Lihat ke Halaman Asli

Gandi-Gandi itu Lantana Camara

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1393815682935415413

Banyak cerita yang tumbuh bersama ihktiar kami  menyelamatkan dan menanam kembali tanaman langka dan endemik di Rumah Hijau Denassa (RHD). Selain pengembangan tanaman yang tidak mudah, menemukannya pun sering butuh waktu.  Beberapa tanaman telah kami kenal karena sering melihat kayu, buah, dan produk olahannya seperti Eboni, Rotan, Ulin tapi baru melihat pohonnya  setelah merintis RHD. Sering pula  memperoleh informasi namanya tapi kesulitan menemukan pohonnya karena nama itu hanya dikenal di daerah tertentu, setelah menemukan tanamannya baru sadar telah akrab dengan tanaman serupa. Dua keadaan ini menjadi pengalaman tersendiri bagi kami.   Namun selalu lahir perasaan  bangga, senang, puas jika berhasil menemukannya apapun informasi awal yang kami peroleh.  Pengalaman  menemukan tanaman itu sering menjadi cerita menarik bahkan terkesan haru dan lucu. Salah satunya ketika berjuang menemukan tanaman yang bernama Gandi-gandi.

Awal kisahnya seperti ini. Hari pertama, pada sesi pertama, menjadi pemapar pertama pada diskusi Big Idea di Makassar International Writer Festival (MIWF) 2013. Tempat diskusi sesi ini  berlangsung di  lantai dua bangunan yang menjadi centrum Benteng Jumpandang, sebuah ruangan lapang di atas ruang yang kenal dengan nama Gudang Peluru. Sebuah ruang yang dulu menjadi tempat beribadat. Kami duduk  berempat ketika itu, masing-masing  dua pembicara lain salah satunya Ridwan Alimuddin kami telah akrab sejak bertahun-tahun lalu, saya sering mampir ke rumahnya di Tinambung, di tanah Mandar. Diskusi dimoderasi seorang pemandu hebat, Maman Suherman, sungguh baru kali itu saya mengenalnya, padahal ia pembawa acara menghadirkan pesohor pada Kompas Teve, penulis buku Bokis yang masyur itu, caranya mengantar diskusi saya kagumi,  mengalir meski ia mengaku belum puas dengan penampilannya saat pentas bersama kami. Kisah tentang perkenalan dengannya, Insya Allah saya akan bagi dalam kisah tersendiri.

[caption id="attachment_325630" align="aligncenter" width="545" caption="Kanan ke kiri Maman Suherman, Darmawan Denassa, Lily Yulianti Farid, Ridwan Alimuddin, dan Krisna Pabichara, di MIWF 2013."][/caption]

Dengan gambar batang, dahan, daun tanaman koleksi RHD saya kisahkan sosio-eko-kultural tanaman dalam presfektif  Bugis-Makassar. Sosiologi, ekonomi, kultural tanaman menjadi koleksi kami selain tanamannya sendiri. Seperti apa cara pandang masyarakat pada tanaman, seperti  apa manfaat yang diberikan secara ekonomi, dan sejauh apa memberi pengaruh pada kehidupan.

Seperti biasa saya lebih senang berdiri memaparkannya, dibantu slide tanpa kata dan kalimat penjelas. Saya hafal batang, dahan, daun, bunga, dan buah setiap tanaman yang muncul dalam gambar, yang saya paparkan kali ini itu karena tanaman yang tampil seluruhnya saya tanam sendiri. Selain sosio-eko-kultural, saya sampaikan pula manfaat beberapa tanaman sebagai media penyembuh. Informasi ini yang ditangkap pembicara setelah saya.

[caption id="attachment_325634" align="aligncenter" width="545" caption="Menyampaikan pengalaman dan gagasan menyelamatkan tanaman lokal di MIWF 2013."]

1393816280964016619

[/caption]

Pemapar selanjutnya menyebutnamanya Daeng Parewa, berkisah tentang perjuangan menjadi perantau di Jawa sejak 1998.  Dalam kisahnya itu, ia memperkenalkanku pada satu tanaman yang telah membantunya panjang usia ketika sekolah di Gowa. “Denassa, cari tanaman itu ia harus tumbuh di RHD” harapnya. Saya menangkap perasaan bangga pada khasiat tanaman itu yang berhasil melepasakannya dari derita dan ancaman maut yang dibawa leukimia, salah satu penyakit degeneratif yang sulit ditemukan obatnya. Bahkan ia mengiformasikan ada teman sekolahnya menderita sakit serupa tidak tertolong nyawanya.

Daeng Parewa, lebih dikenal luas dengan nama Krisna Pabichara. Sepatu Dahlan yang ditulisnya telah mengharumkan namanya. Tapi sangat sedikit yang tahu, selain Aan Mansyur yang ia akui menyemangatinya pada dunia menulis, sebatang tanaman bernama Gandi-gandi menjadi penyelamatnya hingga bisa bertahan hidup dan menjadi penulis.

Sejak itu saya penasaran dengan tanaman itu. Dg Parewa pernah berjanji akan singgah membawakan tanaman itu jika ke kampungnya, di Butta Turatea, Jeneponto. Tapi saya mahfum dengan kesibukannya janji itu cukup sulit untuk ia penuhi. Ia tidak tinggal di sana, ia telah menjadi warga Bogor. Jadi saya berjuang sendiri untuk menemukan tanaman itu.

Berbulan-bulan setelah MIWF, rasa penasaran tentang Gandi-gandi belum sirnah. Saya bersikukuh  bahwa tanaman itu harus saya temukan  dan tempat paling memungkinkan menemukannya di Jeneponto. Hingga pada 08 Oktober 2013, ketika berkunjung ke kantor Pattiro Jeka1) di Bontosunggu, saya ungkapkan rasa penasaran itu pada teman-teman di sana.

Jadi sibuklah teman-taman mencarikanku Gandi-gandi. “Gandi-gandi Kak, yang bungannya warna-warni?” Wati, pengurus Pattiro Jeka bertanya untuk menyakinkan. Warna bunganya juga menjadi petunjuk  Krisna Pabichara tentang tanaman ini. Sebenarnya sejak di Benteng Ujungpandang pernah menduga kalau tanaman itu telah saya kenal dengan nama lain. “Gandi-gandi kayaknya ada tumbuh di belakang kantor” ungkap Wawan staf Pattiro yang lain. Informasi itu  seperti membawaku pada harapan menemukan ujung pencarian yang akan menuntaskan rasa penasaran. Perasaan yang mengungkung pikiranku berbulan-bulan bakal kulewati, harapku.

Dan ketika salah seorang staf Pattirio membawa patahan Gandi-gandi dari belakang kantor Pattiro, saya mentapnya lekat, menyatukan keyakinanku, dan tentu saja memberi  perasaan gembira. Betapa tidak, tanaman itu  telah tumbuh tepat dibalik pintu rumahku, sejak enam tahun silam. Kami menyebutnya Buti-buti, secara luas dikenal dengan nama Bunga Tahi Ayam karena bau bunganya yang menyegat. Ya, Lantana camara memiliki bunga warna-warni; putih, merah, merah muda, jingga, dan kuning. Terdapat jenis dimana satu pohon memiliki warna bunga kombinasi, terdapat pula hanya dengan satu warna saja. Buti-buti dikenal pula dengan nama Saliara, tumbuh dengan cabang yang banyak, masuk dalam kategori perdu.

Saya menanamnya sejak awal membangun rumah sebagai naungan. Pengalaman masa kecil dengan buahnya sebagai amunisi senjata mainan dari ranting bambu tidak bisa saya lupakan. Buahnya yang bulat sebelum matang dan berubah hitam, merupakan  peluru ampuh layaknya senjata otomatis yang dituang dalam wadah senjata-senjata bambu untuk berperang dengan kakak-kakak sepupuku puluhan tahun silam. Pengalaman itu yang menyemangatiku mencari benihnya di Balaburu enam tahun silam.

[caption id="attachment_325636" align="aligncenter" width="545" caption="Buti-buti (Gandi-gandi, Saliara, Lantana Camara) tumbuh sejak enam tahun silam di RHD."]

139381648713886517

[/caption]

Daunnya dikenal sebagai obat maag dan obat pertama mengobati luka teriris benda tajam atau luka karena lecet. Tapi sebagai obat leukimia, baru saya dengar ketika Daeng Parewa mengisahkan manfaatnya. Jika demikian batapa dahsyat tanaman ini, sebab penyakit ini sangat menyakitkan bagi penderitanya, mereka harus cuci darah secara rutin untuk bisa bertahan hidup. Dan Krisna sudah menjadi saksi hidup manfaatnya, sebagai pengantar izin Tuhan memanjangkan usianya.

Sore menjelang petang sebelum bertolak ke Butta Toa, Bantaeng hari itu sungguh memberiku rasa lega, telah memastikan bahwa Gandi-gandi itu bernama lain  Buti-Buti yang akrab denganku sejak kecil hingga hari ini.

Kisah tentang tanaman yang harus saya cari hingga berbulan-bulan bukan hanya Gandi-gandi. Beberapa tanaman harus membuatku berjibaku menemukannya,  mengejar hingga keluar pulau Sulawesi. Setelah menemukannya, membawanya pulang, kadang menemukan tanaman serupa beberapa kilometer dari RHD. Ya, itu salah satu kenikmatan dan sisi lain dalam memenuhi amanah jiwa menanam kembali tanaman langka untuk menyelamatkannya, menjadikannya bahan ajar, dan bahan penelitian. Saya yakin kisah-kisahnya akan terus tumbuh bersama tanaman-tanaman yang telah ada, dan kisah serupa akan terus bertambah sejauh hayat di kandung badan. Salamaq. (Darmawan Denassa)2)

1.Pusat Telaah dan Informasi Regional Jeneponto Jakarta.

2.Kisah ini saya persembahkan untuk persahabatan saya dengan Krisna Pabichara Daeng Parewa dan bagi mereka yang butuh obat alternatif  mengobati Leukimia (kanker darah).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline