[caption caption="Sorot Mata Letih Bli Tawan / photo by: Agung Soni"][/caption]
Sejak kedatangan saya dan Mas Agung Soni di bengkel lasnya, nyaris sejam Bli Tawan masih meladeni berbagai pertanyaan dari para jurnalis. Saya agak jaga jarak, berdiri sekitar dua meter dari kerumunan. Sengaja, biar bisa menangkap seluruh kejadian demi kejadian.
Sebetulnya saya kesal. Ingin rasanya menyela diskusi dan bilang, "Mas, cukup, Mas, wawancaranya. Kasihan Bli Tawan ngga ada istirahatnya dari tadi." Saya perhatikan, ia tetap tersenyum. Bibirnya mengembang. Sesekali mereka tertawa lepas bersama-sama. Entah apa yang jadi bahan candaan, mereka memakai bahasa Bali.
"Ya saya kalau seperti ini (banyak tamu datang) gimana bisa kerja?" tiba-tiba kalimat itu terlontar begitu saja.
Memang kalimat itu tidak diucapkan dengan tegas, melainkan setengah becanda. Para wartawan mungkin kurang nangkap, tapi tidak dengan saya. Saya menerjemahkannya sebagai tanda pengusiran secara halus. Kelewat halus buat orang sekelas wartawan.
Bli Tawan bisa saja mengatakan, "Kemarin kan sudah saya jelaskan serinci mungkin sama wartawan media anu. Silahkan kalian rembukan soal cara kerja alat saya. Sekarang saya mau kerja, jadi, beri saya waktu untuk menyelesaikan pekerjaan."
Ajaib. Hal itu tidak dilakukannya sama sekali. Ia terus tersenyum ramah kepada tiap orang yang mengajaknya ngobrol. Mengulang dan terus mengulang informasi yang sama. Hari demi hari tiada henti. Ia tak ingin tamu-tamunya itu merasa kecewa. Namun, di balik senyumnya iti, saya bisa menangkap pancaran sorot mata lelah.
Terlalu berat beban hidupnya. Mulai dari menghidupi anak istri, berusaha memperoleh penghasilan sebagai tukang las, terus berbohong agar alat ciptaanya bekerja, melayani tamu-tamu yang tak kunjung usai, memberi kesempatan para praktisi mencoba alatnya, sampai dihujat orang banyak. Dibilang penipu, pembohong, hoax dan lain sebagainya. Kalau saya jadi Bli Tawan, bisa putus akal sehat saya, lantas jadi orang gila. Sungguhan! Bayangkan, seberapa besar tekanan yang ia terima dalam waktu bersamaan? Bisakah kalian menghadapi semua itu seperti Bli Tawan?
Setelah apa yang saya katakan, lewat tulisan ini, dan mungkin ada netizen pem-bully yang sedang membaca, tolong jangan hina Bli Tawan. Saya mohon. Hargai jerih payahnya. Alat itu bukan buat gaya-gayaan atau mencari sensasi, melainkan dibuat kerja. Buat cari nafkah menghidupi istri dan ketiga anaknya yang masih kecil. Masih terlampau panjang jalan hidup mereka. Jangan kalian bunuh semangatnya dengan komentar kelewat pedas. Karena itulah satu-satunya yang tersisa yang mereka miliki.
"Enak hidup seperti dulu (belum terkenal), Mas, saya orangnya gak kuat dikritik," katanya lirih sambil memandangi langit-langit.
Setelah mengatakan kalimat itu, sorot matanya jadi lemah. Kondisi psikisnya bagai habis dihajar babak belur. Lamunan singkat beberapa detik itu dibuyarkan oleh panggilan istrinya. Kalau tak salah dengar (mudah-mudahan saya tidak salah dengar), Bli Tawan dipanggil dengan sebutan, "Ayah".