[caption caption="Mbak Tio sedang bercengkrama bersama kawanan satwa di Rumah Singgah Satwa, Bali, Minggu (20/3) siang / dap."][/caption]Banyak turis asing maupun kaum ekspatriat beranggapan penduduk di Bali kurang peduli lingkungan. Terutama soal anjing liar. Tio RuSS buktikan bahwa pandangan itu tidak benar. Salah satunya melalui program Bali Rumah Singgah Satwa (RuSS).
“Total sekarang saya punya 130 ekor anjing dan 20 ekor kucing. Dibantu dua pegawai. Tugas mereka memberi makan dan membersihkan kandang. Kerjanya setengah hari. Selebihnya saya yang kerjakan sendiri,” jelasnya saat ditemui di kediamannya daerah Abiansemal, Badung, Bali, Minggu (20/3) siang.
[caption caption="Kandang khusus satwa yang terkena penyakit kulit / dap"]
[/caption]Hidup seorang diri dengan 'tanggungan' hewan sebegitu banyak, bukan hal yang mudah. Apalagi dikerjakan oleh seorang wanita. Mustahil rasanya. Akan tetapi, berkat kecintaan dan kepeduliannya terhadap satwa lah yang menjadikan wanita kelahiran Bandung, 23 Oktober ini tangguh pantang menyerah.
Mbak Tio, sapaan akrabnya, tinggal di sebuah rumah kontrakan bertingkat dua. Dengan luas tanah sekitar enam are. Ruang pribadinya berada di lantai dua. Sementara sisanya, lantai satu dan seluruh halaman, ia sulap jadi tempat tinggal satwa. Lengkap dengan sekat pembatas berbahan besi sebagai pemisah.
[caption caption="Kandang khusus satwa yang pernah mengalami trauma / dap"]
[/caption]Adapun kandang dibagi menjadi empat bagian atau golongan. Kandang khusus satwa berpenyakit kulit, pengidap trauma, anjing pelompat dan terakhir puppies.
Sebagian besar kawanan, kondisinya memprihatinkan. Kasus yang menimpa mereka pun beragam. Mulai dari terserang penyakit kulit, bulu rontok, luka akut, trauma tertabrak kendaraan, dibacok orang, digantung, amputasi, sampai yang dibuang begitu saja oleh pemiliknya di pinggir jalan.
[caption caption="Kandang khusus satwa pelompat tinggi / dap"]
[/caption]“Rumah Singgah Satwa sebetulnya bukan shelter. Kalau shelter-kan kesannya modern. Ada tim khusus yang selalu berjaga, ada kendaraan ambulans-nya, fasilitas & peralatan serba memadai dan lain sebagainya. Sementara di sini tidak begitu,” ujarnya.
Selagi mendengarkan penjelasan Mbak Tio, saya edarkan pandangan ke arah doggies. Mereka memperhatikan kami dengan saksama dan tenang. Sejurus kemudian, saya terkejut dan kemudian memotong pembicaraan. “Sebentar, Mbak. Itu bukannya... Itu bukannya Husky ya?!” tanya saya tergagap. Menunjuk ke salah satu gukguk bertubuh kurus kering berbulu cepak.
“Iya itu Husky, Mas,” jawabnya lirih.
“Lho ... Ada juga toh orang buang Husky, Mbak?!” keterkejutan saya seolah belum sirna.
“Bukan dibuang sih, Mas. Tapi karena kena penyakit kulit. Padahal dia stambum lho.”