Lihat ke Halaman Asli

Kritik Lain bagi Guru

Diperbarui: 1 Mei 2016   11:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Diskursus tentang pendidikan memang bisa panjang dan tak habis-habisnya, hal ini dikarenakan banyak aspek yang harus dikupas dalam diskursus itu, apalagi ditampah dengan pandangan atau paradigma yang digunakan dalam melakukan diskursus tersebut. Sudah barang tentu diskursus pendidikan itu dilakukan pada saat kita menyongsong peringatan hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). 2016 ini.

Salah satu kritik yang dialamatkan kepada guru yang dianggap kambing hitam rendahnya kualitas pendidikan kita  adalah penggunaan metoda yang dianggap oleh para pengritik sebagai metoda yang usang. Sudah barang tentu, dalam pelaksanaan pembelajaran guru tidak memilih suatu methode itu usang atau mutahir, tetapi dilandasi oleh efektif tidaknya sebuah methoda diterapkan dalam sebuah pembelajaran. Selama kita memilih methoda dengan tepat, maka tidak ada lagi vonis itu usang atau mutahir. Bahkan sebaiknya guru tidak menjadi petualang metoda dalam pembelajarannya. Bahkan boleh jadi rendahnya kualitas pendidikan kita disebabkan oleh petualangan methoda muthahir yang dicopy paste tanpa "domestikasi" terlebih dahulu. Kurikulum wajar berganti sebagai tuntutan dinamika zaman, namun pilihan methoda tetap berpegang pada landasan efetktifitasnya, bukan otomatis mengikuti perubahan kurikulum seperti selama ini terjadi. 

Para ahli pendidikan sepakat, jika metoda, model dan pendekatan tidak ada satupun yang dapat efektif general untuk semua kondisi. Kondisi dimaksud tentu terkait dengan aspek-aspek keberhasilan pendidikan itu sendiri seperti maslah kompleksitas konten materi pembelajaran, indikator pencapaian, sarana/prasarana yang ada, termasuk juga kondisi profil peserta didik lebih jauh dari itu juga kompetensi guru itu sendiri terkait dengan kontens bersangkutan. Uraian berikut dimaksud memberikan ilustrasi terkait penggunaan methode.

Sebagai contoh, pada pembelajaran biologi masalah struktur sel, maka apabila yang ingin dicapai adalah dapat mendeskripsikan struktur sel secara detail, tentu penggunaan ICT dengan menayangkan animasi tentang struktur sel mungkin akan lebih mengena jika dibanding guru memilih metoda pengamatan preparat basah atau preparat awetan sel. Namun demikian jika indikator capaian adalah berbagai aspek seperti psikomotor dan sikap, maka metoda experimen dengan menggunakan pengamatan mikroskopis dengan preparat basah jauh lebih efektif untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Melalui pengamatan preparat basah, peserta didik dilatih skillanya dalam menyiapkan, mengoperasikan dan menyajikan hasil pengamatan secara integratif, termasuk juka dilatih untuk jujur, disiplin, cermat, tekun, rapih dan rajin, karena ada standar dan prosedural yang harus dilakukan oleh peserta didik. Ilustrasi ini juga mematahkan anggapan harus menggunakan ICT, saebab pemanfaatan ICT pada pembelajaran adalah untuk memperkokoh tujuan poembelajaran itu sendiri, dan jika dengan manual justru lebih memungkinkan dicapai lebih baik, maka pengghunaan manual adalah pilihannya. Jadi tidak selalu penggunaan ICT itu lebih baik. 

Contohlain adalah methode resitasi yang disarankan untuk digunakan sebagai cara penguasaan konsep yang sangat banyak (Biologi adalah biangnya) =, Metoda ini menyarankan siswa membuat semacam resume atau ringkasan materi setelah melakukan penelaahan dengan menggunaan bahasa sendiri.  Melalui metoda ini, peserta didik dituntut untuk membaca, membuat inti sari dengan bahasa sendiri yang mudah dipahami, menulislan dan mengecek ulang, dengan demikian peserta didik paling tidak telah melalui "internalisasi lomsep=konsep" empat kali, yang dengan pendekatan probabilitas maka semakin besar pula probabilitasnya menguasai konsep tersebut. Selain aspek penguasaan materi, metoda ini juga melatih siswa dalam berbagai skill termasuk meningkatkan kecerdasan verbal, yang pada ahirnya meningkatkan kecerdasan secara umum. 

Sebagai contoh terahir, sebuah metoda yang selama ini dianggap "sangat hartam' sejak CBSA, KTSP maupun Kurtilas, yakin methoda ceramah, untuk kondisi tertentu metode ini sangat diperlukan.  Jika diperkaya dalam penyajiannya dengan muatan-muatan nilai nilai sikap baik sikap keagamaan (K1) maupun sikap sosial (K2) dengan mengintegrasikan konten dengan pemaknaan-pekanaannya, maka akan mampu menunmbuhkan kecerdasan holistik peserta didik.

Sebagai contoh pada pembelajaran biologi pada aspek tertentu dari materi Sistema Reproduksi Maunisia, yang tidak memungkinkan menggunakan methode ekperimen meski peserta didik sering bertanya nakal Pak kapan Prakteknya ?, Maka methoda ceramah bisa menjadi alternatif dan bisa menjangkau muatan yang lebih integratif terkait konten reproduksi itu sendiri juga nilai-nilai syariah, hingga kepedulian sosial dalam pencegahan sex bebas. 

Terkait dengan penerapan metofda ini ada baiknya penulis sampaikan pengalam menerapkan methoda  dalam pembelajaran dalam penerapan penekatan saint melalui 5 Myang ditekankan oleh kurikulum 2013. Mkasud hati meningkatkan kemampuan ICT dan komunikasi peserta didik, memasuki semester genap pada pembelajaran Plantae, setalah apersepsi, pembukaan dengan menyampaikan indikator-indikator capaian kajian tentang Bryophyta, Pterydophyta dan Spermatopita, peserta didik dibimbing melakukan obeservasi di taman sekolah, kemudian dibimbing mengolah data (tabulasi Dll) dalam laporan resmi (laporan Ilmiah) peserta didik dibim,bing menyusun power point untuk presentasi sesuai bagiannya, belum selesai giliran presentasi, penulis dipanggil kepala sekolah, karena ada protes dari orang tua murid, dengan keluhan kok seperti ngajar mahasisa saja, peserta didik disuruh presentasi segala, disertai pesan, kalau ngajarnya diterangkan saja satu persatu , Intinya peserta didik itu menginginkan pembelajarn dengan ceramah. Nah loh !

Penyampaian kisah tersebut bukan dalam rangkan mencari salah atau benar protes orang tua mu4id tersebut, namun sekedar penulis sampaikan bahwa penggunaan Metoda, Model dan pendekatan pembelajaran benar-benar tidak dapat digeneralisir untuk semua kondisi, Bahkan menurut hemat penulis, seluruh aspek kurikulum pun perlu "didomestikasi" sesuai kondisi riil yang dihadapi guru. 

Disinilah penulis melihat, Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan KTSP) adalah kurikulum yang membuka luas kreatifitas guru, dan kurikulum yang realistis sesuai kebinekaan Indonesia itu sendiri. Guru dituntut kreatif dalam tugasnya dari mulai menyususn indikator-indikator yang riil, hingga merancang evaluasinya dengan bijak pula.  Terkait dengan hal ini, maka penulis sangat mengapresiasi pernyataan Mendikbud anies Baswedan beberap[a waktu lau yang mengembalikan penyusunan silabus hingga RPP oleh guru. Bhakan jika boleh usul, penulis sarankan guru kembali menyusun indikator-indikator capaian yang realistis, yang mengintegrasikan nilai-nilai budaya/local wisdom dan visi kemaritiman seperti yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi. 

Mudah-mudah ada manfaatnya. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline