Sebelum memblokir kartu-kartu yang belum (bisa) didaftarkan pada 1 Mei 2018 ini, saya menyarankan agar pemerintah mengakui secara jujur kelemahannya terlebih dahulu. Bahwa sebenarnya pemerintah pun belum sepenuhnya siap atas kebijakan yang telah dibuatnya sendiri ini. Ada banyak hal yang harus terlebih dahulu pemerintah selesaikan, atau minimal disesuaikan. Jangan membuat masyarakat jadi repot, terutama mereka yang berasal atau berada di daerah tertinggal.
Bayangkan saja, KTP yang katanya elektronik itu ternyata masih tidak bisa dipakai untuk mendaftarkan kartu SIM. KTP ELEKTRONIK (Ingat, KTP Elektronik loh ya, Elektronik!) yang pada awal pembuataanya diklaim berlaku nasional dan dananya banyak dikorupsi oleh Setyo Novanto dan kanca-kancanya itu, sampai kini datanya belum terekam semuanya di Kemendagri.
Sementara itu, kebijakan yang mewajibkan pendaftaran kartu SIM dengan menggunakan NIK dan nomor KK ini, patokannya hanyalah database online yang ada pada situs Kemendagri. Padahal banyak NIK dan Nomor KK yang belum terekam datanya pada situs ini, termasuk NIK saya. Akibatnya, orang-orang dari berbagai daerah tertinggal (apalagi dari Indonesia bagian Timur), banyak yang kelimpungan.
Ketika saya dulu mengurus pendaftaran kartu SIM ke Galeri Telkomsel karena berkali-kali mendaftarkan namun tak kunjung berhasil juga, oleh petugas saya sampai harus menulis surat pernyataan di atas materai, "hanya" untuk mendaftarkan kartu SIM saya. Di hadapan kebijakan ini, saya seperti warganegara ilegal yang tak memiliki dokumen kependudukan.
Itu pun belum cukup. Saya masih diwajibkan untuk mengonfirmasi kepada petugas di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten saya, agar mereka dapat memasukkan NIK saya di situs online Kemendagri. Kalau itu tidak saya lakukan, maka nomor SIM saya akan tetap diblokir. Dan saya memilih untuk tidak melakukannya.
Saya tak tahu ini salahnya di mana. Bisa jadi pada Pemerintah Pusat (dalam hal ini Kemendagri), tapi bisa juga pada Pemerintah Daerah. Bisa juga pada sistem pencatatan dan penginputan yang masih belum selesai atau pada Aparatur Sipil Negara di daerah yang selalu merasa kewalahan untuk menginput data kependudukan ke kementerian. Atau kemungkinan lain, misalnya karena masih terbatasnya sarana, aparatur, dan infrastruktur pendukung dalam penginputan data kependudukan di berbagai daerah di Indonesia.
Ataukah justru ini merupakan seuprit buntut dari bobroknya proyek pembuatan KTP Elektronik di negara kita?
Entahlah, terlalu banyak sekali kemungkinan. Namun sayangnya pemerintah tidak pernah sekalipun memberikan jawaban atas kasus-kasus semacam ini. Maunya yang praktis saja: mengancam. Padahal ada banyak sekali cerita menggemaskan seputar pembuatan KTP Elektronik di negeri ini.
Saya juga tidak habis pikir, mengapa data yang dirujuk dalam pendaftaran ulang kartu SIM ini hanya data yang tertera pada situs http://dukcapil.kemendagri.go.id/ceknik. Bahkan ketika Anda membawa KTP asli ke perusahaan provider pun, itu semua tidak akan berguna. KTP Elektronik itu kalah dengan data online Kemendagri.
Dari sini semakin terlihat, baik pemerintah maupun perusahaan penyedia jasa telekomunikasi, cuma mau enaknya saja. Masyarakat yang disuruh wara-wiri. Sampai emosi.
Kayak kok gitu mau main blokir saja, tunggu dulu bos!