Sebuah tindakan sadar, bagi seorang dewasa apalagi politisi dengan sejumlah pembela hukumnya tentu saja sudah melalui berbagai pertimbangan nilai strategisnya, untung ruginya, terutama tentu saja keuntungan yang akan diperoleh dari tindakan itu. Oleh karena itu, dalam memaknai tindakan orang sekaliber Ahok, kita tidak perlu baper, terbawa perasaan, namun sebaliknya, perlu memikirkan lebih dalam apa nilai keuntungan yang diperoleh oleh pihak Ahok dengan tindakan itu. Sudah barang tentu semua tindakan Ahok, bagi pembela dan pendukungnya dijadikan sebagai alat mengampanyekan "kehebatan" Ahok sendiri. Demikian juga dengan dua tindakan Ahok terhir yakni surat pencabutan banding yang dibacakan dengan penuh derai air mata Istrinya, Veronika, dan surat pengunduran diri Ahok sebagai Gubernur DKI yang ditujukan kepada Presiden.
Melalui tulisan berjudul "Ahok Cabut banding ?" pada kompasiana edisi lalu, penulis lebih memaknai bahwa pencabutan banding Ahok, lebih pada kewajaran menerima sanksi hukum dengan vonis yang pailng ringan (2 tahun), hal ini menjadi wajar dengan pertimbangan jika dilanjutkan ke tahapan banding, team pembela sangat yakin akan mendapat vonis lebih berat, dan jika sampai ke meja MA, maka hukuman maksimal adalah ganjarannya. Oleh karena itu tidak ada hal istimewa dari pencabutan banding ahok, kecuali pihak Ahok ingin vonis paling ringan, meskipun dalam surat itu diwarnai oleh "bunga-bunga Indah" hal ini wajar sebagai proses pencitraan. Konsekuaensinya, jika proses banding benar-benar terhenti berarti vonis 2 tahun dapat segera menjadi vonis dengan kekuatan hukum tetap.
Terkait dengan surat pengnduran diri sebagai gubernur, melalui sosial media ini adalah tindakan licik yang dilakukan oleh pihak Ahok dalam artian dengan surat pengundurana diri itu, dalam Surat keputusan Presiden menjadi indah, dengan alasan pengunduran diri atas permintaan sendiri Ahok). Hal ini terkait dengan Pasal 78 UU. No. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, yang mengatur apa saja peristiwa/kondisi yang menyebabkan jabatan kepala daerah berhenti (secara demi hukum tak menjabat lagi).
Menurut Pasa itu ada 3 peristiwa atau kondisi yang menyebabkan jabatan tersebut berhenti, yaitu ketika kepala daerah meninggal dunia, pada saat permintaan berhenti diterima, dan pada saat dikeluarkannya keputusan diberhentikannya kepala daerah. Khusus berhenti karena diberhentikan, alasannya sama sekali tak berhubungan dengan suatu tindak pidana kejahatan, melainkan karena hal yang lebih abstrak lagi, karena melanggar sumpah, melakukan perbuatan tercela atau mendapat sanksi pemberhentian. Secara lengkap, Pasal 78 UU. No. 23 Tahun 2014 menyatakan (1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena: a. meninggal dunia;b. permintaan sendiri; atau c.diberhentikan. Dengan demikian maksud surat permohonan berhenti sebagai gubernur dari Ahok adalah menembak Pasal 78 ayat 1 butir b ini untuk dijadikan "alasan" nantinya.
Sedang pada ayat (2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena: a. berakhir masa jabatannya; b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan; c. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah; d. tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b; e. melanggar larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), kecuali huruf c, huruf i, dan huruf j; f. melakukan perbuatan tercela; g. diberi tugas dalam jabatan tertentu oleh Presiden yang dilarang untuk dirangkap oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; h. menggunakan dokumen dan/atau keterangan palsu sebagai persyaratan pada saat pencalonan kepala daerah/wakil kepala daerah berdasarkan pembuktian dari lembaga yang berwenang menerbitkan dokumen; dan/atau i. mendapatkan sanksi pemberhentian.
Terkait dengan proses hukum Ahok, melalui tulisan berjudul "Jokowi Tidak Intervensi Kasus ahok", Kompasiana, edisi 2 Nopember 2016, penulis nyatakan : Tetapi sayangnya, menurut hemat penulis, tanpa pernyataan tegas tentang pelaku penista agama nampaknya pernyataan tidak mengintervensi proses hukum kasus Ahok kurang lengkap, sebab penilaian presiden masih terbungkus, bisa positif. Negatif atau punya penilaian tersendiri yang, pada saatnya nanti, diujung proses hukum Ahok, ptesiden dapat memainkan kartu truf nya. dengan memanfaatkan hak nya sebagai presiden yakni, grasi, amnesti dan abolisi. Ini berbeda jika presiden mrmberikan testimonynya saat ini yang menjadikan kasus itu jelas di mata presiden.
Penulis melihat bahwa dua surat Ahok, sangat terkait dengan kartu truf yang dipegang oleh Jokowi, yakni pemberian SK pemberhentian bagi Ahok yang "ramah" ditambah bonus jika jokowi memainkan kartu trufnya, melakukan hak-hak prerogratifnya sebagai presiden yang dapat memberikan grasi, amnesti dan abolisi. Namun demikian memainkan kartu trufi bagi Jokowi sangat riskan, jika Jokowi kemudian ditengarai, diindikasikan mengistimewakan Ahok di depan hukum, sebab hal ini dapat menggiring Jokowi melanggar azaz kesetaraan hukum yang ditegaskan konstitusi pasal 27 UUD 1945.
Terkait dengan hal itu, melalui tulisan "Aspirasi Sidang Istimew" Kompasiana, 31 Oktober 2016 penulis nyatakan "Memastikan keterlibatan Jokowi terkait isue tindakan istimewa ini sangat penting, sebab jika terbukti Jokowi melakukan hal itu, sama artinya Jokowi mengangkangi prinsip kesetaraan di depan hukum yang diamanatkan pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Artinya, jika Jokowi melakukan hal itu, jelas Jokowi melakukan pelanggaran konstitusi yang, dapat berakhibat fatal bagi kenerlangsungan kekuasaannya, sebab MPR dapat melakukan impeachment melalui sidang Istimewa. Dan Aspirasi SI itu yang semula penulis ungkapkan secara lamat-lamat melalui berbagai sosial media kini akana menjadi kenyataan.
Dari uraian di atas jelas, bahwa maksud dari tindakan Ahok dengan dua suratnya adaah untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya terkait dengan tindak pidana penistaan agama yang telah dilakaukannya. Keuntungan itu sangat diharapkan dari permainan kartu truf yang dipegang oleh presiden sebagai pihak yang memiliki hak-hak prerogratif. Namun demikian, permainan kartu truf oleh presidan sangan riskan mengingat, jika terbukti mengistimewakan Ahok di depan hukum berarti melanggar konstitusi dan muaranya bisa berupa impeachment bagi presiden sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H