Lihat ke Halaman Asli

Isi Bangku Kosong, Isi Pundi-pundi Pribadi

Diperbarui: 10 Januari 2018   16:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixelstalk.net

Sudah selama tiga tahun ini, penulis mengamati pada setiap semestar atau tahun ajaran baru, terlihat adanya mutasi peserta didik ke sekolah negeri. Nampaknya rekruitmen peserta didik pindahan dimaksudkan untuk mengisi bangku bangku kosong di sekolah-sekolah negeri. dari mereka yang pindah penulis mendapat gambaran bagaimana terjadinya mutasi ke sekolah-sekolah negeri tersebut. 

Ada berbagai variasi cerita yang diperoleh, diantaranya adalah ditelepon terus mendaftar dan seleksi. Kemungkinan sekolah-sekolah menggunakan data penerimaan peserta didiik yang sebelumnya mendaftar di sekolah bersangkutan namun terdepak dari persaingan karena peringkat di bawah, hal ini terjadi pada peserta didik kelas 10 (SMA). 

Variasi lain adalah orang tua peserta didik mendapat informasi dari kenalan,mitra, famili atau siapapu yang mengetahui adanya bangku kosong di sebuah sekolah negeri yang disertai pula prosedur dan berbagai syarat yang harus dipenuhi agar dapat diterima. 

Seperti harus mendaftar, kemudian test seleksi yang pada ahirnya ditetukan diterima atau tidaknya  seorang calon menjadi peserta didik di sekolah yang mereka tuju. 

Berbeda proses penerimaan peserta didik di tingkat awal di masig masing jenjang pendidikan (kls 7 untuk SLTP dan Kls 10 untuk SLTA) proses penerimaan peserta didik mutasi, sejauh yang penulis ketahui, nampaknya tidak dibuka dalam artian tidak diumumkan sacara terbuka. JIka hal ini yang terjadi  bisa saja informasi kosongnya bangku-bangku itu tidak terbuka secara luas. 

Dengan demikian kesempatan yang sama, bagi peserta didik yang berminat sekolah negeri tertentu tidak merata. Ada peserta didik yang sebenarnya berminat tetapi karena kurang memperoleh informasi yang cukup. Kondisi ini boleh dikatakan ada kelompok peserta didik yang dirugikan. 

Proses sebagaimana dipaparkan di atas bisa saja berubah menjadi sekedar "bisik bisik tetangga" yang pada ahirnya ditutup dengan djargon TST (tahu sama tahu), untuk mengganti "ongkos pulsa". 

2 tahun lalu, dari peserta didik yang melakukan mutasi ke negeri, penulis mendapat informasi bahwa mereka membayar minimal Rp. 15.000.000 juta), ketika ditanya untuk apa, mereka tidak bersedia menjelaskan rinciannya. 

Disisi lain, terjadi arus yang sebaliknya, yaknii adanya peserta didik dari sekolah-sekolah negeri yang melakukan mutasi ke sekolah-sekolah swasta. 

Namun dari performa yang penulis amati nampaknya mereka itu adalah peserta didik yang diapkir, yang bermasalah, dengan berbagai alasan disarankan untuk pindah (ke sekolah swasta), sementara  peserta didik dari sekolah swasta yang pindah ke negeri adalah peserta didik yang prestasi yang konon harus ditest bahkan di seleksi saat pindah pada semester atau tahun ajaran baru. 

Walaupun melalui proses yang tertentu, namun jika masalah mutasi peserta didik ke sekolah negeri ini tidak mendapat pengawasan yang seharusnya, bisa saja alasan untuk mengisi bangku kosong menjadi untuk mengisi pundi-pundi pribadi, untuk mendapatkan uang pulsa atau sejenisnya, dalam artian bisa berubah menjadi lahan memperkaya diri bagi oknum-oknum yang terlibat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline