Turis asing maupun domestik yang datang mengunjungi tempat-tempat wisata berpenghuni banyak kera, bisa dibilang orang-orang pilihan menurut saya. Betapa tidak, mereka berani ambil resiko tinggi.
Sejumlah peristiwa yang sering menimpa para turis ialah, dicakar, digigit, barang bawaan dicuri dan lain sebagainya. Ada pula yang tubuhnya dipanjat atau bahkan digerayangi. Serem kan?
Mungkin bagi cowok kejadian itu tidak begitu masalah. Ketakutan masih bisa diredam atau diatasi. Akan tetapi lain halnya bila terjadi pada cewek. Bisa jejeritan histeris mereka. Kemudian timbul trauma berkepanjangan.
Kekhawatiran macam itu yang saya rasakan ketika saya diajak berpetualang ke Monkey Forest, Ubud, Bali, oleh Mbak Asita DK --Kompasianer yang juga penulis buku travel--, Sabtu (26/11) pagi. Selain kami berdua, Mbak Ita --sapaan akrabnya-- juga mengajak serta Duta Wisata sekaligus Ning Jember 2016, Yuke Aulia.
Dari Sanur ke Ubud, dengan mengendarai mobil, kami tempuh sekitar satu jam. Kebetulan arus lalu-lintas ketika itu tergolong lancar. Tak banyak kendaraan yang melintas. Bisa jadi karena sedang low season.
Cuaca sedang terik-teriknya. Kawasan Ubud yang setau saya berhawa sejuk berubah menjadi gerah. Sinar mentari terasa nyelekit menyentuh kulit. Daerah wajah, dada dan punggung saya mulai berkeringat ketika turun dari kendaraan. Padahal waktu masih menunjukkan pk 10.00 Wita.
Adapun biaya tiket masuk dikenakan sebesar Rp 40 ribu/orang. Sementara anak-anak Rp 30 ribu. Tarif tersebut mulai berlaku sejak awal tahun 2016 silam.
Berdiri di depan pintu masuk, saya bagai menyaksikan gerbang menuju ‘alam lain’. Amat terasa kesakralannya. Tenang dan asri. Dominasi warna hijau pekat. Menandakan betapa suburnya daerah itu. Kedua mata saya langsung terasa sejuk ketika memandangnya.
Banyak pepohonan menjulang tinggi di sana. Langit seakan dihalangi oleh dahan dan ranting yang ditumbuhi dedaunan. Menjadikan sinar matahari terhalau masuk hingga ke permukaan tanah. Para turis yang sedang berjalan di bawah pepohonan itu terlihat kecil. Tak ada apa-apanya ketimbang ukuran pohon-pohon itu.
Baru saja berjalan beberapa langkah, saya menemukan seekor kera di atas tanah berpaving. Dia sedang asik menggerogoti sebuah biji dengan kedua tangan dan kakinya secara bergantian. Entah biji buah apa itu. Saya lantas berjongkok, dekati kamera gawai dan klik! Ah beruntung sekali saya! Si kera muda tampak cuek bebek dengan tingkah laku saya.
Saya berjalan lagi sedikit. Di sebelah kiri saya, ada seperti jembatan kayu yang tidak boleh dilewati pengunjung. Terpasang seutas rantai yang dikaitkan pada kedua sisinya.