Darah Pejuang
H
ujan lebat disertai angin kencang dan petir yang turun sejak tengah hari mereda selepas maghrib. Sesekali angin masih bertiup, menghempas gerimis dan pohon-pohon, menebarkan hawa dingin yang menerobos masuk celah dinding bambu rumah-rumah orang Dukuhsawah. Suara guntur terdengar makin jauh di ketinggian langit. Lampu-lampu di rumah penduduk telah dipadamkan. Gelap dan sepi. Dukuhsawah kedinginan, lumat seperti rendaman gaplek. Tidak ada yang dikerjakan oleh penduduk kampung terpencil di tengah udara dingin seperti itu. Mereka seolah bersepakat untuk mancal kemul, tidur hangat berselimut sarung atau jarik kusam. Suami-suami tidur di lincak bale-bale. Anak-anak mencari kehangatan di bawah ketiak emaknya. Sesore itu Dukuhsawah berangkat pulas di bawah bunyi gerimis yang jatuh berirama di atap genting rumah mereka.
Di rumah Sukra masih terlihat cahaya dari lampu ceplik yang di taruh di lantai tanah. Nyalanya kecil, lagi pula berkebat-kebit dimainkan angin, membuat bayangan seperti hantu dari kain-kain kotor yang bergelantungan pada tali isisan. Di berbagai tempat, lantai tanah basah oleh cucuran air hujan dari genting yang bocor. Dingin, pengap, dan bau apak. Setelah makan malam dengan nasi yang ditanaknya sendiri, Sukra hanya tiduran di bale-bale sambil berdendang. Tidak jelas irama apa yang ia dendangkan. Kadang hanya suara dengungan seperti dengung nyamuk. Nampaknya Sukra tidak sedang berdendang riang, tapi merintih gamang.
Sukra memang tidak bersiul. Selain karena kegundahan hatinya, sejak kecil emak selalu melarangnya bersiul di malam hari. Kata emaknya, hanya pencuri dan garong yang bersiul di malam hari. Ia hanya terbiasa dengan larangan itu. Ia sendiri tidak yakin apakah gerombolan bersenjata yang tentunya tidak mau disamakan dengan garong itu juga menggunakan isyarat siulan untuk berkomunikasi. Isyarat mereka pasti lebih tersamar. Mereka lebih cerdik dari pada pencuri ternak. Mereka datang dengan tiba-tiba. Suara langkah kaki mereka pun tak terdengar, langsung mengepung rapat rumah korban. Bergerak cepat dan mengambil apa saja; beras, gaplek, jagung, ayam, bahkan cucian baju yang masih basah dibawanya pula. Mereka bergerak seperti lelembut, seperti makhluk halus, cepat dan tanpa suara.
Suara adzan kembali terdengar dari surau Mbah Muji. Sukra mengangkat kepala, menajamkan pendengarannya. Adzan isya tentunya. Alangkah cepatnya waktu berlalu. Mulanya Sukra hanya mendengar, tapi kemudian juga menyimak suara adzan itu, memaknai setiap kalimatnya sambil menirukan dengan suara rendah. Sampai suara azan berakhir Sukra masih berkomat-kamit membaca takbir berulang kali.
“Allahuakbar…Allahuakbar…Allahuakbar…!”
Entah berapa ratus kali Sukra mengucapkan kalimat pujian pada Sang Khalik sampai tenggorokannya kering dan suaranya tinggal menjadi bisikan menyerupai rintihan.
Serbuan nyamuk mulai mengganggunya, diambilnya pondel kering kemudian dibakarnya. Sukra duduk bersandar pada dinding papan. Hanya duduk begitu sambil memandangi asap pondel yang mulai mengepul-ngepul mengisi ruangan. Keluarga nyamuk yang tinggal di rumah Sukra terusik, terbang pontang-panting sambil mengumpat sehabisnya, tidak tahan berada di ruangan penuh asap pondel berbau sengak. Sukra terlena memandangi asap, tapi mulutnya masih berkomat-kamit mengucapkan takbir,
“Allahuakbar…, Allahuakbar,…Allahuakbar…”
Wajah Sukra tiba-tiba berubah gelisah. Beberapa kali ia menarik nafas berat dengan mata terpejam. Ia benci dengan kegelisahan seperti itu. Tetapi, semakin ia membencinya semakin bertambahlah kegelisahan itu, kegelisahan yang selalu muncul ketika ia mencoba mengingat sebuah peristiwa beberapa waktu lalu. Mulanya ia hanya mengingat kapan persisnya ia berhenti salat. Tetapi, ah…! Sebaiknya Sukra memang tidak perlu mengingat apa pun agar ingatan itu tidak merembet ke ingatan-ingatan lain yang dapat membuat tubuhnya menggigil, otot-ototnya mengejang, kemudian tidak sadarkan diri, seperti yang beberapa kali ia alami.
Malam itu ia hanya ingin kembali salat dan tidak mempedulikan apakah dirinya gila atau waras. Ia hanya bermaksud memenuhi keinginannya seperti ia merasa haus kemudian mengambil segelas air dan meneguknya habis. Apa susahnya?
Sukra rindu susana ketika segenap jiwanya bersujud di hadapan Sang Pemberi Hidup, yang mencipta segala sesuatu, Sang Penyebab sekian milyar peristiwa di mana setiap peristiwanya saling kait mengkait menjadi sebab sekaligus akibat. Sebab akibat yang menjadi skenerio takdir kehidupan manusia.
Ya, Allah. Hanya Engkaulah yang Maha Tahu setiap hal dari diriki, setiap hal dari jiwa dan ragaku. Hanya Engkaulah yang tahu berapa lembar jumlah rambutku karena Engkau yang merawatku sejak aku masih sebagai segumpal darah. Engkau lakukan semuanya atas kehendakMu sendiri. Ya, atas kehendakmMu sendiri yang kadang-kadang tidak bisa aku mengerti. Mengapa Engkau panjangkan kuku jari-jariku sementara emak selalu menyuruhku memotongnya demi kebersihan dan keimanan? Itulah rahasiaMu yang hanya aku bisa rasakan getarannya saat bersujud di hadapanMu.
Keinginan untuk salat makin mendesak dinding hatinya. Dipan bambu berderit ketika ia beranjak dan berjalan menuju bilik emaknya. Perlahan dan berhati-hati diambilnya tikar pandan di pojok kamar di atas kepala emaknya. Ia tidak ingin membangunkan emak kemudian mengetahui dirinya sedang salat. Sambil mendekap gulungan tikar Sukra masih berdiri memandangi wajah emaknya. Emaknya yang nyaris buta selalu menggunakan tikar salat itu secara penuh lima kali sehari. Sukra berlama-lama memandangi emaknya yang pulas tertidur. Nyaman sekali emak tidur. Tubuh kurusnya meringkuk di atas kasur tipis tanpa alas. Tiga buah bantal ditumpuk untuk menopang kepala dan dadanya supaya sesak nafasnya sedikit berkurang. Suara batuknya juga tidak lagi terdengar. Nafasnya teratur dan menentramkan. Mungkin hanya jika sedang tidur emak tidak memikirkan anak bujangnya. Sukra menarik nafas dalam-dalam.
Setelah mengambil air wudlu dengan menerobos gerimis, Sukra kembali ke bale-bale tempat tikar dibentangkan. Baju dan kain sarungnya dirapihkan kemudian ia berdiri di atas ujung tikar menghadap kiblat. Tetapi, ia hanya lama berdiri dan kedua tangannya tak kunjung terangkat untuk takbiratul ikhram. Wajah Sukra mulai terlihat gelisah. Mungkin ia sedang berusaha keras mengingat bacaan salat.
“Bacalah niat salat isya empat rekaat, fardhu karena Allah,” tiba-tiba terdengar suara lembut yang datang dari emperan rumahnya.
Sukra menoleh asal suara. Jika saja Sukra tidak segera mengenali pemilik suara itu, ia pasti akan meneriakinya maling, atau memukul kentongan agar tetangganya berdatangan. Seharusnya Sukra tersinggung karena gerak-geriknya diperhatikan dengan cara mengintip. Tetapi, Sukra tahu itu suara Mbah Muji. Kepadanya, Sukra tidak bisa marah atapun tersinggung. Bagi Sukra, Mbah Muji tidak sekedar sesepuh kampung, tapi juga seorang yang secara kejiwaan menggantikan posisi ayah. Ia selalu menemani hatinya, mengawal perasaannya sejak ia masih anak-anak sebagai santrinya. Mbah Mujilah yang suka bercerita tentang ayah yang tidak pernah ia lihat rupa wajahnya.
Pintu terbuka dengan suara berderit. Mbah Muji masuk dan berdiri di belakang Sukra. Orang tua itu menggigil kedinginan. Ikat kepalanya yang hitam kusam basah karena tampias gerimis.
“Niat adalah rukun salat yang tidak bisa ditinggalkan,” katanya dengan suara bergetar. ”Hukumnya wajib. Jika kamu lupa bacaan salat, aku akan menuntunmu.”
“Aku tidak lupa, Mbah,” sahut Sukra tanpa menoleh.
“Tentu kamu tidak lupa. Kamu hanya kesulitan menajamkan niat salatmu, bukan? Tenangkan pikiranmu, kemudian bacalah niat salat dengan segenap hati danpikiranmu.”
“Tidak bisa, Mbah. Pikiranku kacau.”
“Jika begitu, bacalah dengan mulutmu. Hati dan pikiran niscaya akan menerima segala ucapan baik dari mulutmu.”
Sukra masih diam. Tubuhnya saja yang terlihat bergerak-gerak gelisah.
“Ayo, Sukra ikuti ucapanku.”
“Tidak, Mbah. Aku tidak bisa. Beri aku waktu, Mbah…” Sukra berkata tergagap.
Tangan Mbah Muji memegang pundak Sukra, “Kamu berkeringat, Sukra.”
“Kepalaku sakit,” Sukra mengeluh.
“Kalau begitu, kamu istirahat dulu saja.”
Mbah Muji meraih tangan Sukra dan menuntunnya menuju dipan. Dengan penuh perhatian orang tua itu memijit-mijit pelipis, leher dan punggung Sukra.
“Kamu masuk angin, Sukra” kata orang tua itu penuh perhatian.
Sukra hanya diam. Pijitan tangan Mbah Muji di pelipis dan punggung membuat anak bujang itu makin tenang.
“Tadi siang emakmu datang ke rumah. Ia memintaku datang ke sini…”
“Untuk memintaku berhenti berpura-pura gila, bukan?” Sukra memotong.
“Untuk mengajak kamu berbicara,” sahut Mbah Muji. “Emakmu benar. Kamu memerlukan teman bicara dan berbagi rasa.”
“Aku juga tidak senang disebut wong gemblung, Mbah”
“Karena kamu memang tidak gila. Jika kamu gila, kamu tentu tidak ingin salat.”
“Tapi Mbah tahu sendiri aku gagal menguatkan niat salatku. Bukankah itu berarti aku memang gemblung?”
“Keingananmu untuk salat itulah niat salat. Kamu tinggal melaksanakannya. Kamu tidak gila Sukra. Jika kamu gila, kamu tidak membantu emakmu mencarikan kayu bakar atau menanakan nasi untuknya. Emakmu hanya bingung mengapa akhir-akhir ini kamu menolak pergi ke ladang di seberang sungai. Perilakumu juga aneh akhir-akhir ini sehinga membuat banyak orang berpikir kamu gila. Itulah yang membuat emakmu sedih. Apakah kamu kecewa karena harus berhenti sekolah?”
Sukra tak bergeming.
“Aku dengar meskipun Kartawi hilang diculik gerombolan, tetapi istrinya masih ingin agar kamu menyelesaikan sekolahmu di SGB. Mungkin, ia pikir itu adalah amanat suaminya yang tidak sempat diucapkan. Mengapa kamu menolaknya?”
Sukra balik menatap Mbah Muji. Orang tua itu melihat tatapan ganjil dari mata Sukra. Tatapan mata yang tidak sekedar duka, pasti juga kekecawaan. Kecewa karena harus berhenti sekolah. Lebih dari itu, kecewa karena orang yang dengan tulus hendak menanggung masa depannya harus dimusnahkan oleh sebab yang tidak jelas. Sepasang mata itu menjadi sembab. Dada Sukra tersengal karena kesulitan berkata-kata.
”Mestinya kau tetap tinggal di sana. Di saat seperti ini, keluarga Kartawi pasti membutuhkan tenagamu,” kata Mbah Muji lirih.
Sukra tetap tidak bereaksi.
”Jika persoalannya adalah beaya dan kamu tidak ingin membebani Bu Kartawi, kamu toh bisa berembug dengan kakak-kakakmu. Aku dengar beaya sekolahmu di tanggung negara, kau hanya perlu uang untuk beaya hidup di kota. Aku yakin, kakak-kakakmu bisa membantumu.”
“Kepalaku sakit.…” Sukra memegang kepala dan menyandarkannya di bibir meja dengan mengeluh.
“Baiklah…baiklah. Kamu memang perlu istirahat. Jika kamu memerlukan seorang teman, tidur saja di surau. Aku akan menemanimu.”
Sukra tidak menjawab tetapi ketika Mbah Muji berpamitan ia buru-buru mengencangkan lilitan kain sarungnya dan mengikuti langkah orang tua itu. Malam itu Sukra tidur di surau Mbah Muji.
* * ** * *
Salat subuh berjemaah diikuti juga oleh Surti yang adalah cucu Mbah Muji, istri Mbah Muji dan beberapa orang sekitar surau. Usai salat Mbah Muji menahan Sukra untuk tidak terburu-buru pulang.
“Dudu-duduklah di sini dulu,” kata Mbah Muji sambil memberi isyarat dengan mimik wajah kepada jemaah yang lain agar bersikap wajar melihat Sukra berada di surau. Mereka paham dan segera meninggalkan surau dengan wajar.
Mbah Muji duduk di tikar sambil mengeluarkan slepi yang padat berisi tembakau beserta klobotnya. Klaras atau klobot itu buatan Mbah Muji sendiri. Terlihat halus dan tipis karena setiap lembarnya diraut berulang-ulang dengan punggung pisau. Rempah dalam gulungan tembakau adalah bunga cengkeh atau cuma daunnya yang dipungut di bawah pohon-pohon cengkeh yang banyak ditanam di pekarangan. Seperti lazimnya orang Dukuhsawah, Mbah Muji rela menunda sarapan paginya, tapi tidak untuk rokok klobotnya.
“Tunggu Surti menyiapkan sarapan pagi. Aku minta dibuatkan oseng-oseng daun pakis,” sambungnya.
Sukra menerima tawaran Mbah Muji. Ia merindukan tempat ini. Berada di surau Mbah Muji selalu mengingatkan masa kecilnya. Sepanjang ingatanya, tempat itu tidak pernah berubah. Dindingnya dibuat dari bilah-bilah bambu pilihan yang ditebang dengan perhitungan musim yang tepat sehingga sedikit kadar airnya. Bambunya jadi awet, bisa bertahan sampai puluhan tahun. Tiang-tiang dan usuknya tentu saja dari kayu jati pilihan yang sampai Sukra punya cucu pun belum akan rusak. Dua atau tiga tahun sekali atap ilalangnya memang harus diganti, atau hanya ditumpuk di atas atap lamanya. Tetapi itu tidak akan merusak kenangan Sukra.
Ya, di tempat ini, di rumah Allah, yang tetap sejuk di saat hari terik dan hangat di malam hari yang dingin, ia dahulu sering bersembunyi dari ketakutan suara peluru. Ketika beranjak besar ia semakin yakin hanya di tempat inilah ia dapat menghindar dari rasa takut terhadap apa pun. Hanya akhir-akhir ini, rasa takut itu menjadikan dirinya gemblung atua gila sehingga lupa akan sebuah tempat perlindungan paling aman.
“Oseng-oseng daun pakis adalah kesukaan bapakmu. Bumbunya ikan teri dan petai. Kau pasti juga suka, bukan?” Mbah Muji berkata, memutus lamunan Sukra.
“Bapakmu seorang pejuang, Sukra,” kata Mbah Muji lagi.
Sukra tersenyum samar. Apa hebatnya menjadi seorang anak pejuang selain malah terlantar? Seorang pejuang adalah seorang yang memanggul bedil, menyusuri malam di hutan perbukitan bahkan sampai jauh ke daerah rawa-rawa di selatan, dikejar polisi Belanda seperti pencuri ternak. Karena memanggul bedil, maka ia pun siap dibedil. Ayah Sukra memang dibedil Belanda di lereng perbukitan Jojok Telu. Nampaknya bukan cerita kepahlawanan bapaknya yang membuat Sukra senang bertemu Mbah Muji, tapi cukup sekedar keyakinan bahwa ia memang memiliki ayah kandung. Bukan anak haram dari seorang perempuan tak bersuami.
“Tidak semua orang mempunyai keberanian untuk maju ke medan perang,” kembali terdengar suara mbah Muji.
Kembali Sukra menjawabnya hanya dengan senyum samar. Ia menarik tubuhnya agar dapat bersandar pada tiang sekaligus sedikit menyembunyikan wajahnya dari cahaya lampu gantung di atas kepala Mbah Muji. Ia tidak yakin akan dapat mengikuti pembicaraan Mbah Muji dengan baik. Dan ia tidak ingin Mbah Muji tahu hal itu melalui mimik wajahnya.
“Bapakmu meninggal di pangkuan Pak Gatot di sebuah gubuk di lereng perbukitan Jojok Telu,” kata Mbah Muji lagi seperti tidak peduli ketidakacuhan Sukra.
Sukra menarik ujung bibirnya. Cerita tentang ayahnya yang mati ditembak Belanda dan menghembuskan nafas terakhir di pangkuan seorang tokoh gerliya telah berulangkali ia dengar. Sukra lebih memilih memperhatikan tangan trampil Mbah Muji saat menggulung tembakau dengan klaras.
“Bapakmu tidak meninggal sia-sia,” berkata Mbah Muji di sela hisapan rokoknya.
“Karena bapak meninggal di pangkuan Pak Gatot, bukan?” kata Sukra.
Sukra tidak bisa menolak cerita membanggakan seperti itu. Setidaknya untuk kesopanan. Bagaimanapun cerita tentang ayahnya di medan perang adalah cerita tentang pengorbanan Mbah Muji sebagai tokoh pejuang yang membangkitkan semangat pemuda-pemuda Dukuhsawah untuk melawan Belanda saat itu. Beliau sempat merasakan dinginnnya kamar di balik terali besi penjara Sukamiskin setelah peristiwa penyerangan di pos penjagaan perkebunan Presil.
“Ya. Kau tentu tahu siapa Pak Gatot, bukan?”
“Seorang pejuang. Gerliyawan sejati,” jawab Sukra.
Terbayang oleh Sukra kebanggaan wajah orang-orang Dukuhsawah saat mereka bertutur tentang Sang Kolonel si penunggang kuda pernah tinggal di kampung mereka. Adalah sebuah kebanggaan bagi orang-orang Dukuhsawah bahwa kampungnya pernah menjadi bagian penting markas pertahanan Pak Gatot.
“Bapakmu seorang pejuang, Sukra. Kau harus miliki kebanggaan itu.”
“Mungkin aku merasa bangga, Mbah. Tapi apa arti kebanggaan itu bagiku jika bapakku tidak sadar apa yang telah dilaukannya? Bukankah ketika bapak ditembak Belanda kemerdekaan baru sekedar pekikan penyemangat yang dikumandangkan dari jauh di Jakarta sana?”
Mbah Muji tersenyum, senyum penyangkalan, seperti jeda disengaja agar alur cerita menjadi menarik.
“Kau salah, Sukra,” orang tua itu menatap tajam wajah Sukra. ”Sebelum meninggal, bapakmu pasti tahu negeri ini akan benar-benar merdeka tetapi dengan satu syarat. Syaratnya sederhana dan mudah dimengerti.”
Mbah Muji menghentikan kalimatnya sambil memandangi Sukra. Maksudnya sedang memancing keinginan tahunnya, tapi Sukra hanya diam.
“Syaratnya, rakyatnya harus punya keinginan merdeka juga. Dan bapakmu telah mengikrarkan diri untuk merdeka dengan memenuhi persyaratan itu. Ingat Sukra! Selagi banyak orang belum yakin negeri ini akan benar-benar merdeka, bapakmu telah mendapatkan kemerdekaan itu. Nah, siapa bilang ayahmu tidak sadar apa yang telah dilakukannya?”
“Jadi, untuk merdeka syaratnya harus mati? Harus berikrar untuk mati?”
“Ikrar untuk merdeka. Kau dengar Sukra? Ikrar untuk merdeka…!” suara Mbah Muji tegas dengan otot-otot wajahnya yang menegang. Sukra tertunduk. Ia tidak menduga ucapannya mendapat reaksi emosional seperti itu.
Sebenarnya Mbah Muji juga sedang bermain-main dengan perasaannya sendiri. Kemarahan yang tidak jelas ditujukan pada siapa pun segera mereda. Ia kembali tersenyum dan berkata,
“Kematian adalah takdir, ketentuan Allah semata. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesalahan seseorang dalam memilih jalan hidup. Memilih maju perang atau memilih menjadi jongos Belanda sama sama berhak atas kematian. Bahkan, jika kamu memilih menghabiskan waktumu di tempat tidur, kau akan tetap mati. Bukankah begitu, Sukra?”
Sukra tidak menjawab. Kalimat seperti itu sudah sering ia dengar. Jadi ia merasa tidak perlu menanggapi apa lagi mendebatnya.
“Apakah kau masih juga berpikir bahwa ayahmu telah menelantarkan hidupmu?,” kata Mbah Muji.
Sukra masih diam. Pertanyaan itu juga tidak perlu dijawab. Ruangan itu jadi hening. Mbah Muji ringan saja melihat kebungkaman Sukra. Ia tenggelam dalam nikmat asap rokok klobot yang tinggal menyisakan pangkalnya. Kata pecandu tembakau, kenikmatan sesungguhnya dari sebatang rokok adalah pada pangkalnya. Sementara kata Pak Mantri Kesehatan, pada bagian pangkal rokok itulah terkumpul 1000 jenis racun yang semuanya berfungsi sebagai perusak handal organ tubuh manusia. Sayangnya, tidak pernah ada mantri kesehatan yang datang ke Dukuhsawah untuk menjelaskan hal seprti itu.
Ruangan surau itu kembali hening. Mbah Muji melempar puntung langsung ke halaman surau.
“Seperti juga bapakmu, Kartawi juga meninggal karena keteguhan sikapnya untuk merdeka. Kartawi orang yang sederhana. Setelah Belanda hengkang dan mengakui kedaulatan RI, ia memilih menjadi warga biasa, menjadi pedagang. Menurutku itu pilihan yang bijakasana. Kamu jangan meragukan rasa hormatku pada Kartawi hanya karena aku orang tua Sobari. Ketahuilah, Sukra! Ayahmu, Kartawi dan Sobari dahulu adalah pemuda-pemuda terpilih yang mempunyai cita-cita besar. Mereka menyediakan nyawa untuk menghadang peluru Belanda. Aku kira ayahmu adalah yang paling beruntung dari ketiganya. Ia telah menikmati kemerdekaan itu. Sementara Sobari dihadapkan pada keadaan jaman yang memaksanya untuk membuat pilihan yang tidak ia pahami dengan baik. Terus terang, Sukra. Aku menyesali pilihan Sobari. Apa boleh dikata. Itulah yang ia sebut sebagai perjuangan yang dipilihnya. Sayang sekali, ia tidak pernah mendengarkanku”
”Sementara Kartawai....,” Mbah Muji tidak mampu meneruskan kalimatnya. Ia tertunduk lesu. Orang tua itu tidak mampu membendung air matanya. Sementara dada Sukra turut berdegup kencang saat melihat ketegangan di wajah Mbah Muji.
”Kartawi juga sudah aku anggap sebagai anakku sendiri, Sukra. Sulit aku membayangkan bahwa di antara para penculik Kartawi adalah Sobari, anaku sendiri.”
”Tidak, Mbah!” Sukra berkata dengan lantang.
Mbah Muji mengangkat wajahnya menatap Sukra dengan saksama. Melihat tatapan Mbah Muji wajah Sukra memucat. Tubuhnya menggigil. Kemudian ia berkata dengan suara gemetar,
”Paman Sobari tidak bersalah...”
”Di jaman kisruh seperti ini, setiap orang boleh mengaku tindakan dirinya atau kelompoknyalah yang paling benar. Itu memang sumber kekisruhannya. Tapi aku bicara soal Sobari, anakku sendiri. Kekuatan sejahat apakah yang mampu menggerakan tangannya untuk menculik temannya sendiri,” suara Mbah Muji lirih dan bergetar.
”Paman Sobari tidak menculik Pak Kartawi,” kata Sukra lebih tegas lagi.
”Apa maksudmu, Sukra? Aku tahu Sobari berada di Dukuhsawah pada malam hilangnya Kartawi”
”Paman Sobari tidak menculik Pak Kartawi. Itu maksudku, Mbah. Aku saksinya. Aku bahkan tahu dimana Pak Kartawi dikuburkan.” suara Sukra tiba-tiba menjadi parau.
”Aku tidak paham apa yang kamu maksudkan, Sukra. Tahu apa kau soal penculikan itu, he? Bukankah ketika peristiwa penculikan itu terjadi kamu berada di kota tempat kau bersekolah? Apakah kamu...,” suara Mbah Muji terbata. ”Apakah kau telah juga dipengaruhi Sobari?” Mbah Muji menatap tajam mata Sukra.
”Tidak, Mbah. Aku bukan anggota grombolan. Mbah Muji tidak bisa menyangkaku seperti itu..!” sahut Sukra cepat
Tubuh Sukra tiba-tiba menggigil ketika tanpa bisa ia tolak bayangan tubuh Pak Kartawi yang terikat, dimasukkan liang lahat sekedarnya kemudian dihujani peluru. Allahu Akbar...,terngiang kembali seruan takbir terakhir Pak Kartawi di telinga Sukra. Sukra gemetar ketakutan. Ia tidak berani melawan tatapan mata Mbah Muji.
”Jadi, ancaman Sobari tidak main-main. Benar, Sobari telah menarik semua pemuda Dukuhsawah menjadi anggota gerombolan.”
”Tidak, Mbah. Aku bukan anggota geromboloan...”
Sukra tidak sanggup lagi melanjutkan ucapannya. Ia menangis terguguk-guguk. Badanya tiba-tiba terasa panas, tapi juga tiba-tiba menggigil.
Sesaat Mbah Muji terpaku melihat keadaan Sukra. Ia mulai mengkhawairkannya. Sukra memegangi perutnya. Terdengar gemertak suara gigi-giginya yang beradu. Nafasnya tersengal. Mbah Muji bangkit hendak merangkulnya, tapi Sukra keburu terjatuh. Tubuhnya kejang-kejang. Mbah Muji mulai gugup. Ia berteriak pada istrinya untuk diambilkan abu hangat dari tungku. Orang tua itu mencoba bersikap tenang dengan terus memijit-mijit jempol kaki Sukra.
“Jeruk nipis..!”Mbah Muji kembali berteriak pada istrinya.
Istri Mbah Muji datang dengan irisan jeruk nipis dan abu hangat yang dibungkus daun pisang berlapis kain kumal. Sukra ditidurkan terlentang. Kedua tangannya direntangkan. Semua kancing bajunya dilepas. Sementara Mbah Muji menekan-nekan perut dan dada Sukra dengan abu hangat, istrinya mengusap bagian wajah dengan perasan jeruk nipis. Surti beridiri kebingungan di pintu surau.
“Ambilkan teh panas,” Mbah Muji kembali memerintah Surti. Dengan sigap Surti pun berlari ke dapur.
Sukra kembali membuka mata setelah namanya dipanggil berulang-ulang. Mbah Muji merasa lega.
“Istighfar, Sukra…” bisik Mbah Muji di telinga Sukra.
Sukra melirik wajah Mbah Muji yang begitu dekat di depan matanya.
“Astaghfirullah hal’adzim…” Sukra mengucapkan istighfar.
Mbah Muji tersenyum samar sambil menganggukan kepala.
Istri Mbah Muji datang dengan segelas teh panas. “Sukra sudah sadar?” tanyanya sambil tergopoh-gopoh memasuki surau. Gelas teh ditaruh di samping kepala Sukra.
”Ada apa dengan Sukra, Kang?” tanya istri Mbah Muji.
“Sukra hanya masuk angin biasa,” sahut Mbah Muji.
“Tidak! Aku tidak masuk angin,” Sukra mencoba bangkit tapi Mbah Muji menahannya. Dengan matanya Mbah Muji memberi isarat istri dan cucunya agar meninggalkan ruangan itu.
“Tenang dulu, Sukra. Kau minum teh ini, nanti kita bicara lagi.”
“Tapi aku bukan anggota gerombolan, Mbah.”
“Ya, mbah percaya, kau bukan anggota gerombolan,” ucap Mbah Muji menenangkan.
Sukra mulai tenang. Beberapa teguk teh hangat dari tangan Mbah Muji masuk ke mulutnya, menghangatkan tenggorokan dan perutnya. Beberapa saat kemudian Sukra telah merasa sehat. Perlahan ia bangkit dan mengambil gelas dari tangan Mbah Muji untuk diminumnya sendiri.
“Ayo, kita ke rumah. Sarapan pagi telah siap,” ajak Mbah Muji. “Oseng-oseng daun pakis dan tempe goreng. Kau pasti menyukainya,” sambung Mbah Muji wajar seolah tidak ada hal penting yang baru didengarnya dari mulut Sukra.
Ketika di meja makan pun Mbah Muji tidak mengungkit-ungkit pengakuan Sukra. Mbah Muji malah bercerita tentang panen madu dari sarang lebahnya. Sukra hanya mendengarkan. Kepalanya masih terasa pusing dan nafsu makannya benar-benar hilang. Sedikit nasi di piringnya dengan bersusah payah ia habiskan.
“Bawalah madu ini buat emakmu.” Istri Mbah Muji menaruh botol di atas meja makan.
“Ini madu dari bunga manggar. Rasanya lebih manis dan aromanya juga bagus,” sambung Mbah Muji.
Sukra hanya mengangguk dan kembali termangu. Mbah Muji tahu pikiran Sukra sedang kalut. Pengakuan Sukra bahwa ia tahu dimana Pak Kartawi dikuburkan rupanya yang menjadikan beban pikirannya, yang membuat tingkahnya menjadi aneh akhir-akhir ini. Rupanya itu yang membuat Sukra memilih menjadi wong gemblung untuk beradaptasi dengan jaman yang memang sedang gila.
Tiba-tiba Sukra bangkit.
“Mbah, aku pinjam cangkul. Akan kuberitahu pada semua orang dimana Pak Kartawai dikuburkan,” kata Sukra dengan mata menyala dan nafas terburu-buru.
“Sabar, Sukra. Kita tidak bisa bertindak sendiri. Kita harus menghubungi pamong atau juga polisi terlebih dahulu.”
“Aku tidak perlu polisi, aku perlu cangkul, Mbah,” kata Sukra sambil pandangannya berkeliling ke setiap sudut ruangan.
Karena tidak terlihat cangkul di ruangan itu, Sukra pergi ke dapur. Mbah Muji terburu-buru mengikutinya.
“Sabar, Sukra. Salah-salah kau bisa berurusan dengan polisi,” kata Mbah Muji sambil mengiukuti terus mengikuti Sukra ke dapur.
Cangkul yang dicarinya ditemukan Sukra. Tapi dengan sigap Mbah Muji menghadangnya di depan pintu sambil menatap tajam mata Sukra.
”Beri aku jalan, Mbah. Jika tidak, aku akan selamanya jadi orang gila. Dan jenasah Pak Kartawi tidak akan pernah ditemukan.”
“Tidak, Sukra. Kau ceroboh. Kau akan menggali kuburan Kartawi kemudian mengantar jenasahnya ke keluarganya, bukan? Itu bodoh. Itu tindakan wong gemblung. Apa kata keluarganya nanti setelah tahu bahwa selama ini kau tahu dimana Kartawi berada. Apa juga kata polisi? Mereka bisa menyeretmu menjadi tersangka dengan motif perampokan, atau langsung menuduhmu sebagai bagian dari gerombolan pengacau,” kata-kata Mbah Muji beruntun seperti tandan pinang runtuh.
“Tapi aku tidak gemblung, bukan?”
“Asalkankamu tidak melakukan hal yang bodoh.”
“Tentu saja tidak. Dengan cangkul ini aku hanya ingin meyakinkan diriku bahwa penglihatanku malam itu tidak salah. Beri aku jalan, Mbah”
”Apa yang kau lihat malam itu, Sukra? Ceritakanlah! Lalu kita selesaikan persoalan ini.”
”Aku tidak ingin melibatkanmu, Mbah. Mbah Muji adalah satu-satunya sesepuh Dukuhsawah yang namanya tidak dikaitkan dengan gerombolan pengacau itu. Satu-satunya Mbah. Namamu harus tetap bersih. Mulanya namaku juga bersih karena aku adalah anak asuh Pak Kartawi. Tapi entahlah nantinya. Mungkinaku juga akan menyandang label gerombolan pengacau. Ini mungkin kutukan, Mbah, kutukan bagi orang Dukuhsawah sebagai kampung penyamun.” ucapan Sukra beruntun seperti rentetan suara bedil.
”Jaga bicaramu, Sukra. Dukuhsawah mewarisi kegagahan prajurit Trunojoyo. Ingat itu!”
”Oh, kalau begitu aku ingin gagah seperti mereka. Aku ingin gagah seperti prajurit Trunojoyo. Mbah percaya aku tidak gila, bukan? Berilah aku jalan, Mbah.”
”Baiklah, tapi aku ikut denganmu.”
”Tidak bisa, Mbah. Sekali lagi Mbah Muji tidak boleh terlibat dalam urusan ini. Sebelum lohor aku sudah kembali ke sini,” kata Sukra sambil mendesak tangan Mbah Muji yang menghalangi pintu.
Orang tua itu melepas Sukra dengan terpaksa dan ragu. Sukra berjalan tergesa dengan cangkul di pundaknya. Mbah Muji memandangi punggungnya sampai tubuh tegap bujang itu hilang di turunan. Orang tua itu menghela nafas dengan lenguhan.
* * ** * *
Petir
Bahan makanan dari ubi kayu yang dibuat dengan cara direndam dan dikeringkan
Merapatkan selimut
Makhlus halus
Bunga pohon kluwih
Sekolah Guru Bawah