Akhirnya saya menyerah. Pindah dari air minum ‘asli’ ke isi ulang pinggir jalan. Kalau saya sakit apakah Aqua mau tanggung jawab?
Kalimat terakhir memang sedikit berlebihan. Tapi biar lah dianggap lebay sekalian.
Wajar kalau saya khawatir seperti itu. Bukan maksud hati memandang sebelah mata profesi teman-teman usaha air minum isi ulang pinggiran, akan tetapi saya tetap meragukan ke-higienis-annya.
Saya tidak tahu kondisi truk tangki yang biasa mengangkut air, dalamnya seperti apa. Berkarat atau tidak. Begitu pula dengan selang yang dipakai untuk memindahkan air dari truk ke tanki penampungan. Apakah ada lumut atau tidak. Saya pun tidak percaya akan kemampuan sinar ultraviolet yang konon katanya dapat membunuh kuman berbahaya. Saya juga sangsi dengan sertifikat aman yang biasa pedagang tempel di kaca etalase. Apakah itu memang benar lulus uji atau ada ‘permainan’ di dalamnya.
Menurut pantauan saya di lapangan, khususnya area kota Denpasar, stok Aqua galon amat langka. Bahkan bisa dibilang lenyap dari pasaran. Deretan galon-galon kosong di toko, mulai dari toko sekelas warung sampai minimarket, bukan lagi pemandangan yang aneh. Kondisi galon kosongnya ada yang masih terlihat bersih, ada pula yang mengenaskan. Mengenaskan dalam artian sudah berdebu tebal dan seperti barang rongsok. Mukjizat namanya kalau sampai ada stok tersisa. Keadaan seperti itu sudah berlangsung nyaris satu bulan. Iya, serius, hampir sebulan lamanya!
Saya pun sering menjumpai warga membawa galon kosongnya kesana-kemari. Baik bapak-bapak maupun ibu-ibu. Kalangan wanita biasanya mengajak serta anaknya yang masih kecil. Mampir ke sebuah toko, bertanya kepada penjual, namun nihil. Stok kosong. Penjual pun tidak dapat memberi penjelasan ke konsumen dengan pasti. Paling banter mereka hanya bisa bilang, “Petugasnya belum datang”.
Tiga atau dua minggu lalu, saya pun merasakan sendiri bagaimana susahnya mendapatkan isi galon Aqua. Hampir 5 kilometer saya putar-putar. Mulai dari Tukad Badung, Tukad Yeh Aya, Tukad Yeh Aya IX, Tukad Balian, Mertasari, Sidakarya sampai Tukad Pakerisan. Puluhan toko sudah saya sambangi. Sekalinya dapat, harga sudah dinaikkan.
Di Denpasar sendiri, biasa dibanderol seharga Rp 16 ribu/galon. Waktu itu saya harus membayar Rp. 18 ribu/galon. Kata penjual, dia hanya mengikuti harga yang dipatok tukang sales-nya. Lantaran dapatnya mahal, mau tidak mau penjual harus menyesuaikannya. Jengkel juga sebenarnya, tapi tak masalah. Asal saya bisa minum dengan kualitas baik, harga segitu tidak jadi soal.
Kelangkaan stok galon Aqua perlahan mulai muncul ke permukaan. Jadi perbincangan orang. Maulana Ridwan, rekan kerja saya yang tinggal di daerah Kuta bilang, di sana stoknya juga langka. Wayan Mustiari, rekan kerja lain yang tinggal di daerah Ubud pun berkomentar sama.
Sekarang, orang kalau melihat truk pengangkut galon Aqua sudah seperti melihat truk pembawa uang. Ingin rasanya mencegat sang sopir demi mendapatkan segalon Aqua. Separah itukah kondisinya? Iya! Saya tidak mengada-ada. Bisa cek sendiri ke lapangan. Penulis macam saya PANTANG berbohong. HARAM hukumnya menyebarkan informasi sesat atau bohong ke publik. Kredibilitas saya yang jadi taruhannya.
Puncaknya hari ini, Minggu (29/11). Saya sudah tak tahan main ‘petak umpet’ sama stok Aqua galon yang masih tersedia. Saya harus menulis artikel keluhan. Baca juga: Klungkung dilanda kekeringan, Denpasar langka stok air minum kemasan bermerek