Lihat ke Halaman Asli

Heroisme yang Hilang

Diperbarui: 13 Agustus 2015   15:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Jangan bertanya apa yang telah diberikan negara untukmu, namun bertanyalah apa yang telah kau berikan kepada negara" demikian rangkaian kata-kata patriotisme yang dikenal sebagai kata-kata mutiara dari mantan Presiden Kenedy. Konon, kata-kata ini sebenarnya berasal dari seorang guru yang memberikan memotivasi salah satu team sekolah tersebut dalam kompetisi olah raga yang lazim dilakukan di amerika waktu itu. 

Dari kata-kata seorang guru, kepada salah satu team olah raga sekolahnya, berkembang menjadi kalimat patriotisme negara paman Sam dan pada akhirnya bahkan meluas ke seluruh dunia. Hal ini berarti bahwa spirit dari lingkup kecil dapat berkembang menjadi lingkup yang lebih besar bahkan menasional. Itulah pelajaran penembuhan motivasi, semangat berjuang yang dapat dilakukan secara bertahap. 

Penumbuhan semangat heroisme seperti itu terasa sekali ketika penulis menjadi pelajar. Setiap kali akan berlomba baik gerak jalan, cerdas cermat, kasti, menyanyi dan lomba-lomba lain yang dilakukan begitu masuk bulan Agustus tiap tahunnya, atau lomba-lomba menjelang peringatan hari besar Nasional, para siswa dipompa spirit juangnya. Bahkan siswa lain yang mewakili dalam ikut lomba, turut bergelora semngatnya mendukung para "pahlawan" sekolahnya berjuang. Heroisme itu benar-benar ditumbuhkan melalui aktivitas langsung dan solidaritas mendukung perjuangan juga dikobarkan. Puncaknya pada Upacara Bendera 17 Agustus, kita sadar, ketika degup patriotisme dikobarkan, napak tilas perjuangan diungkapkan, kita semua menjadi terkoneksi dengan suasana riil, perjuangan mewakili sekolah atau kota yang dialami langsung oleh para siswa. 

Penumbuhan heroisme dari lingkup kecil seperti itulah yang saat ini terasa hilang, hanya karena kita, sekolah, kementrian dan jajarannya merasa harus mengamankan hari efektif sekolah agar target kurikulum tercapai. Para siswa sangat kurang mendapatkan pompaan pembinaan semangat juang riil dari aktivitas-aktivitas riil menyongsong Hari patriotik bagi  bangsa Indonesia. Peserta didik lebih diharuskan tetap berada di batas tembok-tembok kelas untuk belajar apa, mengejar materi belajar. 

Padahal jika kita menyadari sepenuhnya, maka kehilangan 2 kali tatap muka (biasa kegiatan 2 minggu, sejak awal Agustus) untuk mendapatkan belajar apa akan sangat tertutup dengan penumbuhan spirit heroisme melalui berbagai aktivitas menjelang hari-hari heroik tersebut. Penumbuhan patriotisme kolektif tersebut jauh lebih berarti sebagai bangsa dari pada sekedar mendapat pengetahuan tentang apa selama 2 kali pertemuan tatap muka di kelas. 

Saat ini generasi penerus masa depan bangsa, hanya diposisikan sebagai penonton dalam menyambut hari sangat bersejarah Hari Peringatan Proklamasi kemerdekaan RI. Hanya sebagian kecil pelajar yang terlibat sebatas petugas upacara atau yang terkait dengan hal itu, sehingga penumbuhan patriotisme kolektif yang sangat dibutuhkan bagi generasi yang sedang tumbuh tidak terjadi. Atau kah memang kita lebih senang menjadikan generasi penerus sebagai penonton dan sebagian kecil dari mereka yang menjadi pemain? 

Kita semua yang harus menjawab. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline