Lihat ke Halaman Asli

Darul Azis

Wirausahawan

Cerpen | Ilmu Terakhir

Diperbarui: 9 Desember 2017   20:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi via www.ignitumtoday.com

Beriringan dengan saat matahari menunaikan tugasnya di ufuk barat, di sebuah gubuk kecil lereng gunung Merbabu, seorang murid duduk takzim mendengar petuah dari gurunya.

Suasana petang itu perlahan-lahan kian senyap, sehingga tak ada suara lain yang lebih jelas terdengar oleh telinga si murid, selain suara petuah dari sang guru.

Sebelumnya, si murid telah menceritakan keluh kesahnya kepada sang guru. Murid muda ahli ibadah itu sudah hampir selama tiga purnama lebih tak bisa menangis sama sekali. Air matanya serasa kering. Hatinya seolah membatu. Dan itu terjadi secara tiba-tiba, tanpa ia tahu apa sebabnya.

"Apakah kamu sudah jarang sembahyang lagi?" sang guru menyelidik.  Di luar gubuk, suara jangkrik sawah mulai terdengar mengerik.

"Masih guru." ucapan si murid, "Bahkan sejak saya sadar tidak bisa menangis lagi, saya semakin sering sembahyang." tuturnya kemudian.

"Sudah jarang menolong orang yang sedang kesusahan?" tanya sang guru lagi. Hari berangsur kian gelap. Sang guru kemudian menyalakan sebuah pelita untuk menerangi gubuknya.

"Masih sering guru,"

"Masih sering semadi?"

Kembali si murid mengangguk takzim. Dibanding murid-murid lain, ia memang tergolong sebagai murid yang paling rajin. Hampir semua ilmu dari gurunya telah ia serap dengan baik, dan semua nasihat-nasihat dari sang guru telah ia laksanakan.

"Kalau begitu kamu sekarang pulang saja. Di perjalanan nanti kamu akan mendapatkan jawabannya. Besok kembalilah kemari." Perintah sang guru sambil memberikan sebungkus kain sarung bekas berisi umbi-umbian hasil tanamannya.

"Bawa ini juga."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline