Lihat ke Halaman Asli

Menelusuri Jejak-Jejak Totalitarianisme Gaya Baru

Diperbarui: 1 Mei 2024   18:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Another City

Setidaknya Mencoba

Pada Jumat, 19 April 2024, beredar suatu lagu unik yang sangat mengejutkan seluruh penghuni bumi. Lagu tersebut berjudul, "Friendly Father", dan berisikan nyanyian yang menyanjung Kim Jong-Un, pemimpin tertinggi Korea Utara. Sebagai salah satu pemimpin negara yang kerap dijadikan bahan lelucon, lagu ini pun langsung menjadi viral di dunia maya dengan cepat. 

Berbagai macam reaksi terhadap lagu "Friendly Father" timbul. Namun, sebagian besar netizen merasa terhibur. "Damn... This actually slaps hard. Finna add that to my gym playlist", ucap salah satu pengguna YouTube yang menonton video lagu "Friendly Father". Selain komentar tersebut, masih ada banyak lagi komentar netizen yang menertawai lagu "Friendly Father" secara literal maupun sekadar sarkas.

Siap Salah!

Di balik kelucuan lagu "Friendly Father", terletak suatu kenyataan pahit yang harus disadari para netizen. Korea Utara adalah sebuah negara yang bersifat totaliter. Sistem pemerintahan negara tersebut sangatlah tersentralisasi karena pembatasan partisipasi rakyat di dalam politik. Rakyat Korea Utara juga hidup dalam penuh ketakutan mengingat negara memiliki kendali politik dan ekonomi yang sangat besar. Rumah mereka pun secara legal menjadi milik pemerintah.

Kehidupan di bawa teror menghilangkan jati diri manusia. Mereka yang hidup di dalam ketakutan tidak bisa mengikuti hasrat pribadi. Alasannya bahwa Superego sosial yang amat kuat telah mengkodekan segala perilaku dan tindakan mereka. Dengan begitu, segala aktivitas ditujukan menuju suatu tujuan pasti yang tunggal. Dalam konteks ini, masyarakat Korea Utara harus mempersembahkan setiap kegiatan mereka supaya menyanjung tinggi Kim Jong-Un.

Segala struktur sosial yang bersifat represif terhadap kebebasan individu disebut sistem yang totaliter. Penerapan sistem seperti ini membatasi segala jenis deviasi yang dapat dilakukan seseorang. Instrumen sebagai sarana distribusi ideologi totalitarianisme bersifat beragam. Dalam konteks ini, instrumen dimaknai sebagai bentuk emosi yang terdistribusi kepada masyarakat. Tujuan penyebaran emosi tersebut pun untuk mengendalikan para penduduk. Ada yang menggunakan teror, seperti Korea Utara. Namun, ada juga suatu instrumen yang kerap diabaikan, yaitu keacuhan.

Ignorance is Strength

Dalam masa kontemporer, teror sebagai media menjadi semakin tidak efektif. Kesadaran manusia abad ini telah sangat meningkat akibat meluasnya pengetahuan. Alhasil, rakyat yang tertindas pun akan sadar bahwa mereka seharusnya mendapatkan akses kebebasan. Dengan begitu, para penguasa yang rakus harus menemukan suatu instrumen baru.

Pada hemat saya, instrumen baru tersebut berupa diseminasi keacuhan. Masyarakat kontemporer dimabukkan oleh informasi yang sangat banyak. Para pengguna Internet juga malas menginvestigasi kebenaran informasi. Alhasil, kita hidup di suatu dunia yang penuh keacuhan. Manusia menerima informasi tanpa ada kepedulian menguji kredibilitasnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline