Hujan baru saja reda, derasanya menghempas pasir ungu serat pangkal jelatang kering . Ombak sore ini sedikit lebih besar, menghempas penghunian undur-undur laut yang sedang bencengkrama dengan lembayung senja, lalu sinarnya merebah di rumput zoysia dan menjatuhkan kutu daun.
sore ini tak ada pelangi yang disebabkan oleh sinar matahari dan tetesan air hujan. pula tak ada bunga yang menunggu bulan purnama yang hadir dengan titik tengah orbitnya. atau dengan bumi yang berada diantaranya. dan bintang fajar yang dihadirkan oleh venus yang berada disisi lain matahari, dan mengarahkan matahari bergerak melintasi langit yang papat.
pengemis buah kalam itu berucap dengan kepandirannya, "maafkanlah, tidak sebagaimana lazimnya kisah masyigul yang terkubur oleh mahluk berpernak-pernik syurga. dari mata tak sesederhana burung camar. atau tak seindah mata burung kormoran.
ada yang murung diatas batu besar, seseorang pemancing tua yang berbaju lusuh dengan topi caping dikepala. matanya menyoroti mata kail yang berdansaria, cepat Ia tarik, tapi bukan ikan, namun sampah plastik yang busuk." ranjungan memandanginya dengan kegilaan, ha ha..hi hi mencabik ibanya.
Pengemis buah kalam itu masih memandanginya, setelah angin pantai yang beraroma asin itu menerbangkan pakainnya yang kumal, dan mengusir air hujan yang sempat bersemayam di kerah baju yang lusuh. bulirnya mengalir sombong di ujung jari ketika istrinya mengadahkan tangan ketika panci kosong ditutupi asap kayu mahoni kering.
madah doa diucapkan pelan dan isak yang tertahankan,
"puji bagi Khalik yang kudus, yang telah menempatkan Arsy-Nya diatas perairan, dan kepada langit telah ia berikan kekuasaan, dan kepada bumi kepatuhan; dan kepada langit telah ia berikan gerak dan kepada bumi ketenangan yang tetap. pada mulnya ia sepuh bintang-bintang dengan emas, sehingga dimalam hari langit bermain trak-trik. wahai tuhan yang melayangkan atas rizki pada ciptaannya, tenangkanlah air laut,redamkanlah ombak, agar ikan dapat berenang dengan mudahnya, menghampiri pemancingnya. maafkanlah kau yang selalu kudaki, dan kumintai bermacam-macaam"
dua menit, empat menit, delapan menit berlalu. menit tak akan pernah meninggalkan detaknya. terlihat tak samar dari mata pengiba nasib. embernya masih kosong. yang ada sisa air hujan yang keruh menghina. kantung matanya yang keriput itu di labuhi oleh ingatan anaknya yang pincang, disaat anala menggigilkan daksa. "oh, kemana ikan-ikan,, anak dan istriku belum makan" ucapnya datar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H