Minggu-minggu ini di seantero dunia, kaum muslimin sedang berkonsentrasi untuk menyambut hadirnya bulan suci Ramadhan. Sangat banyak variasi aktivitas kaum muslimin dalam menyambut tamu agung itu, ibarat peribahasa, lain ladang lain belalang, lain taman lain keindahan panoramanya.
Pasca malam nisfu Sa'ban (malam tanggal 15 Bulan Sa'ban) yang diisi dengan shalat tasbih, sholat memohon ampun (taubat) yang dilakukan oleh masyarakat pantura Jawa Tengah terutama tegal - Brebes dalam menyambut bulan Ramadhan adalah ziarah kubur (di daerah lain dikenal nyadran), juga kegiatan yang nampaknya khas di daerah penulis adalah kegiatan takiran unggah-unggah. Yang berupa saling membagi makanan (nasi rames) yang ditempatkan dalam wadah berupa takir yang terbuat dari daun pisang (klutuk). antara sesama tetangga.
Budaya unggah-unggahan ini telah berlangsung turun menurun, entah kapan dimulainya. Makna unggah-unggahan sendiri adalah proses naik (munggah), yang dimaknai agar dapat naik ke surga (munggah nang surga). Masyarakat saling bepesan menjelang ramadhan, agar kita dapat naik ketakwaannya (munggah takwane( yang pada ahirnya dapat naik ke surga (munggah nang surga) dengan jalan mengirimkan pesan melalui simbul takiran tadi. Dalam takiran unggah-unggahan itu terdapat 4 terminologi penting yakni Takir, Roa, Apem dan pisang.
Takir yang dimaknai sebagai tata pikir dan tata dzikir, syrata utamanya adalah bentuhknya tertentu dan rapih. Dimaknai bahwa dalam berfikir dan berdzikir kita harus dengan cara yang telah diajarkan (Agama) dan dengan cara yang rapih (tartib). Apalagi masyarakat telah melakukan shalat taubat pada malam nisfu Sa'ban. Pada ujud takir sendiri, terkandung makna kekokohan dan kelenturan, berfikir harus berpegang pada prinsip dan paradigma yang kokoh, meski disampaikan dalam bahasa yang lentur. Bahkan dalam proses pemilihan bahan takir itu sendiri, terkandung makna kesadaran pada keunggulan spesifik. Setiap mahluk Allah SWT bibekali potensi unik, sebagaimana pisang klutuk, meski buahnya kurang diminati karena berbiji dan sepet, namun daunnya lebar, kuta dan lentur. Simbol Takir, tata fikir dan tata dzikir harus senantiasa berpegang pada azaz manfaat dan tujuan spesifik.
Terminologi ke dua dalam masalah takiran adalah Roa. Secara bahasa Roa (bahasa lokal) bermakna banyak jenis dan bervariasi. "Takirane lawuhe Roa", yang bermakna Lauk di Takir sangat banyak dan berfariasi. Semakin roa, takiran dianggap semakin baik. Pesan yang ingin disampaikan adalah tata pikir dan tata dzikir kita harus penuh, bervariasi. Semakin kita dapat berfikir penuh (konprehensif) dan kreatif (banyak alternatif) maka makin baik pula pikiran kita dan sebaliknya. dalam konteks dzikir, tata (aturan) dzikir semakin banyak dzikir yang dilakukan dengan tepat maka makin baik (dzikron katsiron).
Kata ke tiga yang ada dalam takiran unggah-unggahan adalah Apem putih yang terbuat dari beras, yang berbentuk seperti topi/caping. Apem ini dimaknai sebagai pelindung diri, untuk membuat nyaman, menjauhkan diri dari sengatan matahari maupun hujan yang menyiksa. Untuk bisa munggah, naik, banyak hal yang bisa saja membuat kita tidak nyaman, ketidak nyamanan itu harus dilindungi dengan topi, yakni Apem (affan), yang bermakna ampunan. Kita harus terus mencari rahmat Allah berupa ampunan, agar kita terbebas dari barbagai ketidak nyamanan, ketidak berkahan meskipun kita sudah melakukan taubat melalui shalat tobat pada malam nisfu S'ban, 2 minggu sebelum Ramadhan hadir. Dalam bahasa lokal, bulan Sa'ban disebut "wulan ruwah".
Pesan lain yang ada dalam takiran unggah-unggahan adalah pisang hijau lurus. Pisang yang dimaknai sebagai teken, tongkat untuk jalan. harus lurus dan hijau (pisang ambon sarinten). Dimaknai mengandung pesan, berjalanlah di jalan lurus dan penuh kedamaian sebagai makna Islama itu sendiri. Sebagai masyarakat muslim, masyarakat pantura saling berpesan kebenaran dalam kedamaian, untuk menaburkan hakekat islam itu sendiri sebagai Rahmatan lil alamin.
Itulah empat pesan inti dalam budaya takiran unggah-unggahan dalam menyambut hadirnya Ramadhan. Tentu saja dengan saling berkirim pesan melalui "takiran" maka kohesi sosial, hubungan sosial diantara masyarakat dapat dijaga dan terus dikokohkan. Semoga tradisi ini dilaksanakan juga oleh masyarakat Pantura yang merantau dimanapun, untuk membangun kekokohan hubungan sosial diantara masyarakat dimanapun adanya.
Aja klalen unggah-ungahane takire sing gede, roa, ana apeme karo gedange ya ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H