Mata Anita berkaca-kaca, sedih dan galau meliputi hatinya. Orang tuanya tak merestui pernikahannya. Ia telah berusaha dengan segala cara tapi tak membuahkan hasil. Cintanya yang begitu dalam kepada suaminya membuat ia berusaha mencari ridha orang tua. Ia berjalan mondar-mandir seperti anak ayam kehilangan induknya.
"Mana Papa?," tanya Anita kepada adik perempuan kecilnya, Ati. "Papa ada di dalam rumah, memang ada apa wajah kakak seperti baru saja menangis", sahut Ati dengan nada suara mengejek. "Anak kecil kau tak tau urusan orang besar, nanti kujewer telingamu biar tahu rasa!", jawabnya sambil marah-marah. Ia menggerutu masuk ke dalam dapur. Sudah dua hari dua malam ia tidak makan, Ia hanya minum segelas air putih tadi malam. Ia membuka lemari tempat penyimpanan makanan tak tahunya sudah kosong.
Suaminya adalah seorang yang lugu dan pendiam. Tak satu pun kata-kata menyakitkan diresponnya dari ucapan tetangga. Ia seperti ikhlas menghadapi takdir hidup yang dijalaninya. Setelah menikah badannya menjadi gemuk. Begitulah kehidupan Rangga saat ini. Seperti kebanyakan laki-laki, ia hanya cuek saja tidak memperdulikan perkataan orang-orang.
Selepas mereka berdua menikah, Anita dan Rangga tinggal berdua di rumah mertuanya di kota. Sementara itu, mertuanya memiliki lahan pertanian yang sangat luas dan rumah tiga buah dan mobil yang biasa dipakai untuk berangkat kerja. Pernikahan mereka berdua telah menimbulkan masalah dalam rumah tangga Ayah dan Ibu Anita. Ibunya benar-benar tidak menyukai suaminya meskipun suaminya telah berusaha berbuat baik. Sebuah peristiwa di waktu subuh yang membuat tetangga sebelah merasa terganggu.
Ibunya datang dengan wajah kusut langsung berteriak kepada Anita. "Pokoknya Ibu tidak mau kamu menikah sama laki-laki itu, Ibu tidak suka, kalau kamu tidak bercerai Ibu akan pergi jauh," kata Ibunya. Pecah suara tangisan Anita dalam rumah memikirkan nasib suami dan Anaknya. Anaknya kini baru berumur tiga bulan. Suaminya kala itu berada di dalam kamar hanya terdiam. Tidak sepatah kata pun yang diucapkannya. Suaminya juga merasa kalau Ibu mertuanya tidak bisa menerimanya sebagai menantu. "Kalau seperti ini, Apa boleh buat, saya harus menceraikan istri saya, tapi saya pikir-pikir dulu" pikirnya dalam hati.
Saat matahari mulai menyinsing, Rangga pamit kepada istrinya mau main ke rumah teman. Ia menyampaikan masalahnya kepada salah satu kawannya yang sangat bijak dalam memutuskan masalah. "Coba kamu pikir-pikir lagi, kalau kamu bukan ASN tentu itu mudah saja, bagi masyarakat biasa yang bukan ASN cukup satu dua kali ke KUA, urusan bisa selesai, tapi bagi ASN sangat sulit, apalagi kamu sudah punya anak", begitu saran dari kawannya itu. Ia teringat salah satu suami teman gurunya di sekolah. Mereka berdua menikah membutuhkan waktu yang cukup lama. Harus urus ini dan itu. Sekitar satu tahun baru menikah. Suaminya juga ASN yang sudah punya anak dan menceraikan istrinya. " Baiklah terima kasih nanti saya pertimbangkan lagi," kata Rangga kepada kawannya.
Setiap kali memikirkan untuk bercerai, Rangga tak sanggup ketika melihat si kecil Melati yang cantik tersenyum sumringah kala ia memainkan jemarinya. Hanya Melatilah yang membuat ia bertahan sampai saat ini. Ia sangat menyayangi Melati melebihi istrinya. Tak terhitung kata-kata jelek yang dilontarkan kepadanya. Bagaikan untaian manik-manik kesedihan. Semakin lama, Rangga juga tak tahan atas perlakuan yang di alaminya. Bahkan bukan lagi dari Ibu mertuanya, orang-orang kampung pun mengetahui hal itu bahwa pernikahan mereka berdua tak direstui.
Sajadah terbentang di depannya, tengah malam, Rangga memohon pertolongan Allah subhana wata'ala agar Ibu Mertuanya menyayanginya sebagaimana ia membencinya dulu. Sebenarnya Ibu mertuanya adalah orang yang paling baik. Sebelum menikah, ada seorang yang juga menyukai istrinya namun istrinya tidak mau. Ia menghasud Ibu mertuanya dengan kata-kata dusta. Rangga pun mulai berpikir jernih. Ia mendapatkan pengaruh baik dari shalat tahajudnya tadi malam. Ia berubah sikap kepada Ibu mertuanya dimana dulu ia bersikap dingin sekarang ia mulai menyapa Ibu mertuanya meskipun tak digubris sapaannya. Ia tetap bersabar dan berbuat baik sebagaimana bakti seorang anak kepada Ibunya.
Tiga tahun telah berlalu, Ibu mertuanya mulai sedikit menunjukkan sikap terbuka setelah kelahiran anak keduanya. Ibu mertuanya membalas pertanyaan yang biasa ia lontarkan. "Ibu dari mana?," tanya Rangga. "Dari rumah sebelah," jawab Ibu mertuanya. Ada sedikit rasa bahagia di hati Rangga atas perubahan itu. Mungkin itu doa-doa yang dipanjatkannya tiga tahun yang lalu.
Anita dan Rangga hidup bahagia. Belakangan hari Ibu mertuanya mengetahui bahwa selama ini ia telah terhasud oleh laki-laki brengsek itu. Mereka pun menjadi keluarga yang harmonis dan dikaruniai tiga orang anak.#doc Jay