Lihat ke Halaman Asli

Darul Azis

Wirausahawan

Cinta Rupiah, Wujud Kebanggaanku Sebagai Orang Indonesia

Diperbarui: 6 Januari 2018   11:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cinta Rupiah, Wujud Kebanggaanku Sebagai Orang Indonesia [Dok. Darul Azis]

Prolog; Sebuah Pengakuan Dosa Seorang Warga Negara

Setiap kali aku menerima uang kembalian berjenis logam, setelahnya kerap kali uang itu kuperlakukan dengan seenaknya. Kadang uang itu kuletakkan begitu saja di dashboard motor. Kadang uang itu kutaruh begitu saja di lantai. Dan yang paling sering adalah kutaruh di tas dan kubiarkan ia sampai lama, dan kemudian aku melupakannya.

Itu karena aku sering merasa malu untuk mengantongi dan membelanjakannya kembali. Entah mengapa pula, di Indonesia seperti telah berlaku persepsi "Membeli sesuatu dengan uang logam adalah hal yang memalukan". Dan aku termasuk yang 'termakan'oleh persepsi tersebut.

Belakangan aku baru tahu, ternyata tindakan menaruh uang sembarangan sama dengan tidak menghormati uang. Karena biar bagaimanapun, uang logam tetaplah uang logam, yang memiliki nilai dan fungsi tersendiri. Padahal sejak kecil aku sering sekali mendengar ibu berkata, "Kalau tidak ada seratus rupiah, maka tidak ada seribu rupiah".

Itu artinya, berapa pun nilai uang itu, ia tetaplah bernilai. Dan nilai yang kecil itu, kalau dipikir-pikir lagi, sejatinya bukan karena nilainya uang itu memiliki nilai rendah, tapi karena disesuaikan dengan fungsinya. Misalnya, uang lima ratus rupiah adalah untuk menghargai satu biji tempe goreng. Sehingga ketika kita hanya ingin membeli satu biji saja, maka kita bisa menggunakan uang logam pecahan Rp500. Jadi, setiap nilai uang mewakili harga barang atau jasa yang diperjual-belikan di pasaran.

Berkaitan dengan kebiasaanku yang sering merasa malu dan malas membelanjakan kembali uang logam, ternyata hal itu juga memiliki dampak buruk.

Dalam periode 1994-2014, Bank Indonesia tercatat telah mengeluarkan uang logam sekitar senilai Rp7,12 triliun, tetapi yang kembali hanya Rp1,83 triliun atau 26,7 % dari yang dikeluarkan. Hal itu disebabkan oleh karena masyarakat Indonesia pada umumnya merasa enggan untuk membelanjakan kembali uang logam. Sehingga kemudian uang logam jadi menumpuk pada satu tempat, tidak berputar sebagaimana seharusnya uang bekerja. Pada 2013, setiap orang di Indonesia diperkirakan menyimpan rata-rata sekitar 65 keping koin (Harymukti, 2014).

Rendahnya penghargaan masyarakat Indonesia terhadap uang logam juga sangat memprihatinkan. Ini terlihat dari, misalnya, keengganan memungut uang logam pecahan 100-500 yang terjatuh di tanah, sehingga tidak jarang aku menemukan uang logam yang tergeletak begitu saja di tanah, tanpa ada yang mau mengambil. Tak cuma itu, bahkan aku sering melihat uang-uang itu sampai tertanam pada jalan-jalan aspal. Ya Tuhan!

Dosaku terhadap mata uang negara sendiri bukan hanya itu. Dulu waktu aku masih bekerja sebagai staf tata usaha di sebuah sekolah di Lampung, aku kerap menyetapler uang gaji pegawai dan guru. Belum lama ini pula aku kemudian tahu, bahwa perbuatan tersebut juga tidak benar.

Dosaku terhadap uang rupiah telah menggunung. Padahal hari-hariku selalu dibantu olehnya. Baik ketika makan, bepergian, atau sekadar minum kopi. Aku selalu membutuhkannya.

Tapi mungkin memang demikianlah proses yang "harus" kulewati untuk menjadi seorang warga negara yang lebih baik. Aku pernah melakukan kesalahan-kesalahan fatal menyangkut kehormatan negara, yakni mata uangnya. Sampai kemudian mataku dibukakan oleh pengetahuan bahwa apa yang dulu kulakukan itu tidak benar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline