Ketika nama Iran disebut, barangkali banyak dari kita yang akan langsung mengasosiasikannya dengan Syiah. Atau bagi para pemerhati masalah perang, nuklir, dan hubungan luar negeri, maka akan langsung mengingatkan mereka pada konfrontasi negeri tersebut dengan Amerika ataupun bangsa Eropa.
Hal itu tak bisa dimungkiri. Iran hari ini memang merupakan negara yang cukup konfrontatif terhadap hegemoni Amerika, terutama soal nuklir. Begitu pun soal Syiah, sampai sekarang negara tersebut memang merupakan pusat perkembangan Syiah.
Namun Iran hari ini tidak bisa hanya dilihat sebagai hari ini saja. Karena negara yang telah berusia puluhan ribu tahun tersebut telah melampaui berbagai dinamika politik dan kepemimpinan yang juga harus dicermati. Transformasi Iran dari negara-kerajaan menjadi negara republik juga patut untuk disoroti secara tajam dalam melihat Iran dalam kaca mata kontemporer.
Nasir Tamara, wartawan muda Sinar Harapan di Prancis kala itu, adalah sosok yang beruntung karena menjadi satu-satunya wartawan Indonesia yang memperoleh kesempatan menyaksikan langsung jalannya revolusi Iran dari jarak yang begitu dekat. Hingga kemudian ia menelurkan sebuah buku bertajuk "Revolusi Iran". Secara garis besar, buku ini mencatat perubahan kekuasaan berbentuk kerajaaan selama tak kurang dari 3000 tahun, ke sebuah negara republik Islam.
Sebagai prolognya, Nasir mengajak pembaca untuk masuk dalam "Revolusi Iran" melalui pintu yang sangat emosional. Dengan menggunakan gaya penulisan jurnalisme sastrawi, ia menggambarkan ketegangan-ketegangan yang mengiringi kepulangan Khomeini ke Iran pada akhir Januari 1979 itu. Baik yang dirasakannya sendiri maupun orang lain.
Dalam bab pembukanya yang diberi judul "Mengikuti Khomeini Pulang" itu, Nasir juga telah cukup berhasil mengenalkan Khomeini sebagai tokoh utama dalam debut revolusi Iran. Terus terang, narasi dalam bab pertama tersebut membuat simpati saya terhadap Khomeini dan Iran bangkit dan berekspektasi bahwa buku catatan sejarah ini akan cukup menyenangkan untuk dibaca.
Dan benar saja, hal itu berlanjut sampai dengan ketika saya sampai pada bab kedua. Bab ini memuat jawaban pengantar tentang mengapa sosok Khomeini begitu berpengaruh dan dielu-elukan pada saat itu.
Hal ini disebabkan oleh kondisi politik di Iran pada saat itu, di bawah kepemimpinan Shah, sangatlah tidak demokratis. Shah memimpin Iran dengan gaya yang otoriter, congkak, dan senang dipuja. Shah pun beranggapan bahwa dinasti Pahlavi merupakan penerus tradisi kerajaan yang berusia tak kurang dari 25 abad itu.
Di sini terlihat sekali, Shah berusaha melegitimasi kekuasaanya dengan klaim sejarah atas Raja Cyrus. Hal itu ditegaskan melalui pidatonya di depan makan Raja Cyrus---Raja paling besar dalam sejarah Iran- pada 13 Oktober 1971. Ia mengatakan,
"Kami bersumpah tradisi kemanusiawian yang menjadi dasar kekaisaranmu yang besar tetap akan menjadi tujuan hidup kami dan rakyat kami."
Meski demikian, menurut Nasir, pada saat itu semua orang yang hadir dan tahu akan mencemooh pidatonya karena kontradiktif dengan kenyataan sebenarnya. Pemerintahan Shah dijalankan dengan sangat diktator, yang itu diakuinya sendiri karena sebagai "Bapak negeri" tersebut.