti kita ketahu bersama ada tiga reaktor nuklir kita yakni, pertama, reaktor nuklir Triba di Bandung, reaktor nuklir pertama Indonesia ini mulai beroperasi tahun 1965. Waktu itu kapasitasnya masih 250 kW, kemudian mengalami beberapa kali peningkatan. Tahun 1981, Reaktor Triga ditingkatkan kapasitasnya jadi 1000 kW, dan tahun 1996 jadi 2000 kW. Ke dua, Reaktor Kartini Yogyakarta, Menggunakan jenis reaktor yang sama yakni Triga Mark II, Reaktor Kartini mulai beroperasi tahun 1979. Dibandingkan Reaktor Triga Bandung, reaktor ini jauh lebih kecil dengan kapasitas yang tetap sama sejak didirikan, yakni 250 kW. Ada juga sumber yang mengatakan kapasitasnya hanya 100 kW. Reaktor Kartini juga fokus pada penelitian renogram alias alat pendeteksi fungsi ginjal.
Sebagai reaktor nuklir ke tiga yang dimiliki Indonesia, reaktor termuds Indonesia, Reaktor Serpong dibangun sebagai pusat penelitian, pengembangan, dan perekayasaan (litbangyasa) IPTEK nuklir buat mengembangkan industri nuklir dan PLTN di Indonesia. Kawasan nuklir tempat reaktor ini berada mulai dibangun tahun 1983 dan selesai pada 1992.
Reaktor yang dipakai di sini adalah RSG-GA Siwabessy dengan kapasitas daya yang lebih besar dibanding dua reaktor terdahulunya, yakni mencapai 30 MW. Kawasan ini juga dipenuhi pusat-pusat pengembangan dan instalasi. Nama reaktor sendiri diambil dari nama Menteri Kesehatan era Soekarno dan Menteri Energi Atom era Soeharto, Gerrit Augustinus Siwabessy. Gempa dan tsunami yang terjadi tanggal 11 Maret 2011 menyebabkan rusaknya tiga reaktor nuklir di Jepang. Akibat gempa 2011 yang dianggap terbesar mengguncang Jepang selama 1.200 terakhir itu, PLTN Onaga, Fukushima I, Fukushima II, dan Tokai secara otomatis padam. PLTN Fukushima I sebagai pembangkit tenaga nuklir yang paling parah terkena dampaknya karena kawasan pembangkit ikut terkena imbas dashyatnya gelombang bencana tsunami. Sesaat usai bencana, Jepang mengumumkan darurat gempa dan tsunami, disusulbeberapa saat kemudian mengumumkan darurat bencana kebocoran radiasi nuklir dan gelombang radioaktif.
Sebagaimana kabar yang beredar, operator pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima I, Tokyo Electronic Power (TEPCO) melaporkan adanya kegagalan reaktor karena telah terjadi Loss of Coolant Accident seperti yang dikutip dari laman National Geographic. Kejadian bermula ketika kawasan PLTN Fukushima I mengalami kesalahan teknis akibat kegagalan sistem pendingin reaktor. Suplai tenaga darurat pendingin reaktor gagal berfungsi karena terendam dan terhempas oleh gelombang tsunami. Sesaat setelah gempa, TEPCO memutuskan melepaskan gas superpanas dari reaktor ke atmosfer, hal inilah yang menjadi kekhawatiran bocornya zat radioaktif ke udara.
Akhibat kebocoran tersebut, ternyata ditemukan level radiasi nuklir yang tinggi dalam ikan-ikan yang ditangkap di pesisir timur Jepang menunjukkan pembangkit nuklir Fukushima masih mengalami kebocoran. Pakar kimia kelautan, Ken Buessler, yang mengevaluasi data level caesium atom pada ikan, kerang, dan rumput laut yang dikumpulkan di sekitar pembangkit yang rusak akibat gempa itu. Dia menyimpulkan kontaminasi ini kemungkinan disebabkan oleh kebocoran tingkat rendah dari pembangkit atau terkontaminasinya sedimen dasar laut.
Sebagaimana data yang penulis peroleh bahwa Fukushima I Unit 1 merupakan PLTN berjenis BWR (boiling water reactor). Daya listrik yang mampu dihasilkan adalah 460 MW, dengan daya termal 1553 MW dan asumsi efisiensi termal 30 persen. Reaktor tersebut dibangun akhir tahun 1960-an dan beroperasi awal 1970-an. Artinya Fukushima jika dihitung sejak beroperasi, maka Fukushima bocor setelah 40 tahun Beroperasi. Sementara itu, tiga reaktor nuklir kita saat ini sudah berumur Triga, 56 tahun, Kartini Yogyakarta, 39 tahun dan Siwabessy Serpong sudah 26 tahun. Meskipun kebocorang tidak berbanding lurus dengan umur operasi, namun bagaimanapun juga semakin tua sebuah konstruksi akan semakin rentan dengan berbagai masalah yang terjadi, termasuk kebocoran.
Pertanyaannya adalah, apakah jika potensi gempa dengan kekuatan 8,7 SR di selatan Jawa ketiga reakator nuklisr kita Triga,Karini, dan Siwabessy tidak terpengaruh dengan guncangannya sebagaimana terjadi di Fukushima ? Pertanyaan inilah yang harus dijawab oleh pihak-pihak yang berwenang atas tiga reaktor nuklir itu secara jujur. Berbagai evaluasi, simulasi bahkan antisipasi yang dilakukan oleh badan tenaga Ataom Nasaional (BATAN) sudah barang tentu sangat diperlukan meskipun kita belum tahu kapan gempa 8,7 SR itu akan terjadi, yang pasti, sebelum terjadi semuanya sudah disiapkan, local wisdom kita menyatakan, "sedia payung sebelum hujan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H