Pemilihan Umum Republik Indonesia yang jatuh pada 14 Februari 2024 telah dekat, segala sumber daya yang dimiliki oleh pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sudah mulai dikerahkan satu persatu, mulai dari pendanaan, pembentukan tim pemenangan, penyusunan visi, misi dan program kerja selama 5 tahun, sosialisasi diberbagai media, blusukan dengan mengunjungi kantong-kantong suara rakyat, dan berbagai manuver politik untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas masing-masing pasangan calon.
Para pendukung kandidat tidak tinggal diam, mereka terus menerus menyuarakan dukungannya dengan penuh antusias bahkan tidak sedikit para pendukung meyakini bahwa kandidat yang diusungnya akan menang satu putaran. Ada banyak yang saya jumpai para pendukung dengan keyakinan sepenuhnya bahwa pemilihan Presiden hanya 1 putaran saja dengan memperoleh suara mayoritas. Setiap ditanya apa dasar pemikirannya sehingga begitu yakin satu putaran saja? Ternyata rata-rata mereka terlalu fanatik dengan kandidat yang dijagokan. Misalnya ketika pendukung Prabowo-Gibran membuka media sosial mereka cenderung lebih senang membuka dan berlama-lama nonton video, gambar dan membaca narasi tentang Prabowo-Gibran terlepas benar atau palsu berita tersebut, begitu juga pendukung Anies-Muhamin dan Ganjar-Mahfud terkena pula efek fanatisme sehingga mereka lebih betah berlama-lama menikmati berbagai model sosialisasi dan kampanye dari kandidatnya.
Salah satu yang sangat berpengaruh tingkat minat rakyat terhadap kandidat adalah penggunaan aplikasi tiktok yang dirancang dengan sistem kerja alogaritma berdasarkan minat dan ketertarikan atau biasa disebut fyp. Semakin banyak anda nonton postingan tentang Prabowo-Gibran, maka mesin tiktok akan banyak mengangkat Prabowo-Gibran, begitu juga dengan peminat dari Paslon Anies-Cak Imin maupun Ganjar-Mahfud. Disisi lain, para pendukungnya lebih banyak membenarkan berita tentang kebaikan dari Paslon yang diusungnya, dan mudah membenarkan berita bohong alias hoaks kepada Paslon lainnya.
Padahal jika kita melakukan perbandingan secara adil sebenarnya belum ada bukti kuat secara ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan yang menunjukan salah satu Paslon mencapai lebih 50% dari total wajib pilih seluruh Indonesia. Sebagaimana yang telah termuat dalam pasal 6A ayat (3) UUD 1945 bahwa pasangan Capres-Cawapres yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar dilebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Kalaupun ada lembaga survey yang merilis hasil surveynya dengan tujuan mendongrak elektabilitas salah satu Paslon, hal ini hanya dijadikan sebagai strategi marketing untuk menggiring opini masyarakat agar cenderung menyukai kandidat tertentu misalnya survey Indikator Politik Indonesia yang dilakukan 27 Oktober-1 November 2023 menunjukan Prabowo-Gibran unggul 39,7%, Ganjar-Mahfud 30%, Anies-Cak Imin 24,4% dan tidak jawab 5,9%. Lembaga Populi Center merilis hasil survey pada 29 Oktober-5 November 2023 menunjukan Prabowo-Gibran unggul 43,1%, Ganjar-Mahfud 23% dan Anies-Cak Imin 22,3%.
Fakta di lapangan menunjukan hal berbeda dengan hasil survey yang memperlihatkan massa dari pasangan Anies-Cak Imin selalu membludak dalam setiap event sosialisasi di masyarakat, dibandingkan dengan Paslon lainnya yang seakan belum memberikan keyakinan kepada publik bahwa hasil survey yang selama ini digadang-gadang benar adanya. Meskipun jumlah massa dari Paslon Anies-Cak Imin tumpah ruah di lapangan tetapi lagi-lagi tidak ada lembaga survey yang kredibel menunjukan bahwa Paslon Anies-Cak Imin lebih kuat dibandingkan Paslon lainnya.
Baik lembaga survey maupun massa di lapangan kedua-keduanya bisa berpotensi tidak valid karena lembaga survey boleh jadi mendapatkan sokongan dana dari Paslon tertentu untuk menguatkan tingkat minat dan kesukaan masyarakat terhadap Paslon yang membayar, begitupula dengan massa di lapangan boleh jadi adalah massa bayaran atau mereka hanya sekedar ikut-kutan tren, ada iming-iming hadiah dan lain sebagainya.
Anomali data-data hasil survey dan mobilisasi massa di lapangan yang tidak sejalan menunjukan bahwa tidak ada Paslon yang sangat kuat yang dapat mengungguli Paslon lainnya. Hal inilah yang meyakinkan saya tentang hasil Pemilu tahun 2024 diduga kuat akan ada putaran kedua untuk memperebutkan suara terbanyak diantara dua paslon yang bertarung.
Lalu siapakah yang akan mendapatkan keuntungan jika terjadi Pemilu putaran kedua? Penentuan pemenang akan sangat ditentukan oleh bola muntah massa Paslon yang kalah, berdasarkan analisis saya dari berbagai diskusi dan berita dimungkinkan peluang pasangan Prabowo-Gibran lebih besar daripada pasangan Anies-Cak Imin dan Ganjar-Mahfud karena jika pasangan Anies-Cak Imin kalah dimungkinkan massanya akan banyak memilih Prabowo-Gibran, bukan pada Gibrannya tetapi lebih cenderung pada pertimbangan sosok Prabowo yang pernah didukung dalam Pilpres tahun 2019, tetapi jika pasangan Ganjar-Mahfud kalah, maka massanya akan cenderung pula memilih Prabowo-Gibran meskipun sekarang ada kekecewaan pengurus PDIP terhadap sikap keluarga Jokowi yang lebih memilih mendukung Prabowo daripada Ganjar tetapi dari sudut pandang ideologi, cara bernegara, histori politik, dan tipikal massa pendukung akan lebih banyak memilih pasangan Prabowo-Gibran daripada Anies-Cak Imin yang cenderung didukung oleh partai atau ormas yang tidak sejalan dengan Ideologi Pancasila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H