Desakan untuk menghentikan penyidikan kasus dugaan suap yang melibatkan mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej dan Direktur PT Citra Lampia Mandiri Helmut Hermawan adalah cerminan dari ketidakpastian hukum di negeri ini.
Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menggugurkan status tersangka Eddy Hiariej telah memberikan alasan kuat bagi pihak kuasa hukum Helmut Hermawan untuk menuntut penghentian penyidikan. Apakah ini berarti bahwa hukum di Indonesia dapat dibelokkan dengan mudah berdasarkan keputusan praperadilan? Pada 30 Januari 2024, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan Eddy Hiariej, sehingga status tersangka terhadapnya gugur.
Kuasa hukum Helmut Hermawan, Resmen Kadapi, menyatakan bahwa alat bukti yang digunakan KPK untuk menetapkan tersangka, termasuk kliennya, sama dengan bukti yang digunakan untuk menjerat Eddy. Menurut Resmen, jika alat bukti untuk Eddy dinyatakan tidak sah, maka secara mutatis mutandis hal tersebut juga harus berlaku untuk kliennya. Selain Helmut, asisten pribadi Eddy, Yogi, serta pengacara Yosi, juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang sama. Kasus ini menunjukkan betapa rentannya sistem hukum kita terhadap manipulasi.
Seperti sebuah bangunan yang didirikan di atas pasir, mudah roboh saat diterpa gelombang kecil. Bukti yang seharusnya menjadi dasar kuat dalam penyidikan bisa saja dianggap tidak sah hanya karena keputusan praperadilan. Ini seperti menggarami lautan, upaya yang sia-sia jika tidak didukung oleh sistem hukum yang kuat dan konsisten. Helmut Hermawan sendiri menggugat KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 19/Pid. Prap/2024/PN.JKT.SEL, yang dijadwalkan akan digelar pada 5 Februari 2024.
Gugatan ini dilayangkan karena Helmut keberatan dengan penetapan dirinya sebagai tersangka suap terhadap Eddy Hiariej. Kasus ini bermula dari laporan Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso terkait dugaan penerimaan gratifikasi Rp 7 miliar pada 14 Maret 2023.
Eddy diduga menerima gratifikasi tersebut dari Helmut Hermawan yang meminta konsultasi hukum. Menutup penyidikan terhadap Helmut Hermawan cocok dengan analogi dari upaya menutup mata terhadap masalah yang sebenarnya. Seperti menutupi bau busuk dengan parfum, hanya menyembunyikan sementara tanpa menyelesaikan akar permasalahan. Jika KPK benar-benar ingin memberantas korupsi, mereka harus berdiri teguh di atas bukti-bukti yang valid dan prosedur hukum yang benar, bukan malah terombang-ambing oleh keputusan yang bisa saja penuh kepentingan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H