Lihat ke Halaman Asli

Tanggapan Berita "Rektor UMS Copot 2 Dosen dalam Kasus Pelecehan Seksual terhadap Mahasiswa"

Diperbarui: 30 Agustus 2024   09:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Tindakan tegas Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dalam menangani kasus pelecehan seksual yang melibatkan dua dosennya menunjukkan komitmen kuat institusi untuk menciptakan lingkungan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Keputusan Rektor UMS untuk memberhentikan kedua dosen tersebut dari jabatannya, sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan No:179 dan 180/IV/2024, bukan hanya memberikan keadilan bagi korban, tetapi juga menjadi peringatan keras bagi seluruh civitas akademika. Langkah ini mencerminkan upaya UMS untuk menjunjung tinggi nilai moralitas dan melindungi harkat serta martabat mahasiswanya.

Lebih dari sekadar tindakan punitif, keputusan UMS ini menjadi langkah proaktif dalam membangun budaya akademik yang lebih sehat dan saling menghormati. Dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) serta Komisi Penegak Disiplin, UMS mendemonstrasikan pendekatan sistematis dalam mengatasi masalah pelecehan seksual. Hal ini seharusnya menjadi contoh bagi institusi pendidikan tinggi lainnya di Indonesia untuk tidak hanya responsif terhadap kasus-kasus yang terjadi, tetapi juga aktif dalam mencegah dan membangun sistem yang lebih kuat untuk melindungi seluruh anggota komunitas kampus.

"Rektor dan segenap pimpinan UMS akan terus berkomitmen untuk menjadikan lingkungan kampus yang nyaman, aman, dan terus memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat perempuan, serta mencegah dari segala bentuk tindakan pelecehan seksual dalam bentuk apapun. Karena itu, dua dosen kami, yang terbukti melanggar telah dicopot," ucap Sutrisna, Wakil Rektor IV UMS. Pernyataan ini tidak hanya menunjukkan tekad kuat universitas dalam menangani kasus pelecehan seksual, tetapi juga menegaskan posisi UMS sebagai institusi yang mengutamakan keamanan dan kesejahteraan mahasiswanya di atas segalanya.

Lebih lanjut, UMS juga menyatakan siap memberikan pendampingan psikologis dan hukum kepada korban, serta menjamin bahwa mereka akan mendapatkan perlakuan adil dalam menyelesaikan studinya. Ini mencerminkan pemahaman komprehensif UMS terhadap dampak jangka panjang pelecehan seksual pada korban. Dengan menyediakan dukungan multidimensi, UMS tidak hanya menangani aspek hukum dan administratif dari kasus tersebut, tetapi juga memperhatikan pemulihan dan keberlanjutan akademik korban.

Keputusan UMS untuk mengalih statuskan salah satu dosen pelaku menjadi tenaga administratif selama 2 tahun, selain memberhentikannya dari jabatan struktural dan sebagai dosen, menunjukkan pendekatan yang nuanced dalam penanganan kasus. Hal ini mencerminkan upaya untuk menyeimbangkan tuntutan keadilan dengan prinsip rehabilitasi, sekaligus memastikan bahwa konsekuensi atas tindakan tidak etis tetap ditegakkan. Kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus dapat dianalogikan sebagai virus berbahaya yang mengancam kesehatan ekosistem akademik. Seperti halnya virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh, pelaku pelecehan seksual merusak rasa aman dan kepercayaan dalam komunitas kampus. Tindakan tegas UMS dalam menangani kasus ini dapat diibaratkan sebagai vaksin yang tidak hanya menghentikan penyebaran virus, tetapi juga memperkuat sistem kekebalan komunitas kampus terhadap perilaku tidak etis.

Dengan "memvaksinasi" lingkungan akademik melalui kebijakan yang tegas dan perlindungan yang komprehensif, UMS berupaya menciptakan "herd immunity" terhadap segala bentuk pelecehan dan kekerasan seksual. Sama seperti vaksin yang membutuhkan waktu untuk membangun kekebalan, kebijakan dan tindakan UMS ini mungkin memerlukan waktu untuk sepenuhnya mengubah budaya dan persepsi. Namun, seperti halnya program vaksinasi yang konsisten akhirnya dapat mengendalikan penyakit, komitmen jangka panjang UMS dalam menegakkan lingkungan bebas pelecehan berpotensi menciptakan perubahan sistemik yang langgeng.

Di tengah maraknya kasus pelecehan seksual di lingkungan pendidikan tinggi, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengambil langkah tegas dengan memberhentikan dua dosen yang terlibat dalam kasus tersebut. Tindakan ini bukan hanya menjadi sorotan publik, tetapi juga memicu diskusi lebih luas tentang pentingnya menciptakan lingkungan akademik yang aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan seksual. Kasus UMS ini menjadi cermin bagi perguruan tinggi lain di Indonesia untuk mengevaluasi dan memperkuat kebijakan anti-pelecehan seksual, sekaligus mendorong budaya keterbukaan dan keberanian dalam melaporkan tindakan tidak etis di lingkungan kampus.

Namun, dibalik headline yang menggemparkan, kasus ini menyoroti isu yang lebih dalam dan kompleks tentang dinamika kekuasaan di lingkungan akademik, kerentanan mahasiswa, dan tantangan dalam membangun sistem pelaporan yang efektif dan aman. Respons UMS, yang melibatkan tidak hanya tindakan punitif tetapi juga langkah-langkah perlindungan dan pencegahan, membuka jalan bagi diskusi yang lebih luas tentang reformasi struktural dalam pendidikan tinggi. Saat kita mengkaji kasus ini, muncul pertanyaan kritis: Bagaimana institusi pendidikan dapat secara proaktif mencegah pelecehan seksual, bukan hanya bereaksi terhadapnya? Apa peran komunitas akademik yang lebih luas - termasuk mahasiswa, staf, dan alumni - dalam menciptakan budaya kampus yang aman dan saling menghormati? Dan bagaimana kita dapat memastikan bahwa kasus-kasus seperti ini menjadi katalis untuk perubahan positif yang berkelanjutan, bukan hanya sensasi sesaat di media?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline