Arswendo boleh bilang bahwa menulis itu gampang. Tapi bagiku tidak. Menulis itu tidak mudah. Walau kuakui juga tidak sulit-sulit amat.
Anggapan mudah atau tidaknya aktivitas menulis sangat bergantung bagaimana kondisi si penulis itu sendiri. Aku sudah mengalaminya, dalam beberapa situasi merasa sangat mudah untuk menulis namun dalam situasi lain menulis bagiku menjadi sesuatu yang sangat sulit dan karena itu aku nyaris tak bisa melakukannya.
Saat ini sebenarnya aku sedang mengalami hal yang kedua. Tapi aku sadar, kalau itu tidak kulawan maka aku akan semakin terpuruk dan tidak bisa menghasilkan tulisan. Aku harus memaksa diri, seburuk apa pun hasil tulisanku. Toh sebuah tulisan tidak harus langsung dipublikasikan. Melainkan bisa disimpan dulu, dibaca lagi, disunting lagi, dibaca lagi, disunting lagi, ditertawakan, dihina, dan baru kemudian siap untuk disajikan.
Sebagai orang yang sedang mengalami stagnasi dalam menulis dan menemukan sedikit solusi, kali ini aku ingin membagikan trik mengatasi stagnasi dalam menulis.
Pertama, menulis itu butuh komitmen yang sangat kuat. Yakni bagaimana kita bisa tetap menulis dalam kondisi apa pun; di saat lapang maupun sempit; saat sedih atau bergembira; saat tidak punya duit atau saat tidak punya duit, dan lain semacamnya.
Itulah mengapa kemudian aku menginisiasi pembuatan sebuah grup WA "Dakwah Cinta" yang setiap anggota harus menyetorkan minimal satu tulisan per hari. Termasuk aku sendiri sebagai admin. Bagi anggota grup yang tidak menyetorkan tulisan sampai batas waktu yang ditentukan (pukul 00.00), maka akan segera dikeluarkan dari grup. Aku percaya, mekanisme seperti itu akan memaksa semua anggota grup untuk tetap menulis, walaupun, misalnya, dengan hasil yang kurang maksimal.
Di luar dugaan, hasilnya luar biasa. Anggota grup ternyata begitu antusias untuk menyetorkan tulisan-tulisannya. Ada puisi, cerita, tips, ulasan, dan fiksi mini.
Yang kedua, seorang penulis juga merupakan penyunting untuk naskahnya sendiri. Ungkapan ini terdengar sangat klise dalam teori penulisan, tapi sering dilupakan terutama oleh penulis pemula.
Sederhananya, sebelum kita melemparkan tulisan kepada publik, secara hiperbolik kukatakan, kita butuh membacanya 1.000 kali, menyuntingnya 1.000 kali, dan memikirkannya 1.000 kali. Sebuah tulisan, sebelum akhirnya dipublikasikan harus ditempa dengan keras oleh penulisnya. Sampai benar-benar menjadi ampuh dan berpengaruh. Nah, pada proses inilah kita harus bisa memosisikan diri sebagai sosok pembaca yang objektif.
Bagaimana cara menjadi pembaca yang objektif untuk tulisan sendiri?
Ini sebenarnya pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab. Bahkan banyak penulis mengakui, membaca tulisan sendiri terasa begitu sulit karena ia merupakan hasil kerja kita. Meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer, ia adalah anak kandung rohani kita, sehingga kita pun kemudian memiliki kedekatan emosional dengan tulisan tersebut, dan karenanyalah kita menjadi kurang objektif dalam menilai kualitasnya.