Lihat ke Halaman Asli

Boleh Saling Senggol, Asal Jangan Saling Sikut

Diperbarui: 11 Januari 2017   20:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kata orang pilkada DKI ini adalah pilkada rasa pilpres. Entah bagaimana banyak orang bisa menggambarkan keadaanya seperti itu. Tetapi dari kacamata saya sendiri memang ada kewajaran dengan pandangan tersebut karena disadari bahwa persaingan di dalam pilkada DKI ini begitu riuhnya sampai terdengar gaungnya ke pelosok – pelosok Indonesia Raya Tercinta.

Saya pikir ini adalah yang bagus karena menunjukan bahwa paling tidak sudah semakin tumbuh kepedulian berpolitik dari masyarakat untuk menentukan nasib mereka dengan memilih pemimpin yang menurut mereka paling baik. Ketika kita kembali lagi ke belakang yaitu ke pilkada – pilkada sebelumnya yang banyak kita jumpai adalah bagaimana kebanyak dari kita masih berpikir bahwa “percuma gue mantengin tuh pilkada, ngga ada efeknya juga buat gue.” Sehingga dari situ saya sendiri cukup mengapresiasi tumbuhnya kesadaran masyarakat terutama di DKI. That’s great comrade!!

Tetapi layaknya sebuah uang koin yang memiliki 2 sisi, di sisi pertama it’s ok memang baik. Tetapi disini juga ada sisi ke 2 dari koin tersebut yaitu sisi negatif (masih kemungkinan).

Memang hukum sebuah kompetisi yang ketat akan menjadikan masing – masing dari peserta yang ada di dalamnya berjuang mengerahkan segala sumber dayanya untuk mencapai kemenangan. Bahkan akan memungkinkan memakai segala cara untuk menang meskipun dipandang dari sudut pandang etika jelas itu bukanlah cara yang etis. Sebagai pengalaman lihat saja di dunia otomotif bagaimana VW dan juga Mitsubishi mengakali hasil emisi kendaraan produksinya demi bisa bersaing dengan pasar (mungkin seara harga), kemudian yang saat ini sedang panas adalah Honda yang memang dilaporkan ke pihak yang berwajib karena ada kecurigaan melakukan kartel. Ya itulah bisnis, mereka berkompetisi untuk mencari uang sebanyak – banyaknya, nurani untuk membangun itu lebih kecil daripada uang itu sendiri. Pada intinya saya ingin menjelaskan bahwa ternyata di dalam sebuah kompetisi yang ketat akan memungkinkan pesertanya menggunakan cara yang tidak baik untuk bisa menang.

Pun juga sama dengan kondisi kompetisi pilkada DKI saat ini. Saya pribadi melihat ada indikasi mengarah kepada cara – cara yang tidak baik untuk bisa menang, terutama disini muncul dari para pendukung – pendukung loyal masing – masing calon. Ada yang bilang jangan pilih nomor 1 karena calonya belum ada pengalaman sama sekali, gimana mau menata Jakarta yang udah kompleks masalahnya?? Kemudian ada yang bilang jangan pilih nomor 2 karena “cocotnya” itu lho ngga disekolahin, masa iya rakyat diomeli terus?? Kemudian juga ada yang bilang jangan pilih nomor 3 karna rakus banget tuh udah lengser jadi menteri tinggal nyalon gubernurr, kurang amat ama jabatan??

Itulah sepenggal realita yang saya ketahui. Menunjukan bahwa dengan indikasi seperti ini ketika diterus teruskan maka akan tercipta iklim kompetisi yang tidak baik. Ini bukan bukan ranah bisnis yang cenderung jauh dari aspek – aspek etika, ini adalah penentuan siapa yang layak menjadi pengabdi bagi masyarakat DKI.

Boleh lah saling senggol dengan menunjukan perbandingan program antar calon. Tetapi kalau sudah menyikut yaitu mendiskreditkan calon lain saya merasa bahwa itu ngga bener. Sekian!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline