Lihat ke Halaman Asli

Darul Azis

Wirausahawan

Menjadi Pemilih Cerdas

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilihan Umum legislatif hanya tinggal menghitung hari, rakyat Indonesia akan menemui momentum berharga, yakni penentuan cita-cita dan harapan yang akan diwakili oleh para Calon Legislatif (Caleg) yang menjadi pilihannya di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Pemilu 2014 yang hanya diikuti 12 Partai politik ini semakin mempermudah konstituen untuk menentukan pilihannya pada partai dan calon tertentu secara lebih selektif, sehingga tidak lantas menjadi pemilih asal (yang penting) coblos. Menjadi pemilih cerdas adalah sebuah keharusan dalam menghadapi Pemilu 2014 ini, luka masa lalu yang ditorehkan kader partai di negara kita belumlah kering, baik yang menimpa para anggota legislatif maupun para eksekutif di tingkat daerah, kita cegah munculnya luka-luka baru itu melalui pemilu 2014. Beberapa tahun belakangan ini rakyat Indonesia juga merasa semakin tersakiti dengan bobroknya perilaku pejabat negara yang korup, untuk itu perlulah kita merefleksikan diri sebenarnya apa yang salah dari kita, karena bukan tak mungkin itu semua sebagai akibat dari sikap asal-asalan kita dalam menentukan pilihan 5 tahun yang lalu.

Saat ini 12 partai politik peserta Pemilu tengah berlomba-lomba mendapatkan hati masyarakat. Dengan adanya kompetisi ini,kita dapat melihat bagaimana keseriusan partai politik dalam memperjuangkan aspirasi rakyat Indonesia kelak, karena sampai saat ini masih juag kita temui partai politik yang sangat tidak inovatif dan “norak” dalam memasyarakatkan program-programnya, ditambah lagi dengan perilaku pragmatis membodohi masyarakat, seperti memasang umpan keterpilihan dengan mengobral kader dari kalangan artis, model, dan orang-orang tenar yang sangat diragukan kapabilitasnya di dunia politik. Dengan demikian panggung politik Indonesia hanya menjadi tempat pembelajaran berpolitik bagi para kader berkualitas rendah, dan ini artinya nasib rakyat juga menjadi semacam mainan bagi kader yang buta politik itu. Serendah itukah kualitas perpolitikan di negara kita? Semurah itukah nasib rakyat digadaikan?

Partai politik seharusnya dapat berkaca pada berbagai hasil survey yang banyak dilakukan baik oleh lembaga survey maupun media masa, -meskipun validitasnya juga patut diragukan karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu-, angka elektabilitas partai-partai dengan kader bobrok menurun drastis, ditambah lagi dengan semakin tingginya angka golput dalam pemilihan kepala daerah beberapa tahun ini. Pembelajaran itulah yang akan digunakan dalam meningkatkan kualitas kadernya, sehingga menjadi partai politik yang berwibawa dan terbukti layak dipilih, dengan demikian rakyat pun akan berpikir dua kali jika hendak melakukan golput.

Sebagai calon pemilih, kita dapat dengan mudah menilai betapa kualitas partai politik dan segenap caleg yang akan duduk di kursi parlemen. Partai politik maupun caleg yang hanya mengandalkan blusukan menjelang pemilu dengan membagi-bagikan atribut kampanye sebelum waktu ditetapkannya berkampanye, bahkan sampai dengan membagi-bagikan amplop tentu saja tak layak pilih. Selain itu kita juga harus mewaspadai partai politik yang hanya mengandalkan popularitas tanpa kualitas, menyebar spanduk dimana-mana dengan biaya yang sangat tinggi. Hendaknya yang demikian itu kita buang jauh-jauh dari ingatan partai pilihan kita di TPS. Untuk menjadi pemilih cerdas, hendaknya meneliti betul track record para calon legislatif 5-10 tahun kebelakang, bukan hanya 1-2 tahun. Sikap inilah yang akan membunuh partai politik yang asal-asalan dalam menempatkan kadernya sebagai calon legislatif. Berbenah diri atau mati menjadi pilihan yang tak dapat dihindari oleh partai politik demi meningkatnya kualitas demokrasi.

Selain itu, kita juga dapat menganalisa betapa program partai politik maupun caleg itu memihak pada rakyat atau tidak. Penulis merasa geli tatkala mendengar program basi seperti sekolah gratis, kesehatan gratis, dan janji memberikan danasebesar 1 milyar bagi desa-desa. Padahal sejatinya penangguhan biaya pendidikan dan kesehatan oleh pemerintah memang telah termuat dalam UUD 1945 dan pemberian dana pembangunan desa juga telah termuat dalam Undang-Undang Desa, yakni 10 % dari total dana transfer pemerintah pusat ke daerah yang kalau dikalkulasikan hampir sekitar 1 milyar per desa. Cukuplah sampai tahun 2014saja rakyat Indonesia dicekoki dengan program-program “tangan menengadah”, selanjutnya kita mendukung program-program pemberdayaan masyarakat yang nyata berbasis potensi.

Menjadi pemilih cerdas adalah obat satu-satunya obat mujarab pencegah munculnya penyakit yang akan melumpuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan menjadi pemilih cerdaslah kita juga memberikan pelajaran bagi partai dan kader untuk berpolitik dengan sebenar-benarnya. Sama sekali belum terlambat bagi rakyat Indonesia untuk meningkatkan kualitas demokrasi, nasib diri dan nasib bangsa melalui pemilu 2014. Selamat berdemokrasi.

*Penulis adalah Mahasiswa Administrasi Negara di STIA “AAN” Yogyakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline