[caption id="attachment_280151" align="aligncenter" width="648" caption="Panggung Songgobuwono dan Kori Sri Manganti, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. "][/caption] Di balik pelik permasalahan khususnya terkait pendanaan Keraton Kasunanan Surakarta yang dibilang sangat minim, terlebih dengan bantuan pemerintah yang tersendat-sendat, Keraton Surakarta berhasil melestarikan budaya ratusan tahun hingga saat ini. Hal ini terlihat jelas dengan diadakannya Grebeg Pasa atau Grebeg Syawal yang menandai berakhirnya bulan puasa 1434 H. Terbatasnya dana dan nihilnya bantuan pemerintah tidak menyurutkan wibawa keraton yang merupakan kerajaan pertama yang mengakui berdirinya NKRI tahun 1945. Grebeg atau garebeg berasal dari kata ginarebeg yang mengandung makna diiringkan oleh ratusan orang sehingga suaranya menjadi gemuruh. Garebeg dihubungkan dengan raja ginarebeg yang meninggalkan kedhaton menuju siti hinggil. Menurut tradisi, kerajaan Surakarta dan Ngayogyakarta dalam setahun melangsungkan tiga kali upacara grebeg yang berhubungan dengan agama Islam, yaitu Grebeg Sura, Grebeg Maulud, dan Grebeg Pasa (1). Grebeg Pasa pada zaman dulu dilangsungkan pada tanggal 1 Syawal. Namun, Keraton Surakarta memiliki pertimbangan lain dalam menyelenggarakan grebeg Pasa. Mengingat banyaknya abdi dalem yang berasal dari luar kota maka Keraton Surakarta menyelenggarakan Grebeg Pasa pada tanggal 2 Syawal untuk memberikan kesempatan bagi para abdi dalem bersilaturahmi dengan keluarga terlebih dahulu pada 1 Syawalnya. Meskipun demikian, esensinya tetap sama, yakni merayakan kemenangan dengan berbaur dengan masyarakat luas. Ini pertama kali saya mengikuti prosesi Grebeg Pasa mulai dari pelataran kedhaton. Sebenarnya masyarakat umum boleh menyaksikan dari dalam pelataran kedhaton, akan tetapi aturan pakaian terutup dan sopan serta pemakaian samir tetap berlaku. Ketika waktu sudah hampir menunjukkan pukul 10 pagi, keluarlah para prajurit keraton yakni para prajurit Wadya Tamtama Swara (berseragam hitam pengiring drum band dengan sebilah kelewang panjang), prajurit Prawiroanom (seragam hijau), perahu prajurit Jayengastro (seragam biru), prajurit Sorogeni (seragam merah), kemudian menyusul pasukan Doropati (berseragam warna hijau pupus), Jayasura(seragam hitam), dan Panyutra atau pasukan pemanah. Juga ada bergada Baki, yang berseragam merah tapi lengan pendek. Tak lupa korps musik yang mengiringi para prajurit tersebut.(2) [caption id="attachment_280083" align="aligncenter" width="655" caption="Prajurit Keraton Surakarta berbaris di pelataran kedhaton"]
[/caption] [caption id="attachment_280084" align="aligncenter" width="541" caption="Prajurit Keraton Surakarta berbaris di depan pendapa Sasana Sewaka"]
[/caption]
[caption id="attachment_280086" align="aligncenter" width="608" caption="Suasana di dalam kedhaton, tampak pohon sawo kecik yang ditanam oleh Pakubuwono X (1893-1939). Kecik identik dengan kata becik yang berarti kebaikan."]
[/caption] Zaman dulu, aba-aba untuk para prajurit diutarakan dalam bahasa Belanda. Namun, oleh alm. KRAT Wirantodiningrat, panglima komandan prajurit keraton Surakarta yang meninggal pada tahun 2011, bahasa aba-abanya diubah menjadi bahasa Jawa. Aba-aba itu terdiri atas siyaga (perhatian), sigeg (siap), tandyo (grak), lumaksono mangarso (maju jalan),karti sampeka (hormat), lerem sahono (istirahat), dan bubar angga (bubar jalan). Karena itu, untuk menyiapkan prajurit keraton, biasa diawali dengan aba-aba dari komandan: ''Siyaga, sigeg...... tandyo(Perhatian, siap, grak). Kemudian untuk memberangkatkan pasukan diucapkan ''Lumaksono mangarso(maju jalan).'' Untuk pasukan korps musik (korsik) Keraton Surakarta, yang melengkapi dengan tambur, seruling dan terompet, iramanya memakai irama ''Baris terik tempe, trik dong dele gosong ....'' Irama korsik yang khas ini, dipertahankan sejak zaman PB III. Bahkan irama itu disakralkan, layaknya tari Bedaya Ketawang yang tidak pernah diubah gerak maupun iringan gendhingnya (3). Untuk video prajurit dan musik pengiringnya bisa dilihat di sini: http://youtu.be/v6QaAS9om3M Masing-masing pasukan, menurut Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Mulyadi Yuda Nagara (64), Panglima prajurit Keraton Surakarta, mempunyai kelebihan yang sangat spesifik. Misal untuk Jayengastra, mereka sangat terlatih untuk beladiri tangan kosong. Prajurit Panyutra yang bersenjata panah, mungkin semacam penembak jitu untuk zaman sekarang. Panahnya saja bisa sampai 8 macam. Mulai dari mata panah sanderan atau tanda sandi, mata panah bergerigi yang bisa menebas leher, mata panah beracun, hingga mata panah yang berfungsi untuk sekadar melumpuhkan saja. Zaman dulu, jumlah prajurit bregada infanteri bisa mencapai seribu orang yang ikut. Itu belum ditambah pasukan kavaleri (pasukan berkuda), dan telik sandi (intelejen) yang tidak terlihat. Meski sekarang jumlah prajurit Keraton yang hanya berjumlah total 90 orang tersebut kebanyakan berisi para pria yang sudah lanjut usia, tetapi mereka akan selalu siap menjaga martabat dan kewibawaan Keraton Surakarta sampai akhir hayat. Padahal gaji mereka tak lebih dari Rp 70 ribu per bulannya, dan ketika kirab para lanjut usia tersebut harus berjalan kadang hingga lebih dari lima kilometer (2). Semangat para abdi dalem ini tentunya patut dihargai. Namun muncul pertanyaan, lantas bagaimanakah nasih para prajurit tersebut di masa yang akan datang? Apakah akan ada yang menggantikan mereka? Bagaimana kesejahteraan para prajurit dan abdi dalem keraton? Semoga saja mereka, para abdi dalem, mendapat perhatian lebih dari pemerintah dan masyarakat. Sesuai dengan falsafah kuno Jawa, di mana segala sesuatu menganut paham dualisme laki dan perempuan (lingga dan yoni), maka gunungan pun dibuat dua macam yaitu Gunungan Estri (perempuan) dan Gunungan Jaler (pria). [caption id="attachment_280087" align="aligncenter" width="592" caption="Gunungan Estri menunggu aba-aba untuk dikeluarkan dari keraton."]
[/caption] [caption id="attachment_280088" align="aligncenter" width="592" caption="Gunungan Jaler sebelum diarak"]
[/caption] Pada kedua gunungan tersebut tampak terlihat bendera merah putih (gula kelapa) yang merupakan warna resmi kerajaan Surakarta dari zaman dulu yang pada akhirnya menjadi bendera Republik Indonesia. Di luar, pada pelataran Bangsal Smorokoto, Kanjeng Gusti Pangeran Harya (KGPH) Puger sebagai Pengageng Museum dan Pariwisata Keraton Surakarta, telah menerima utusan dari rombongan yang menyatakan rombongan Grebeg Pasa telah siap. [caption id="attachment_280089" align="aligncenter" width="563" caption="Para ututsan menghadap Gusti Puger di bangsal Smorokoto, Keraton Surakarta."]
[/caption] Setelah berbaris dengan rapi di depan Pendapa Sasana Sewaka, para prajurit pun memimpin arak-arakan keluar dari pelataran kedhaton menuju Kori Sri Manganti. Di belakangnya terdapat abdi-abdi dalem pembawa Gunungan Estri dan Gunungan Jaler beserta gamelan pusaka Gangsa Corobalen. Berikut foto-fotonya: Keluar dari Sri Manganti [caption id="attachment_280090" align="aligncenter" width="634" caption="Para prajurit keluar dari Kori Sri Manganti."]
[/caption] [caption id="attachment_280091" align="aligncenter" width="620" caption="diikuti oleh para sentana, tampak pula panggung Songgobuwono, menara meditasi untuk Susuhunan"]
[/caption] [caption id="attachment_280092" align="aligncenter" width="648" caption="Gunungan Estri dikeluarkan dari dalam kedhaton melalui Kori Sri Manganti."]
[/caption] [caption id="attachment_280093" align="aligncenter" width="648" caption="Gunungan Jaler keluar dari Kori Sri Manganti."]
[/caption] Keluar dari Kori Kamandhungan [caption id="attachment_280094" align="aligncenter" width="648" caption="Gunungan Estri dan Jaler keluar dari Kamandhungan, ratusan warga sudah menanti dari luar."]
[/caption] [caption id="attachment_280095" align="aligncenter" width="525" caption="Gunungan Estri dan Jaler terlihat sudah keluar dari Kamandhungan."]
[/caption] Melalui Siti Hinggil [caption id="attachment_280096" align="aligncenter" width="648" caption="Arak-arakan kemudian melewati Siti Hinggil."]
[/caption] Melalui Pagelaran Sasana Sumewa [caption id="attachment_280098" align="aligncenter" width="473" caption="Arak-arakan melalui Pagelaran Sasana Sumewa. "]
[/caption] Melalui Alun-alun Lor [caption id="attachment_280134" align="aligncenter" width="648" caption="Rombongan melalui alun-alun utara kemudian berbelok menuju Masjid Agung Keraton Surakarta."]
[/caption] Menuju Masjid Agung [caption id="attachment_280135" align="aligncenter" width="648" caption="Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Mulyadi Yuda Nagara (64), memimpin pasukan keraton dan abdi dalem pembawa gunungan dari dalam kedhaton sampai ke area Masjid Agung Surakarta."]
[/caption] [caption id="attachment_280136" align="aligncenter" width="648" caption="Gunungan memasuki halaman masjid, tampak ratusan orang sudah menanti tibanya gunungan."]
[/caption] [caption id="attachment_280137" align="aligncenter" width="648" caption="Kedua gunungan didoakan di depan Masjid Agung. Tampak para petugas keamanan dan para abdi dalem berusaha menjaga gunungan agar tidak diperrebutkan terlebih dahulu oleh warga sebelum selesai didoakan."]
[/caption] Sesampainya di depan masjid Agung, dua gunungan tersebut di istirahatkan sebentar. Sementara para sentana dan ulama berdoa di dalam masjid. Setelah selesai didoakan, gunungan estri langsung jadi rebutan warga. [caption id="attachment_280138" align="aligncenter" width="648" caption="Gunungan Estri direbutkan di halaman Masjid Agung."]
[/caption] [caption id="attachment_280139" align="aligncenter" width="368" caption="Mbah-mbah dari Muntilan yang sehari-harinya berjualan wayang di sekitar Keraton Kasunanan, mengaku tiap tahun mengikuti perayaan grebeg keraton karena ingin mendapatkan berkah dari gunungannya. Hasil rayakan yang dia dapatkan akan digoreng kemudian dimakan."]
[/caption] Sedangkan gunungan jaler dibawa kembali sampai di depan kamandhungan. Harusnya gunungan jaler ini untuk para abdi dalem, sayangnya tidak semua abdi dalem khususnya yang sudah sepuh tidak kuat saat merebut bagian-bagian gunungan tersebut. [caption id="attachment_280146" align="aligncenter" width="583" caption="Gunungan Jaler diperebutkan di depan Kori Kamandhungan"]
[/caption] Sisa-sisa gununganpun dibawa kembali ke dalam keraton. Dengan demikian, berakhir sudah ritual Grebeg Pasa di Keraton Surakarta. Di dalam keraton sendiri acara masih dilanjutkan dengan halal bi halal antara para sentana dengan abdi dalem keraton. [caption id="attachment_280150" align="aligncenter" width="648" caption="Para sentana dan abdi dalem berbaur saling bermaafan dalam nuansa Idul Fitri."]
[/caption] Gunungan sebagai alat komunikasi yang sangat menonjol mengandung arti (1): 1. Bentuknya yang menyerupai gunung menunjukkan adanya kesakralan. 2. Sebagai hajat dalem (selamatan yang diselenggarakan oleh raja), maka gunungan yang dibuat di Magangan itu dianggap memiliki kekuatan magis. Untuk dapat sampai di masjid, jalannya gunungan itu disertai upacara resmi dan melewati ruang-ruang di halaman keraton. yaitu halaman kedhaton, Sri Manganti, Kamandhungan, Siti Hinggil, Pagelaran, dan Alun-alun Lor. 3. Gunungan yang terdiri atas buah-buahan, sayur-sayuran, telur, makanan dari beras dan ketan, dan sebagainya melambangkan suatu negara yang agraris dan makmur. 4. Penerapan klasifikasi dualisme yang saling melengkapi dan dibuatnya gunungan laki-laki dan perempuan. 5. Gunungan yang berbentuk limgga dan yoni yang melambangkan kesuburan dan dibawa ke masjid untuk didoakan secara Islam oleh seorang penghulu menunjukkan adanya sinkretisme dalam kehidupan beragama masyarakat keraton. 6. Lewat gunungan ini, Sunan mengadakan selamatan, makanan yang telah disucikan dan mengandung magi untuk rakyat. Pelaksanaan upacara grebeg yang sangat lancar tanpa disertai pembawa acara menunjukkan bahwa upacara grebeg itu telah berusia cukup lama. Masing-masing abdi dalem pada bagian-bagian yang saling berkaitan melaksanakan tugasnya dengan penuh kesadaran sebagai bagian dari satu kesatuan. Selain unsur religius magis, pada upacara grebeg terdapat unsur yang bersifat ekonomi, politik, dan sosial. Terlepas dari ontran-ontran yang selama ini muncul di media massa, Keraton Surakarta tetaplah pusat kebudayaan Jawa peninggalan para leluhur ratu/nata Jawa. Hendaknya kita, masyarakat, dan juga pemerintah (baik Pusat, Provinsi, maupun Daerah), sebagai generasi penerus ikut melestarikan adat budaya warisan leluhur. Saya menyayangkan beberapa waktu lalu Pemkot Surakarta mengadakan Kirab Malam Selikuran ala Pemkot, di mana Pemkot mewajibkan tiap kelurahan di kota Surakarta mengirimkan wakilnya. Sementara pada saat yang hampir bersamaan, Keraton Surakarta dengan dana sumbangan dari para pemerhati, berusaha keras menyelenggarakan Kirab Malam Selikuran yang asli peninggalan Pakubuwono X. Andaikan Pemkot Surakarta, Provinsi Jateng, atau Pusat, memang tidak memiliki dana untuk upacara adat keraton tersebut, alangkah baiknya, bila setidak-tidaknya pemerintah mengajak jajarannya dan masyarakatnya untuk ikut menyaksikan upacara adat ratusan tahun tersebut, bukannya membuat acara "tandingan". Pada akhirnya kita kembali pada ucapan Pakubuwono X, sang raja yang terkenal gung binathara dan raja terbesar Keraton Surakarta:
"Kuncara ruming bangsa dumining haneng luhuring budaya"
-Keharuman dan kebesaran suatu bangsa terletak pada keluhuran budayanya-
*Untuk melihat gambaran Grebeg zaman Pakubuwono X yang terkenal dengan kemegahannya, bisa dilihat pada http://www.indonesianfilmcenter.com/pages/archive/watch.arcv.php?v=5579* Sumber foto : koleksi pribadi Sumber referensi: 1. Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939. 1989 2. http://www.soloblitz.co.id/2013/08/10/prajurit-keraton-surakarta-tak-kenal-pensiun-dan-mengabdi-sampai-mati/ 3. http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/12/28/105339
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H