Lihat ke Halaman Asli

Mudik Lebaran vs Silaturrahmi Fitri

Diperbarui: 5 Juli 2016   09:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sungguh apresiasi setinggi-tingginya bagi saudara-saudara kita yang begitu antusias berani menanggung resiko apapun, utamanya kemacetan, melakukan perjalanan silaturrahmi ke sanak famili di daerah asalnya. Ketika di sosial media ada pihak yang mencoba mengkonfrontasi sibuk perjalanan silaturrahmi dengan fokus ibadah di sepuluh hari terahir, penuls coba luruskan persepsi mereka.

Bahwa perjalanan silaturrahmi juga merupakan ibadah, karena silaturrahmi sendiri sangat ditekankan dalam agama Islam. Apalagi jika perjalanan ini diniati untuk silaturrahmi sesuai yang dijarakan agama. Musafir silaturrahmi pun bisa menambah ibadah sepanjang perjalanan, dengan bersikap sabar, patuh aturan lalulintas, saling tolong menolong ketika ada masalah, bahkan dapat tadarus, dzikir maupun shalawatan, bahakan ketika mata tak tahan lagi bisa diniatkan tidur yang dapat bernilai ibadah. Jadi menurut hemat penulis, baik yang fokus di mesjid atau menempuh perjalanan silaturrahmi sama-sama dalam rangka mengisi ahir Ramadhan. 

Hanya saja, aktivitas suci perjalanan silaturrahmi itu, mengusik penulis, karena hal itu dilabelkan dengan istilah “mudik lebaran”. Ketidaksregan penulis terkait dengan esensi dari dua kata yang membentuk kata majemuk itu, yakni mudik dan lebaran. 

Mudik tentu saja merupakan kata benda, yang menunjukan aktivitas “menuju udik”. dengan demikian tujuan dari perjalanannya adalah udik, sedang pelakunya adalah orang udik. Dua kata udik (kata tempat) dan Orang  udik (pelaku) sama-sama memiliki konotasi yang kurang pas untuk saat ini. Bayangkan, aktivitas itu dapat diungkapkan dengan kata lain, orang udik kembali ke udik. Terbayang karakteristik orang udik, yang lugu, tertinggal dan “lola lolo”, yang dekil, sedang melakukan perjalanan ke tempat terpencil, tertinggal yang disebut udik. 

Yang kedua, lebaran, mengandung konotasi bubaran, yang dimaksud adalah bubaran dari berbagai aktivitas ibadah ramadhan. Puasanya bubar, tadarus bubar, berinfak, shodaqoh, menjaga diri, tidak melakukan pertengkaran ataupun perkelahian, semua bubar, selesai ! Apa yang dilakukan selama sebulan penuh seakan tidak berbekas, lebih khusus lagi konotasinya adalah puasanya hanya mendapatkan lapar dan dahaga. 

Dengan demikian penggunaan cluster “mudik lebaran”, secara faktual sudah tidak tepat, secara ideal, tidak mencerminkan maksud suci atau hikmah dari ditetapkannya syariah saum Ramadhan. Coba kalau kita ganti Program Mudik Lebaran menjadi Program Silaturrahmi Fitri. 

Silaturrahmi Fitri, menunjukan bahwa aktivitas itu dalam rangkan perjalanan suci  menyambung tali silaturrahmi, dengan seabrek hikmah dan manfaatnya (baca tulisan kami  Indonesia bersilaturrahmi dan bershodaqoh) yang dilakukan oleh manusia-manusia yang berkarakter kembali ke fitri, pada momen Hari raya Idul fithri. Karakteristik kembali ke fithroh ini terkait dengan SUKSESnya peluku perjalanan itu dalam melaksanakan puasa yang benar. Yang telah menjalankan puasa dengan landasan yang benar yakni imanan wah tisaban. Shoimin yang dapat menjalankan puasa secara demikian, mereka akan mendapat ampunan dosa-dosa sebelumnya sehingga laksana bayi yang masih suci, masih fithrah. 

Berdasar uraian di atas, sebaiknya interen kaum muslimin tidak menggunakan istilah “Program mudik lebaran” tetapi gunakanlah istilah “Program Silaturahmi Fitri”, yakni perjalanan yang bertujuan menjalin tali silaturrahmi, pada hari dimana kita kembali ke fithrah kita, aidul fitri. 

Semoga bermanfaat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline