Tentunya nama D.I. Pandjaitan sudah tak asing lagi di telinga kita. Setidaknya, kita pasti pernah mendengar namanya ketika belajar sejarah di sekolah dahulu. Beliau dikenal sebagai pahlawan yang gugur dalam peristiwa G30S/PKI. Pengorbanannya dan jasanya untuk NKRI masih dikenang hingga sekarang.
Namun, ada satu peristiwa menarik dari kehidupan Kolonel Donald Isaac Pandjaitan ketika ia menjabat Atase Militer (Atmil) Indonesia untuk Jerman. Ia diundang oleh seorang tokoh Gereja Protestan Jerman di Wuppertal-Barmen bernama Pendeta de Kleine untuk berkhotbah. D.I. Pandjaitan pun menerima undangan itu dengan senang hati. Peristiwa ini ia alami pada tahun 1960.
D.I. Pandjaitan memiliki alasan tersendiri atas kesediaannya menerima undangan khotbah tersebut. Di Tarutung dahulu, ia dibesarkan dalam lingkungan sekolah Zending Batakmission yang didirikan misionaris Jerman, Inger Ludwig Nommensen. Karena ini pula beliau terampil berbahasa Jerman. Uniknya, beliau diminta mengenakan seragam formal TNI sedangkan istrinya memakai kebaya sebagai perlambang kebudayaan Indonesia.
D.I. Pandjaitan membuka khotbahnya dengan berkata: "Dunia bisa berubah. Kalau dulu orang Jerman yang datang dan memberi khotbah kepada orang Batak, nanti bisa terbalik, orang Batak yang datang ke sini dan memberi khotbah kepada orang Jerman."
Khotbahnya dilanjut dengan mengenal ihwal muda penyebaran agama Kristen di Tanah Batak. Menurutnya, gerakan misionaris Jerman melalui institusi pendidikannya meninggalkan warisan berharga bagi masyarakat suku Batak yang telah menerima Injil Kristus Yesus. Peranan Batakmission yang dipelopori Inger Ludwig Nommensen terkadang membuat orang-orang Batak bertanya dalam keheningan. "Mengapa justru orang Jerman yang berhasil memperkenalkan agama (dan pendidikan) ke kami Batak? Mengapa bukan Belanda? Jawab: "Tentu ada maksud Tuhan!" kata D.I. Pandjaitan. Naskah khotbah beliau setebal tujuh halaman ini termuat dalam laman yang dikelola keluarganya.
D.I. Pandjaitan juga mempromosikan kehidupan toleransi antarumat bergama di NKRI. Beliau mengatakan lambang salib turut menghiasi nisan Taman Makam Pahlawan yang merupakan pusara terakhir bagi para prajurit dan pejuang. Ini membuktikan semua anak bangsa ikut berperang dan berkorban demi kemerdekaan tanpa membeda-bedakan agama.
D.I, Panjaitan menekankan kepada jemaat Wuppertal-Barmen tentang betapa pentingnya bertahan dalam iman. Kegelisahan D.I. Pandjaitan paling utama ditujukan kepada generasi muda. Mengutip laporan penelitian "Kinsey Report" tahun 1958, ia mengungkapkan sebagian besar pemuda di Amerika telah meninggalkan gereja dan norma agama. Kemajuan teknologi, ekonomi, dan budaya (termasuk musik rock n roll) turut memberikan pengaruh. "Karena mereka tidak tahan. Karena ajaran-ajaran Tuhan sudah tidak dianggap. Karena pemuda menjadi lemah maka cahaya firman Tuhan di hati mereka menjadi mati," ujarnya.
Pandjaitan berkata, untuk meningkatkan daya tahan dari cobaan, kita perlu selalu mencari cahaya Tuhan. Beliau berpesan kepada pemuda Jerman yang ada di jemaat itu, agar terus maju ke depan membela negara dan bangsa terhadap serangan atheisme dari Jerman Timur. Karena menurutnya, pemuda adalah darah suatu bangsa.
"Pemuda yang sudah tidak lagi menghargai orang tuanya dan menolak bertemu pada Natalan akan mendapat ganjaran dari Tuhan.Nasib masa depan Kristen terletak pada pemuda-pemuda ini," tegas D.I. Pandjaitan.
Khotbah ini dipungkasi dengan mengutip surat Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus, yang berbunyi "Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah." (1 Korintus 10:31 TB LAI). Khotbah D.I. Pandjaitan ditutup dengan menyanyikan lagu ciptaan seorang reformator Gereja Protestan bernama Martin Luther, yaitu "Ein feste Burg ist unsere Gott" (A Mighty Fortress Is Our God).
Khotbah D.I. Pandjaitan pun terdengar sampai ke MBAD Jakarta. Beliau bahkan mendapatkan julukan hormat: jenderal pendeta. Khotbah beliau secara keseluruhan adalah tentang bertahan dalam iman dan ajaran firman Tuhan. Khotbah yang sangat menginspirasi, dan bahkan mungkin berkesan bagi jemaat Jerman pada saat itu.