Lihat ke Halaman Asli

Dartim Ibnu Rushd

Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta

Palestina dan Filanterapi

Diperbarui: 25 Mei 2024   13:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejarah filantropi di dunia bermula dari filantropi tradisional atau gerakan welas asih yang bersumber dari ajaran agama. Terutama dari tradisi agama Hindu, Budha, Kristen dan Islam. Dalam konteks keagamaan di Indonesia sendiri, gerakan-gerakan filantropi sangat terkait dengan kegiatan keagamaan seperti misionaris Kristen ataupun dakwah Islam.

Gerakan filantropi muncul atas dasar kepedulian dan rasa belas kasih terhadap masalah-masalah kemanusiaan yang acap kali terjadi di masyarakat baik lokal maupun global. Terutama yang terjadi pada kalangan masyarakat termarginalkan, tertindas, miskin dan terbelakang.

Filantropi merupakan gerakan kedermawanan sosial yang dimaksudkan untuk menjembatani jurang antara kelompok kaya dengan kelompok miskin, atau kelompok lemah dengan kelompok penguasa. Dimensi filantropi sangat luas dan mencakup berbagai bidang. Seperti bidang pendidikan, sosial, kesehatan, ekonomi, hukum atau bahkan politik sekalipun.

Filantropi sendiri secara bahasa berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yakni “philien” dan “antrophos”. Kedua kata ini masing-masing bermakna “cinta” dan “manusia”. Maka secara istilah ini makna filantropi adalah sebuah gerakan cinta kepada nilai-nilai kemanusiaan (loving to humanity).

Sedikit berbeda dengan “filanterapi” sebagai sebuah wacana baru seperti yang akan kita bahas. Gerakan ini membutuhkan kedewasaan sikap dan pengelolaan aspek managerial yang baik dalam setiap praktiknya. Mulai dalam hal menghimpun bantuan atau donasi, sekaligus bagaimana efektifitas penyalurannya. Hingga dapat tertuju pada sasaran yang benar-benar tepat.

Contohnya berempati dan berdonasi yang ditunjukan pada korban bencana kemanusiaan yang melanda masyarakat Palestina. Khususnya, krisis kemanusiaan atas serangan yang tengah terjadi di wilayah Gaza yang semakin meprihatinkan. Di dalamnya sangat dibutuhkan solidaritas tinggi dan strategi terukur untuk membantu mereka. Apalagi hingga kini kondisi para korban yang kian memprihatinkan.

Seperti mengutip berita pada beberapa media masa menyebutkan, bahwa terbaru serangan Israel ke Gaza telah menewaskan hampir 35.000 warga Palestina dan melukai hampir 80.000 orang yang sebagian besar dari mereka adalah warga sipil. Serangan didalihkan oleh Israel bahwa Gaza dijadikan tempat camp persembunyian militan Hamas.

Bahkan serangan terbaru, pasukan Israel membombardir daerah-daerah di wilayah Rafah bagian timur Palestina pada Kamis (9/5/2024) setelah perundingan gencatan senjata gagal menemui kesepakatan. Serangan terjadi, usai Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengabaikan ancaman Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden yang akan menghentikan bantuan senjata.

Keprihatinan semakin mendalam menyelimuti seluruh warga dunia atas kontestasi pelanggaran HAM yang terus berkelanjutan dilakukan oleh Israel. Maka gerakan filantropi dari warga dunia inilah yang diharapkan dapat menjadi solusi di tengah-tengah krisis kemanusiaan itu.

Gerakan ini dapat dijadikan sebagai alat atau instrumen sosial untuk menterapi atau memulihkan kembali organ-organ kemasyarakatan menuju perbaikan dan harmonisasi atas beragam masalah sosial dan kemanusiaan. Narasi ini yang nanti akan kita sebut sebagai “Filanterapi”.

James O. Midgley, seorang Profesor dari Departemen Kesejahteraan Sosial University of California Amerika, menyebutkan bahwa filantropi merupakan satu dari tiga pendekatan sosiologis untuk menggaungkan kesejahteraan hidup masyarakat. Termasuk juga sebagai upaya dalam mengentaskan kemiskinan, dan perbaikan hubungan sosial kemanusiaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline