Lihat ke Halaman Asli

Guru pun Ingin Profesional

Diperbarui: 29 November 2017   13:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Filosof kesohor Cina, Confusius terkenal sangat peduli dalam proses pembelajaran memaknai hidup. Adegium klasik di atas ungkapannya yang sangat terkenal. Bahwa, dalam proses belajar, mendengar dan melihat saja tidak akan menjadi jaminan seseorang menjadi paham dan mampu melakukan hasil pembelajarannya. Ungkapannya yang terkenal adalah ""Apa yang saya dengar, saya lupa."; "Apa yang saya lihat, saya ingat."; "Apa yang saya kerjakan, saya pahami." Ungkapann Confusius dikeembangkan dalam aktive learning oleh Mel Sibermen ke dalam 5 hal, yakni : 5 prinsip pembelajaran aktif:  Ketika saya dengar, saya lupa; Ketika saya dengar dan lihat, saya ingat sedikit; Ketika saya dengar, lihat dan tanya atau bahas dengan orang lain saya mulai mengerti; Ketika saya dengar, lihat, bahas dan lakukan, saya mendapat pengetahuan dan keterampilan;n Ketika saya ajarkan pada orang lain, saya kuasai

Prinsip Confusius dan Sibermen jika kita dalami maka diperlukan alur perubahan dari mengetahui (to know), melakukan/praktek (to do) agar paham, yang kemudian akan menjadikan pembelajar itu seorang yang menjadi (to be) dan selenjutnya dia akan menjadai menguasai (kompetensi) ketila pembelajar tersebut melakukan kolaborasi kepada orang lain, sebuah proses menuju apa yang disebut sebagai to live together. Empat hal itu kemudian kita kenal sebagai empat pilat pendidikan yang dicanangkan oleh Unesco (United Nations Education, Scientivic and Cultural Organization). 

Yang harus kita pahami bahwa aktivitas pendidikan kita mestinya sampai pada tahapan mendidik peserta disik untuk dapat hidup berdampingan bersama (to live together) secara nyaman dan harmoni. Sehingga umat manusia di seluruh belahan dunia hidup saling asah, asih dan asuh dalam meewujudkan perdamaian dunia yang abadi. 

Untuk membangun generasi muda Indonesia yang sadar hidup bersama di negara yang berbineka tunggal ika, kurikulum pendidikan nasional tahun 2013 (K13) menggariskan pada pendekatan saint dalam aplikasi kurikulumnya. Kita mengenal ada semboyan 5 M dalam pembelajaran kurikulum 2013 ini, yakni mengamati, menanya, menganalisi, menyimpulkan dan mengkolaborasikan. 

Tujuan ideal ini tentu saja jika dan hanya jika dilaksanakan dengan cara dan dalam kondisi ideal. Kondisi ideal itu harus mencakup semua faktor-faktor atau seluruh unsur-unsur pendidikan itu sendiri. Input (peserta didik), Guru, sarana prasarana dan daya dukung lingkungan pendidikannya. Sayngnya, jika kita telaah benar-benar pasca 4 tahun kurikulum 2013 berjalan, nampaknya hanya faktor guru yang "diobok-obok" dengan segala perlakuannya, termasuk dengan apa yang disebut sebagai sertifikasi dengan tunjungannya yang dikenal sebagai tunjangan profesi guru (TPG). 

Sertifikasi sebagai proses untuk memperoleh "sertifikat pendidik" bagi guru sehingga seorang guru yang bersangkutan mendapat derajat "guru profesional" tentunya diharakpan mampu meningkatkan profesionalisme guru. Hal itu tentu saja jika proses sertifikasi dilakukan dengan profesional juga. Namun demikian, sayangnya hal itu tidak terjadi pada proses sertifikasi yang terjadi selama ini. Pelatihan-pelatihan guru dalam rangka sertifikasi tidak menunjukan sebuah proses yang menggarap calon-calon profesional di bidang pendidikan. Candradimuka penggodogan calon profesional pendidikan, tidak menempa guru-guru dengan tuntutan kompetensi-kompetensinya. Jika kita datang di lokasi=lokasi diselenggarakannya sertifikasi, sangat tidak mungkin seorang guru berproses menjadi profesional dengan sarana dan prasarana yang tidak menunjang, tidak jarang guru harus mengerjakan tugas di atas tempat tidurnya karena tidak adaanya meja di tempat penginapannya yang berupa bangsal dengan 10 -20 orang peserta dalam tiap bangsalnya. 

Bagi guru IPA, fisika, kimi, biologi tentu saja semakin jauh dari kondisi ideal untuk menuju profesional sebagai guru IPA, sebab nyaris dalam proses sertifikasi guru-guru IPA ini tidak disentuh kemampuan profesional eksperimentalnya, untuk bidang akademiknya, guru-guru IPA hanya disentuh pengetahuan teoritiknya, baik dengan ceramah, diskusi atau penayangan slide. 

Kembali pada ungkapan Confusius, berarti tidak sampai menyentuh ranah paham, atau tidak menyentuh learning to do yang akan membawa ke ranah "to be", menjadi profesional. Pendek kata, proses sertifikasi hanyalah formalitas untuk mendapat secari kertas sertifikat, yang dengan itu seorang guru akan mendapatkan tunjangan profesi guru, sebagai hak profesinya dengan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi tentunya. 

Sebagai seorang guru yang sudah mengikuti proses sertifikasi, menurut hemat penulis, harapan untuk menjadikan seorang guru menjadi profesional melalui model sertifikasi yang penulis alami nampaknya jauh asap dari api. Tragisnya, tabahan kesejahteraan yang berupa TPG sering menjadi palu godam untuk memukul giuru-guru yang konon kinerjanya tidak meningkat dengan adanya tunjangan itu. Lebih tragis lagi, untuk guru guru non PNS (swasta) dengan tambahan TPG itu seakan-akan pemerintah sudah memenuhi kesejahteraan bagi mereka. 

Padahal jika kita hitung lebih dalam, dengan TPG yang rata-rata Rp. 1.500.000 per bulan potng pajak, ditambah rerata gaji guru swasta Rp. 1.500.000, maka seorang guru swasta yang profesional pendapatannya rerata R.3.000.000 per bulan, yang jelas jauh dari UMP sebagai upah minimal yang konon dianggaj upah sejahtera. Artinya, dengan Tunjangan Profesi Guru yang ada, guru-guru swasta masih jauh dari sejahtera. 

Penulis hargai dengan adanya apa yang disebut sebagai program guru pembelajar namun dilihat dari range nilai ideal yang harus dicapai dari rerata awal hasil IKG 43 menuju 80, nampaknya program peningkatan kualitas guru yang berjalan masih sangat kurang. Diperlukan pelatihan-pelatihan serius terutama terkait kompetensi-kompetensi yang sangat perlu ditingkatkan termasuk kompetensi-kompetensi keterampilan yang nantinya digunakan dalam pelaksanaan pembelajaran bagi peserta didik. Berkaitan dengan masalah kompetensi keterampilan ini, sebaiknya juga dilatihkan dengan instrumen-instrumen standar yang juga akan digunakan di lab-lab sekolah. Lebih lanjut dari itu, pengadaan sarana lab yang standar bagi sekolah sekolah untuk menjalankan pembelajaran dengan pendekatan saint (untuk IPA jelas dengan eksperimen) hendaknya juga diseragamkan. Untuk itu, bantuan dalam bentuk alat dan bahan laboratorium akan lebih menjaga keseragaman dibanding dalam bentuk dana BOS. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline