Dulu ketika saya mengikuti acara Kompasiana Nangkring bersama LPS di Yogyakarta dan kemudian ikut menulis kampanye tentang bagaimana merencanakan keuangan untuk masa depan yang lebih baik, saya tak pernah berpikir bahwa apa yang menjadi antisipasi LPS bisa terjadi pada keluarga saya sendiri. Karena saat itu saya berpikir, orang tua saya tidak bakalan bersinggungan dengan urusan menabung di bank seiring dengan usianya yang sudah menua dan selama ini ibu lebih sering menyulap uangnya menjadi emas ketimbang disimpan di bank. Begitu juga dengan saudara-saudara saya di kampung, mereka rata-rata sudah punya akun rekening di bank BRI.
Namun ternyata, asumsi tersebut benar-benar meleset dan memukul dada saya--yang telah belajar literasi keuangan ini--dengan begitu telaknya. Momen mudik lebaran kemarin, yang seharusnya dipenuhi oleh hal-hal yang membahagiakan karena bisa berkumpul dengan sanak saudara dan orang tua, malah terganggu oleh persoalan pelik yang seharusnya sudah saya antisipasi sejak awal; sejak saya mengetahui betapa pentingnya menaruh uang pada bank yang telah menjadi peserta LPS, sehingga uang kita bisa terjamin keamanannya; sejak saya tahu ibu menyimpan uangnya untuk keperluan lebaran di sebuah lembaga keuangan berjenis BMT yang sangat tidak kredibel.
Uang tabungan milik ibu saya yang seharusnya bisa diambil sebelum lebaran kemarin, malah tertahan dengan berbagai alasan. Kantornya pun tutup, manajernya ilang-ilangan, dan secara kebetulan pula sales yang biasa menjadi penghubung antara nasabah dengan pihak sedang dalam masa cuti melahirkan. Kombinasi tersebut tentu semakin memicu kepanikan nasabah, tak terkecuali ibu saya.
Yang lebih menyakitkan lagi, bukan cuma orang tua saya yang menjadi korbannya, tetapi juga kakak saya; orang yang sebenarnya sudah punya akun rekening BRI dan pernah menerima kredit usaha dari bank tersebut. Dibanding punya ibu, tabungan milik kakak saya terbilang lebih banyak. Uang senilai hampir lima belas juta rupiah yang merupakan hasil jeri payahnya berjualan sayuran dan sedianya akan digunakan sebagai uang muka pembelian mobil angkut secara kredit itu, sampai kini belum ada kabarnya. Padahal mobil angkut tersebut rencananya akan digunakan untuk ngampas (berjualan sembako dan sayuran secara eceran dengan mendatangi langsung ke rumah pelanggannya) yang itu merupakan cita-citanya sejak dulu.
***
Kala itu, orang-orang di kampung saya mendadak sering menyebut sebuah nama seorang gadis dari kampung sebelah yang bertindak sebagai seorang salesdoor to doorBMT "S". Ia, selanjutnya kita sebut dengan inisial F, saban sore mendatangi rumah per rumah untuk menarik uang tabungan. Nominal minimalnya tidak banyak, bahkan uang Rp5000 pun akan diterimanya. Itulah yang membuat kebanyakan orang di kampung saya merasa sangat terbantu dan diuntungkan. Mereka tidak perlu antre di bank dan bisa menyetor uang ke rekening senilai itu.
Tak hanya menarik uang di masyarakat, F juga mendatangi sekolah-sekolah mengajak para siswa, melalui koordinasi Sang guru, untuk menabung di BMT-nya. Nominal setorannya tentu tidak banyak, melainkan hanya seribu, dua ribu, hingga tiga ribu rupiah. Namun kemudian ada juga ibu-ibu yang sekalian ikut nabung di tabungan sekolah milik anaknya, sehingga sekali setor bisa mencapai nominal lima sampai sepuluh ribu rupiah.
Singkatnya, F dan BMT-nya menjadi semacam "solusi masalah keuangan" sebagian besar masyarakat di kampung saya. Mau nabung, tinggal panggil saja F. Mau mengirim dan menerima kiriman uang, bisa melalui F. Mau mengajukan kredit modal usaha, F pulalah yang kerap menjadi rujukan utama. Hanya saja sayangnya, tabungan di BMT "S" tidak tercatat dalan buku tabungan. Nasabah hanya diberi kopelan bukti transaksi yang keruan saja hurufnya bisa hilang seiring berjalannya waktu.
Apa yang dilakukan F berikut BMT-nya sebenarnya sangat mulia. Terutama dalam hal mengajak masyarakat untuk gemar menabung sebagai investasi di masa mendatang, baik yang sifatnya berjangka panjang maupun yang berjangka pendek. Sehingga ketika momen-momen yang memerlukan tersedianya banyak uang itu tiba, masyarakat tidak perlu kebingungan lagi. Ada tabungan yang siap diambil dan memang dipersiapkan untuk itu.
Namun agaknya pihak BMT kurang cermat dalam mengelola uang nasabahnya, kurang tertata administrasinya. Mereka seolah kurang begitu paham terhadap kecenderungan masyarakat pedesaan yang sering menarik tabungannya menjelang bulan Ramadhan dan lebaran. Seperti yang terjadi pada momen lebaran dan tahun ajaran baru kemarin, yakni ada penarikan dana nasabah secara serentak dan beruntun. Ditambah kemudian kemarin itu ada isu-isu yang berkembang bahwa BMT tersebut kolaps dan bosnya kabur.
Maka tak ayal, kepanikan lain pun muncul. Nasabah yang awalnya tidak berniat mengambil uang tabungannya, karena mendengar kabar dan isu tersebut, segera menarik tabungannya. Namun kali ini, uang tabungan mereka tidak bisa diambil dengan berbagai alasan dan janji. Situasi semakin memburuk. F terus-menerus didatangi nasabahnya, di sela-sela mengurus bayinya yang masih sangat belia.