Lihat ke Halaman Asli

Darul Azis

Wirausahawan

Mereka yang Tak Lelah Melayani: Distribusikan Energi, Keadilan, dan Kehidupan ke Pelosok Negeri

Diperbarui: 1 Desember 2016   12:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelayan distribusi energi/Foto via indotrucker.com

Pertama kali mengenal istilah energi, saya masih duduk di bangku kelas 4 SD. Berkat bimbingan dan ajaran penuh kasih dari Bu Zahroza, guru kelas kami waktu itu, saya dapat dengan mudah memahami apa itu energi. Yakni tenaga atau daya yang dapat digunakan untuk beraktivitas. Bu Zahroza waktu itu mengilustrasikan dengan contoh yang paling dekat dan sederhana, yakni hubungan makanan dan manusia. Dengan mengonsumsi makanan yang cukup sebagai sumber energi, maka tubuh manusia akan lebih bertenaga sehingga dapat melakukan aktivitas sebagaimana mestinya.

Untuk contoh yang lebih luas dan beragam, kita bisa menyebut uap, air, gas, angin, bensin, minyak tanah, dan solar sebagai sumber energi. Keberadaannya dapat  menggerakkan mesin dan menghasilkan tenaga listrik. Karenanya pula, aktivitas manusia menjadi lebih mudah, cepat, dan ringan. Selama sumber energi tersebut terdistribusi dengan baik dan merata kepada elemen-elemen yang membutuhkan, maka gerak atau tenaga yang dihasilkan pun akan maksimal. Puncaknya, akan ada kehidupan di sana. Sebaliknya, jika sumber energi tidak terdistribusi secara merata, maka sudah pasti akan ada sesuatu yang terhambat atau bahkan terhenti (macet/mati).

Indonesia yang Luas dan Para Pelipat Jarak

Pernahkah Anda ketika dalam perjalanan merasakan jarak yang Anda tempuh itu jauh sekali? Sudah berjam-jam berkendara namun tak kunjung sampai. Apalagi jika kondisi jalannya sangat buruk, makin lamalah waktu tempuhnya dan terasa makin jauhlah jaraknya.

Saya sering merasakan hal itu. Ketika dalam perjalanan pulang dari Jogja ke Lampung misalnya, saya merasa jaraknya jauh sekali. Padahal di saat yang sama saya juga menyaksikan kendaraan lain melaju dengan jarak tempuh yang lebih jauh, ke Medan, Riau, Jambi, Bengkulu, Palembang, atau bahkan Padang.

Tak cuma bus, mobil puso dan mobil tangki pengangkut BBM pun demikian. Jarak seakan bukan lagi menjadi persoalan sebab yang terpenting adalah barang yang dihantar bisa sampai di tempat tujuan dengan baik, tentu tetap dengan berbagai risiko dan kendala selama dalam perjalanan. Demikian aktivitas mereka sehari-hari, melipat jarak dan mengakrabi jalan selayak teman bermain.

Hal tersebutlah yang kemudian membuat saya tercenung dan berpikir, ternyata Indonesia itu luas sekali. Karena itu pula, saya kemudian menaruh rasa kagum dan hormat untuk bapak-bapak sopir antarpulau itu. Mereka sungguh luar biasa. Karena jasa mereka, apa yang kita butuhkan kini mampu kita nikmati. Makanan, pakaian, ataupun bahan bakar. Ia menjadi lebih dekat dan lebih mudah didapat.

Tapi dalam kondisi tertentu, sebenarnya tidak berhenti sampai di situ saja. Di lingkungan terdekat kita, ada sosok manusia yang tak kalah berjasanya. Terutama bagi kita masyarakat pedalaman yang jauh dari kota. Sosok itu adalah para pengecer bahan bakar minyak. Berjerigen-jerigen bahan bakar mereka angkut, biasanya dengan menggunakan motor, dengan segenap risiko dan tantangan yang berbagai rupa. Bisa berupa jalan yang rusak, hawa dingin yang menusuk, tindak kejahatan, dan berbagai hal lain yang sering kali membuat kita bergidik ketika membayangkannya. Namun karena  jasa dan pengorbanan mereka itulah, orang-orang di desa itu tak perlu ke SPBU yang jaraknya sering kali justru terasa berat di ongkos.

Terkait hal ini, saya jadi ingat pada sosok Kang Mat Sholeh. Ia adalah penjual bensin dan solar paling legendaris di kampung kami. Kalau saya tidak salah ingat, ia sudah berjualan sejak saya masih saya belum sunat dan masih bertahan sampai sekarang. Pagi-pagi sekali biasanya ia sudah berangkat ke SPBU Martapura Oku Timur, bersama pedagang bensin eceran lain yang tak kalah jauh dengannya. Perjalanan tak kurang dari 20-35 kilometer dengan beban bahan bakar minyak di jerigen, menjadi sarapannya saban hari.

Belum lagi kalau di tempat kami terjadi kelangkaan BBM, seperti yang pernah terjadi pada tahun 2008 dan 2010 lalu. Ia bersama kawan-kawannya yang lain terpaksa harus menempuh jarak dua kali lipat dari biasanya, yakni ke kecamatan Baradatu Way  Kanan dengan jarak tempuh mencapai 150 km PP, demi melayani para pelanggannya. Sebab nyatanya, waktu itu aktivitas masyarakat sudah didominasi dengan bantuan mesin sehingga kebutuhan akan bahan bakar merupakan kebutuhan primer.

Pertamina dan Peliknya Pola Distribusi Energi di Negara Kita

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline