Lihat ke Halaman Asli

Film Propaganda untuk Meredam Gejolak Umat

Diperbarui: 25 September 2017   08:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Diskursus atau perdebatan ataupun silang sengketa terkait kontroversi film Penghianatan G30S/PKI yang berlangsung sejak film itu dirilis pertama kali pada tahun 1984, kemudian sejak iytu menjadi  film wajib tayang selama 13 tahun, dan mulai 1988 distop (18 tahun) pasca reformasi dan saat ini digelorakan lagi untuk diputar sehingga terjadi kontraversi baru, yang nampaknya bertiup angin segar untuk dibuat versi miliniumnya dengan beberapa catatan. 

Kita sebenarnya telah dididik untuk memahami sesuatu tidak hanya memandang sesuatunya itu, sebagai contoh untuk memahami UUD 1945 kita ditekankan untuk tidak sekedar membaca pasal demi pasal, tetapi harus memahimi pula suasana yang melingkupi saat UUD 1945 itu disusun. Dalam beragama, kita dibiasakan memahami al Quran dengan memperhatikan azbabul nuzulnya, atau jika terkait dengan al hadits kita sangat perlu memperhatikan asbabul wurutnya. Itu semua bertujuan agar pemahaman kita menjadi lebih baik. 

Mendiskusikan Film Penghianatan G30S/PKI yang dibuat oleh rezim ORBA pada saat sedang di puncak dengan melihat isi dari film itu ansih tanpa mencoba memahami situasi yang melingkupi lahirnya film itu, dapat saja mengahibatkan kita gagal paham, dan dengan gagal paham itu kita akan mengalami gagal bersikap benar. 

Untuk mencoba memahami suasana apa yang melingkupi dibuatnya film tersebut, penulis mencoba membuka berbagai informasi dari berbagai sumber dan apa yang penulis alami sendiri sebagai aktivis mahasiswa muslim baik melalui HMI maupun Lembaga Dakwah Kampus Jama'ah Shalahuddin UGM dan juga Laboratorium Dakwah Yayasan Shalahuddin dimana pada saat itu penulis sebagai koordinator bidang Analisis dan kajian, yang diantaranya menyelenggarakan berbagai kajian termasuk bedah buku dengan mengundang wakil-wakil aktivis mahasiswa yang ada di DIY. 

Kondisi sosial keagamaan terutama kaum muslimin di bawah Rezim Orde Baru saat itu, meminjam istilah Buya Hamka, seperti Kue Bika. Sebenarnya Buya menggambarkan hal ini terkait dengan kondisi ulama yang kemudian bersatu membenyuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) terbentuk pada 26 Juli 1975 di Jakarta yang menempatkan  Hamka menjabat sebagai ketuanya sejak 27 Juli 1975, pada saat berpidato Hamka menjelaskan posisi MUI dengan pemerintah dan masyarakat. "...Laksana kue bika," kata Hamka, "Api membakar kue dari atas dan bawah. Api dari atas ibarat harapan pemerintah, sedangkan api dari bawah wujud keluhan umat Islam." 

Hamka berusaha menjinakkan dua api itu melalui berbagai cara. istilah kue bika dari Hamka kemudian mengalami perluasan makna sehingga menjadi "Uamat Islam" seperti kue bika, dibakar dari mana-mana, kondisinya, meminjam istilah Tony Ardi, tokoh muda saat itu seperti judul fil warkop "maju kena mundur kena". Maju kena dor, aparat ORBA yang represif, mundur kita berhadapan dengan hukum Allah yang harus "amar ma'ruf nahi munkar". 

Baanyak hal mungkar yang dianggap umat dilakukan oleh rezim ORBA sejak berdiri, "menggadaikan tanah tumpah darah Indonesia" sejak tahun 1967 ke pihak asing dengan kontrak kerja jangka panjang yang tidak wajar sesuai konvensi internasional, sikap represif aparat terkait dengan demo besar umat menentang UU Perkawinan pada tahun 1974, Protes protes  para dai terkait dengan masuknya Aliran Kepercayaan pada tahun 1978 yang berujung penangkapan dan pemenjaraan  dai dan aktivis dakwah, dengan segala kedzalimannya oleh ORBA, juga dengan berbagi isue yang memojokkan umat Islam seperti isue Komji (komando jihad) dll. 

Berbagai ketidakpuasan kaum muslimin tentu saja dapat menyulut gerakan besar untuk melawan dan menjatuhkan rezim ORBA saat itu, maka sangatlah realistik jika rezim berupaya melakukan propaganda yang mengesankan bahwa sebenarnya rezim berpihak pada umnat islam, dan umat Islam selalu menjadi target kekerasan pada serentetan peristiwa yang dilakukan oleh PKI. Logikanya, umat akan bersimpatik jika rezim dapat menunjukan mereka "sahabat umat" dan mengganyang PKI. 

Maka sangat wajar dibuatlah film yang bermisi demikian sekaligus mengokohkan sang tokoh di hati uamat, dengan harapan tidak terjadi gejolak. Namun takdir berkata lain, berbarengan dengan rilis perdana film tersebut, pembantaian Tanjung Priuk terjadi. Sehingga akitivis Islam yang kritis tetap tidak menerima kehadioran film itu dan tetap mengkritisinya. hingga dihentikan pasca reformasi dan jatuhnya Soeharto (1988). 

Dengan demikian sesungguhnya program ngganyang PKI pada film tersebut, hanyalah bagian dari propaganda untuk meluluhkan hati kaum muslimin sehingga tidak berlanjut pada gelombang demo besar yang dapat mebahayakan posisi Soeharto sebagai penguasa. Image itu sangat nyata dalam penggambaran sampai-sampai melampaui budaya kemiliteran dimana Soeharto lebih "digdaya" dari jenderal AH Nasution. Dan film itu juga memeberi pesan "Jangan main main dengan Soeharto" PKI saja mudah ditumpas, tentu saja dengan meminjam kata sakti "Demi Pancasila". 

Hal ini dapat dibuktikan dengan serentetan peristiwa-peristiwa mengenaskan yang "memeguhkan jargon jangan main-main dengan Soeharto, jangan melawan dengan ORBA" peristiwa Azaz Tunggal yang reptesif terhadap pihak yang mempertahankan kebinekaan (HMI MPO),  kedung Ombo, penembakan Misterius, bahkan kekejaman kekejaman di penjara-penjaranya mirip "imajinasi yang divisualkan melalui Pesta harum Bunga dalam Film Penghianatan G30S/PKI.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline