Lihat ke Halaman Asli

Darul Azis

Wirausahawan

Pemimpin Muslim sebagai Tanggung Jawab, Pemimpin Non Muslim sebagai Hak

Diperbarui: 9 Desember 2016   14:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemimpin Muslim di Indonesia/Ilustrasi via www.daroelazis.com

Sistem pemerintahan negara Indonesia diselenggarakan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Sehingga memungkinkan semua orang bisa menjadi pemimpin pemerintahan. Asalkan ia bertuhan, WNI, tidak pernah menghianati negara, dan mampu secara jasmani maupun rohani. Setidaknya itulah syarat minimal sebagaimana telah diamanatkan undang-undang.

Bagi umat Islam, sebagai umat mayoritas di Indonesia, jika berkeinginan menjadikan sosok dari kalangan Islam sebagai pemimpin pemerintahan itu wajar dan sah-sah saja. Tapi jika melarang/mencegah/menjegal orang di luar Islam untuk menjadi pemimpin pemerintahan sama sekali bukan tindakan terpuji dan tidak dapat dibenarkan. Karena undang-undang dan hukum di Indonesia tidak memandang calon pemimpin pemerintahan berdasarkan agamanya. Semua warga negara Indonesia, apa pun agama, suku, bahasa, dan daerah asalnya, memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin pemerintahan.

Jadi, dengan sistem yang sekarang ini pemimpin pemerintahan di Indonesia tidak harus seorang muslim. Kecuali kalau dasar hukum negara Indonesia diubah dulu, berlandaskan syariat Islam misalnya. Tapi jika itu dilakukan, sama dengan merombak sistem hukum dan pemerintahan negara baru--untuk tidak disebut menghianati sejarah pembentukan negara Indonesia.

Bagaimana jika umat Islam tetap menghendaki pemimpin muslim?

Umat Islam di Indonesia memang selayaknya menjadi pemimpin. Karena mereka adalah umat mayoritas. Sebagai umat mayoritas, mereka sudah otomatis pemimpin-yang mampu melindungi dan memberikan keadilan bagi umat lain. Dengan kata lain, pada hakikatnya menjadi pemimpin merupakan tanggungjawab umat Islam. Sedangkan bagi umat agama lain itu merupakan hak. Ketika seorang penanggungjawab telah lalai atau tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, maka orang lain berhak menggantikan posisinya. Meskipun dalam beberapa kasus, pengambilan tanggungjawab dan hak bisa dilakukan secara bersamaan. (Tolong ini dipahami dengan jernih)

Jika umat Islam memang menghendaki pemimpin muslim sebenarnya gampang sekali. 'Kan mereka umat mayoritas, sedangkan dalam demokrasi suara terbanyaklah yang akan menang.

Kalau memang calon pemimpin itu dipandang bisa berbuat adil, jujur, dan layak, maka umat Islam pasti akan memilihnya. Bukan hanya umat Islam bahkan, kemungkinan besar umat di luar Islam pun akan turut memilih dan menjadikannya sebagai pemimpin (Ini yang harus diselesaikan terlebih dahulu! Jadi, pertanyaan besar bagi umat Islam di Indonesia, bagaimana calon pemimpin yang diusungnya? Bagus nggak?)

Hanya mungkin kendalanya, sekarang ini rakyat Indonesia memilih pemimpin pemerintahan lebih berdasarkan pada selera, paras, bentuk perut, ketenaran, amplop, ekspose media, akhlak, karakter, rekam jejak, dan kinerjanya. Bukan melulu agamanya.

Namun bagaimana jika yang terpilih kemudian malah pemimpin di non-muslim?

Sebagaimana dikatakan di awal, umat di luar Islam juga punya hak untuk menjadi pemimpin pemerintahan. Oleh karenanya, memiliki pemimpin pemerintahan non muslim sebenarnya tidak masalah-masalah amat. Nggak perlu terlalu takut, paranoid ataupun berprasangka buruklah.

'Kan umat Islam di Indonesia banyak. Kalau nanti pemimpin non muslim itu mau macam-macam terhadap umat Islam (misal : melarang kebebasan beribadah dlsb) 'kan bisa dilawan. Dan itu sah. Itulah keuntungan sistem demokrasi yang sekarang kita pakai. Dengan sistem demokrasi seperti sekarang ini, kita dapat dengan mudah mengontrol dan mengkritik pemimpin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline