Sebagai pemuja Minamoto no kuro Yoshistune.. rasanya menyebalkan melihat orang-orang Machiavellist. Bagai mana tidak, melihat orang yang mengaplikasikan The Prince sebagai cara pandang, cara hidup.. rasanya memuakkan. Walaupun tentu saja dalam kultur budaya Indonesia jarang kita menemui orang yang blak-blakan sebagai pengatut Machiavellisme. Bahkan untuk sekedar aplikator "Vom Kriege"nya Jendral Clausewitz. Baik kaum materialisme Feuerbach ataupun kaum sintesisnya Hegel bagi saya pun semua sama saja.. Kenapa kita mesti mengamba kekuasaan? Bukankah pada awalnya kekuasaan adalah alat untuk berbakti pada rakyat dengan sebesar-besarnya? Bukankah pada awalnya kekuasaan adalah idealisme bagi mimpi mensejahterakan rakyat banyak?
Walau bagaimanapun pemikiran Lucian W.Pye dan Sidney dalam buku Political Culture and Political Development, mereka mengatakan :”The political culture of society consist of the system of empirical believe expressive symbol and values which devidens the situation in political action can take place, it provides the subjective orientation to politics.....The political culture of society is highly significant aspec of the political system”. Seharusnya menjadi pembenaran pada pemikiran Soekarno muda, seperti yang bisa kita baca di Dibawah Naungan Bendera Revolusi. Soekarno yang belum haus kekuasaan. Kita memang tidak pernah bisa bergerak ke barat, kita juga tidak perlu bergerak ke timur. Kita tida perlu jadi terlalu kiri, kita tidak perlu terlalu kanan! Kita adalah kita dengan pijakan bumi yang berbeda. Tapi itulah manusia yang sama.. mereka yang memburu kekuasaan dengan serius, dengan main-main, baik secara terbuka ataupun sambil malu-malu rasanya tetap malu-maluin!
Rasa-rasanya kita harus mengukur idealisme kita, mengukur perasaan kita sendiri.. DENGAN JUJUR… Secara definisi Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mencapai sesuatu dengan cara yang diinginkan. Dan cara mempengaruhi orang lain amat-sangat tergantung pada niat mencapai kekuasaan. Rational Persuasion, Adalah siasat meyakinkan orang lain dengan menggunakan argumen yang logis dan rasional. Inspiration Appeals Tactics, Adalah siasat dengan meminta ide atau proposal untuk membangkitkan rasa antusias dan semangat dari target person. Consultation Tactics, Terjadi ketika kita meminta target person untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang kita agendakan. Ingratiation Tactics, Adalah suatu siasat dimana kita berusaha untuk membuat senang hati dan tentram target person, sebelum mengajukan permintaan yang sebenarnya. Personal Appeals Tactics, Terjadi ketika kita berusaha mempengaruhi target person dengan landasan hubungan persahabatan, pertemanan atau hal yang bersifat personal lainnya. Exchange Tactics, Adalah mirip dengan personal appeal tactics namun sifatnya adalah bukan karena hubungan personal semata, namun lebih banyak karena adanya proses pertukaran pemahaman terhadap kesukaan, kesenangan, hobi, dsb. diantara kita dan target person. Coalition Tactics, Adalah suatu siasat dimana kita berkoalisi dan meminta bantuan pihak lain untuk mempengaruhi target person. Strategi kemenangan karena jumlah pengikut dipakai dalam siasat ini. Pressure Tactics, Terjadi dimana kita mempengaruhi target person dengan peringatan ataupun ancaman yang menekan. Legitimizing Tactics, Adalah satu siasat dimana kita menggunakan otoritas dan kedudukan kita untuk mempengaruhi target person.
Nah, bahaya dari niat pada tataran implementasi adalah pada cara. Tipu muslihat yang dilakukan orang yang ingin mengejar kekuasaan kadang menakutkan.. karena bukankah kita kesulitan membaca hati dan pikiran orang. Pernah dalam satu obrolan dengan salah satu atasan saya di Kemenag “wan hati-hati kalau bicara sama orang struktural mah. Para pejabat itu, bisa dengan sangat ramah di depan kita, bermanis-manis, tersenyum. Tapi dalam hati, setiap mereka sedang mencari celah.. kapan bisa menjatuhkan kita, merebut atau mempertahankan jabatan. Itulah sebabnya jabatan (kekuasaan) itu sifatnya amat-teramat panas. Jika tak hati-hati bisa-bisa kawan seiring yang membusukkan kita.. hati-hati…” Pesan yang sering kali membuat saya tak sekedar menjadi hati-hati pada lawan bicara, tapi juga sambil mengukur, seberapa berbahaya lawan bicara kita. Bahkan lebih dari itu, perasaan was-was kadang membelenggu.. perasaan hebat yang membuat kita seperti binatang yang selalu waspada.
Bukan hal yang berat sebenarnya menjadi “yang waspada” karena bukankah kita harus seperti itu adanya? Tetapi jika hal itu kita lakukan semata-mata karena ketakutan pada para perebut kekuasaan, pada para penguasa yang juga ketakutan.. alangkah bodohnya? Tapi bagai mana kita bisa memagari diri dan orang lain dari kekuasaan yang busuk? Apakah demokrasi adalah jalan keluar? Sayangnya seringkali demokrasi di pandang sebagai kekuasaan pada suara terbanyak, padahal tidaklah seperti itu. Suara terbanyak itu bersifat terbatas dan harus di batasi (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36). Prilaku brutal dari orang yang menuhankan kekuasaan memang harus di waspadai. Cobalah sekali-kali memandang kanan-kiri, lihatlah orang-orang yang kemaruk kekuasaan itu. Lihatlah di cermin sekali waktu, dan coba sedikit memastikan diri.. apakah bukan kita si gila kekuasaan itu? Jika ya.. hati-hatilah pada orang di cermin itu.. sebab dia jauuuuuh lebih berbahaya dari musuh manapun.. sebab selama musuh tak terlihat, kita harus hati-hati.. sebab jika musuh si gila kekuasaan itu adalah kita sendiri.. dia lah yang paling pintar mencari pembenar atas kegilaannya.. hati-hatilah musuh yang paling berbahaya, adalah musuh yang sulit di prediksi.. ketika musuh adalah diri kita sendiri.. dia akan cepat sekali paham atas segala cara yang kita gunakan untuk menumpasnya, karena dia paham betul, karena dia tahu betul, karena dia adalah kita. Hati- hati lah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H