Diskursus tentang kepemimpinan atau pemimpin selalu menarik apalagi menjelang moment-moment pemilihan pemimpin dalam berbagai levelnya, termasuk Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) maupun Pemilihan Umum (Pemilu). Untuk Propinsi DKI, Pilkada DKI waktunya berselang tidak terlalu lama dengan Pemilu, oleh karena itu ada sebagian pihak yang memanfaatkan Pilkada DKI sebagai batu loncatan untuk meraih kursi kepresidenan pada pemilu 2019 yang merupakan "edisi perdana" pemilihan umum serentak (Pileg dan Pilpres) berjalan bebarengan. Mungkin dalam diri pihak tertentu itu memandang pemilu tidak ubahnya dengan sebuah pertandingan, yang memerlukan "uji coba".
Meski semua orang adalah pemimpin, tetapi tidak semua pemimpin dapat diterima semua orang, bahkan tidak semua yang diblow up sebagai pemimpin memiliki jiwa kepemimpinan. Pemimpin sejati, tentu memiliki kriteria-kriteria tersendiri, yang ideal. Sederhanyana, seorang pemimpin adalah pribadi ideal, Pribadi Insan Kamil, manusia sempurna dengan kemanusiaannya. Pribadi yang utuh jiwa raga, unggul lahir batin, tidak boleh cacat inyelektual maupun moral, paripurna nilai keahlian dan juga nilai kesopanan. Kita bisa melihat, di negara Amerika Serikat yang sangat liberal dengan budaya sex bebasnya, tetap saja Presidennya tidak boleh menjadi lelaki peselingkuh, tidak boleh "ngesex" bebas, kita bisa melhat pada kasus "Bill Clinton" gate.
Tentang jiwa atau semangat kepemimpinan, ada baiakanya kita perhatikan ungkapan Jenderal Joshua Lawrence Chamberlain sebagai berikut "
"Inspirasi sebuah tujuan mulia yang melibatkan banyak orang memungkinkan seseorang untuk melakukan hal-hal yang yang tidak mereka impikan bisa mereka lakukan sebelumnay, dan tidak bisa mereka lakukan sendiri. Kesadaran akan kebersamaan, secara fital, dengan sesuatu yang lebih besar dari pada individualitas, daan kesadaran bahwa kita merupakan bagian dari sebuah kepribadian yang jangkauannya dalam dimensi waktu dan tempat sama sekali tidak kita ketahui, akan memperbesar hati kita hingga mencapai batas ideal jiwa, dan membangun karakter yang tinggi" (Covey, The 8 Habit, 2008)
Esensi dari apa yang dikatakan Chamberlain sesungguhnya tidaklah asing bagi bangsa kita, Bangsa Indonesia. yakni Jiwa Gotong Royong. Sebuah jiwa kebersamaan yang telah tumbuh dan hidup di tengah masyarakat Indonesia, yang dibuktian dengan karya-karya Agung bangsa yang melampaui batas-batas zamannya. Candi Borobudur, Kapal Phinishi, Resep=resep tradisional dan lain lain serta kemerdekaan Republik Indonesia adalah beberapa contoh yang dapat penulis ketengahkan disini.
Jiwa gotong royong telah menjadi Standar Nasional Indonesia dalam hal kepemimpinan, untuk membangun masyarakat yang damai sejahtera, adil makmur, gemah ripah lohjinawi tata tentrem karta raharja, atau dalam bahasa agama mayoritas masyarakat nusantara diistilahkan untuk mewujudkan baldatun thoyyibaatun wa robbun ghofur. Jiwa kebersamaan pemimpin yang selalu terkait dengan masyarakatnya dirumuskan dalam 3 (tiga) Indikator, yakni "Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mangun karso, tut wuri handayani".
Untuk dapat melibatkan dan menumbuhkan spirit gotong royong dan dapata melibatkan semua potensi yang ada, yang dikatakan Chamberlain dapat menghasilkan hal-hal yang tidak diimpikan sebelumnya, dan terus dapat menginspirasi masyarakat atau yang dipimpinnya, maka seorang pemimpin harus berkarakter sebagai Satria (baca Satrio), yakni "kudu anteng jatmika ing budi", Ruruh sarta wasis, samubarangipun", harus tenang, berbudi pekerti halus, dan waspada". karena dia sadar, bahwa semua tindak-tanduknya akan menjadi "panutan" bagi masyarakatnya, dan dia juga sadar, bahwa sebagai pemimpin harus menjaaga nilai-nilai luhur yang hidup dalam masyarakatnya.
Timbul kesadaran di tingakat global saat ini, bahwa model-model keemimpinan abad pertengahan, era refolusi industri yang penuh kontrol seperti mandor sudah sangat tidak tepat diterapkan untuk memimpin masyarakat yang semakain sadar akan nilai-nilai kebersamaan. Pada tingkat organisasi/perusahanpun, managemen era industri sudah semakin ditinggalkan dan digantikan dengan memimpin dengan hati. Ironisnya, bangsa Indonesia yang telah memiliki nilai-niai kepemimpinan yang sekarang diterapkan luas itu, justru terjebak dan lebih memilih kepemimpinan Era Industrialisasi yang bergaya mandor, intruksional, korek kesalahan dan hukum.
Sungguh sangat tragis, jika nilai-nilai ideal, kepemimpinan berstandar nasional di lupakan, kita dihadapkan pada pilihan yang dua-duanya tidak memiliki nilai ideal, "pilih yang sopan santun tapi korupsi, apa kasar tetapi tidak korupsi" dua-duanya harusnya tidak dipilih. Untuk perbaikan ke depan, kita harus memilih yang totalitas baik, Anteng, jatmiko ing budi dan Ruruh sarto wasis samubarangipun", penulis sangat yakin Ibu Pertiwi banyak melahirkan putra-putra yang berkarakter satria.
Meminjam isi dari "meme" yang menggambarkan seorang figur memakan bakso babi dengan disertai tulisan "Kalau ada yang halal kenapa pilih yang haram", sebagai penutup tulisan ini penulis sampaikan "kalau ada para satria, kenapa memilih para cakil ?", "Kalau ada para Pandawa, kenapa memilih Kurawa ?".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H